Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jalan Akhir ala Kejaksaan

Kejaksaan Agung akhirnya memilih opsi deponering untuk menyelesaikan perkara penyalahgunaan wewenang yang melilit Bibit dan Chandra. Putusan ini rawan dipersoalkan.

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM petinggi Kejaksaan Agung bergegas meninggalkan ruang kerja Darmono. Pagi itu, Senin pekan lalu, sekitar pukul 10.00, mereka baru membahas persoalan penting dengan Pelaksana Tugas Jaksa Agung tersebut, yakni perkara Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah serta bocornya rencana tuntutan yang melibatkan jaksa Cirus Sinaga. Rapat itu berlangsung sekitar satu jam.

Beberapa jam kemudian, hasil rapat itu ”merembes” keluar. Yang membocorkannya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Amari. Didesak wartawan perihal rapat pagi itu, Amari kelepasan bicara. Ia menyatakan Kejaksaan telah mengambil opsi deponering untuk kasus Bibit-Chandra. Kabar dari Kejaksaan Agung ini dengan cepat melesat keluar.

Darmono rupanya terkejut dengan terlalu paginya anak buahnya itu memberikan pernyataan. Tiga jam setelah Amari memberikan ”keterangan pers” itu, Darmono angkat bicara. Ia membantah Kejaksaan telah mengambil putusan seperti yang dikatakan anak buahnya. ”Masih akan dilakukan kajian oleh tim,” ujarnya. Ia juga menyebutkan Amari telah meminta maaf atas pernyataannya yang dengan cepat ”disambar” wartawan itu.

Tapi sumber Tempo menyebutkan rapat Senin pagi pekan lalu itu memang telah mengambil putusan deponering. Selain oleh Amari, rapat dihadiri oleh Jaksa Agung Muda Intelijen Edwin Pamimpin Situmorang, Jaksa Agung Muda Pembinaan Iskamto, serta Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kamal Sofyan. Satu-satunya yang absen Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Pengawasan.

Dalam rapat itu, ujar sumber Tempo, Darmono hanya menyodorkan dua opsi penyelesaian kasus Bibit-Chandra: deponering (pengesampingan perkara) atau dibawa ke pengadilan. Tapi, dalam rapat, Darmono cenderung memilih deponering. ”Pimpinan rapat tak meminta pendapat peserta yang hadir,” ujar sumber itu. Karena tanpa bantahan, rapat berlangsung kilat dan berlanjut membahas kasus Cirus.

Kendati Amari sempat ditegur, empat hari berselang kenyataannya memang demikian. Jumat pekan lalu, Darmono mengumumkan Kejaksaan memilih opsi deponering untuk perkara Bibit-Chandra. Menurut Darmono, pilihan itu diambil karena jika kasus Bibit-Chandra dilimpahkan ke pengadilan, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi akan terganggu. ”Keputusan ini untuk kepentingan yang lebih luas, menyelamatkan pemberantasan korupsi.”

Menurut Darmono, realisasi putusan akan disertai pertimbangan dari badan-badan negara, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan presiden. Menurut dia, meski DPR berhak menolak putusan itu, penolakan tak akan mengubah putusan Kejaksaan Agung. Deponering, ujarnya, merupakan hak Jaksa Agung seperti tertuang dalam Pasal 35-C Undang-Undang Kejaksaan. Putusan lembaga lain tak mengikat.

Mahkamah Agung, kata Darmono, bisa dianggap telah memberikan pertimbangan. Itu berdasarkan amar putusan Mahkamah dalam perkara Bibit-Chandra ini. Mahkamah menyatakan, jika pertimbangannya sosiologis, sebaiknya Kejaksaan menggunakan deponering.

Menurut sumber Tempo, tak semua petinggi Kejaksaan yang ikut rapat Senin pagi itu setuju kasus Bibit-Chandra diselesaikan dengan mekanisme deponering. Mereka menilai lebih pas kasus itu diselesaikan melalui opsi surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Alasannya, opsi ini lebih simpel dan tak berbelit.

Memang pilihan opsi ini mensyaratkan sejumlah hal, antara lain didahului dengan pemeriksaan tambahan seperti digariskan Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan. Selain itu, Kejaksaan bisa menggunakan putusan terhadap Anggodo, yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, sebagai novum atau bukti baru. Kendati opsi ini bisa dipraperadilankan, tipis kemungkinan untuk dikabulkan. ”Karena alasan penerbitan SKPP memiliki argumen hukum kuat. Perkara tersebut tidak cukup bukti,” ujarnya.

Sedangkan opsi deponering, menurut sumber tadi, lebih berbelit karena harus meminta saran badan-badan negara, serta berpotensi digugat. Opsi deponering juga bisa mencoreng pemberantasan korupsi. ”Apalagi belum pernah ada kasus korupsi yang dikesampingkan demi kepentingan umum,” ujar sumber itu.

Darmono sendiri, menurut sumber Tempo yang lain, sudah meminta masukan banyak pihak perihal opsi deponering ini. Salah satunya dari Tim Delapan, tim yang dulu mengkaji perkara Bibit-Chandra. Kepada Tempo, salah satu bekas anggota Tim Delapan, Todung Mulya Lubis, mengakui soal ini. ”Kami mengusulkan opsi ini saat menjumpai Jaksa Agung, pertengahan Oktober lalu,” katanya.

Menurut Todung, opsi tersebut diambil karena ia melihat, dalam kasus Bibit-Chandra, tidak ada bukti dan dasar hukumnya. ”Jika kasus ini dibawa ke pengadilan, kita akan menyidangkan perkara yang tidak kuat,” kata Todung. Selain itu, ujarnya, mengganti dua pemimpin KPK yang masa baktinya tinggal setahun tak lebih murah daripada mengganti kelima anggotanya untuk lima tahun mendatang.

Hanya, Todung mengakui, dengan deponering, ada beban moral bagi Bibit dan Chandra. ”Sebab, ini berarti mereka dianggap bersalah dan harusnya diadili tapi tidak diadili,” ujarnya. Namun Todung melihat ini bisa dikesampingkan demi kepentingan lebih besar, yakni pemberantasan korupsi.

Tim kuasa hukum Bibit-Chandra mengaku tak begitu happy dengan putusan tersebut. Menurut Ahmad Rifai, salah satu anggota tim, pilihan deponering merupakan putusan yang menguntungkan bagi Kejaksaan. Bibit dan Chandra sendiri, ujarnya, lebih menghendaki Kejaksaan mengeluar-kan surat penghentian penuntutan. ”Sebab, penghentian penuntutan berarti Kejaksaan memandang tidak ditemukan perbuatan pidana dalam kasus tersebut.”

Menurut Ahmad, pihaknya belum bisa mengambil sikap terhadap pengumuman Darmono. ”Kami masih menunggu bagaimana pertimbangan hukum atas putusan deponering tersebut,” katanya. Dia berharap Kejaksaan dapat menyampaikan alasan dan pertimbangan hukum yang tepat dan kuat atas pilihan deponering itu. ”Sehingga tak memungkinkan munculnya gugatan,” ujarnya. Kepada Tempo, yang mewawancarainya Jumat malam pekan lalu, Chandra Hamzah menyatakan, apa pun opsi yang diambil Kejaksaan, pihaknya mau tak mau harus siap. ”Karena posisi saya dan Pak Bibit bukan pihak yang menentukan.”

Tanggapan sinis atas ”turunnya” deponering ini muncul dari kubu Anggodo Widjojo, pihak yang dulu mempraperadilankan SKPP Bibit-Chandra. Menurut kuasa hukum Anggodo, O.C. Kaligis, semestinya perkara ini tak bisa dideponir karena sudah dinyatakan lengkap, termasuk bukti dan saksinya. ”Mau memberantas korupsi kok koruptor dibebaskan,” kata Kaligis. Menurut dia, deponering hanya boleh diajukan Jaksa Agung, bukan pelaksana tugas. Tiga hari sebelum Darmono mengumumkan deponering ini, ujar Kaligis, pihaknya sudah berkirim surat ke Pelaksana Tugas Jaksa Agung itu mempertanyakan opsi tersebut.

Anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Lumbuun, menilai deponering kasus Bibit dan Chandra bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan perkara tersebut dilanjutkan ke pengadilan. Ia menunjuk opsi ini mengabaikan penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Kejaksaan, yang menyebutkan pengesampingan perkara hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung definitif. Kebijakan deponering, ujarnya, melanggar tatanan hukum dan perundang-undangan. ”Ini bisa dipersoalkan sebagai pelanggaran hukum administrasi negara,” kata Gayus, yang juga pakar hukum administrasi negara.

Ramidi, Isma Savitri

Memilih Deponering

Berjalan lebih dari setahun, drama kasus Bibit-Chandra akhirnya menuju titik akhir. Kejaksaan memilih opsi pengesampingan (deponering) perkara ini.

Deponering merupakan wewenang Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum meski sudah ada cukup bukti. Dalam membuat keputusan ini, Jaksa Agung harus memperhatikan saran dan pendapat dari lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

Konsekuensi

  • Terdakwa bebas demi kepentingan umum.
  • Perbuatan tindak pidana dianggap ada.
  • Keputusan berlaku permanen.

Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Pasal 35c: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Contoh Kasus

  • Kejaksaan Agung pernah menerbitkan deponering untuk Letnan Jenderal (Purnawirawan) Mochamad Jasin, yang dituduh menghina kepala negara dengan menandatangani Petisi 50 di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Saat itu, Jaksa Agung adalah Ismail Saleh.
  • Pada 15 Agustus 1953, Jaksa Agung R. Soeprapto mengesampingkan kasus wartawan Pemandangan, Asa Bafagih. Asa dituding membocorkan rahasia negara karena menulis rencana pemerintah membuka keran investasi asing dan menaikkan gaji pegawai. Dalam pemeriksaan, Asa menolak menyebut sumber beritanya. Tekanan publik kepada pemerintah datang bertubi-tubi. Atas nama kepentingan umum, kasus ini dideponir.

15 Juli 2009
Anggodo Widjojo dan Ary Muladi mengaku telah menyerahkan uang Rp 5,1 miliar kepada pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Uang itu diberikan agar kasus yang membelit kakak Anggodo, Anggoro Widjojo, dihentikan KPK.

7 Agustus 2009
Polisi menuduh Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang, yakni mencekal Anggoro dan Joko Tjandra tanpa persetujuan pemimpin KPK yang lain.

15 September 2009
Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka.

29 Oktober 2009
Bibit dan Chandra ditahan di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok.

2 November 2009
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Delapan yang diketuai Adnan Buyung Nasution.

3 November 2009
Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman percakapan Anggodo dengan sejumlah pihak dalam persidangan uji materil.

4 November 2009
Bibit dan Chandra dibebaskan dari Rumah Tahanan Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok.

22 November 2009
Presiden Yudhoyono dalam pidatonya meminta kasus Bibit-Chandra diselesaikan melalui jalur di luar pengadilan.

1 Desember 2009
Kejaksaan Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) untuk Bibit dan Chandra.

24 Maret 2010
Anggodo mengajukan gugatan praperadilan terhadap SKPP Bibit dan Chandra ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

19 April 2010
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Anggodo dalam gugatan praperadilan atas SKPP Bibit dan Chandra.

3 Juni 2010
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak permohonan banding yang diajukan Kejaksaan Agung atas SKPP perkara Bibit dan Chandra.

8 Oktober 2010
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali SKPP Bibit dan Chandra. Bibit dan Chandra berstatus tersangka lagi.

29 Oktober 2010
Kejaksaan Agung mengeluarkan putusan deponering untuk kasus Bibit-Chandra.

Mereka Bicara Kasus Bibit-Chandra

”Saya tidak perlu mempermasalahkan buktinya kuat atau tidak. Tapi ini untuk kepentingan yang lebih besar. Maka kami berkesimpulan harus dilakukan deponering.”
(Darmono, Pelaksana Tugas Jaksa Agung )

”Deponering dan abolisi itu sesuatu yang terpisah. Deponering dapat diambil dengan mempertimbangkan aspek keadilan.”
(Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi )

Deponering itu kalau ada perkara. Lha ini perkaranya saja rekayasa, jadi untuk apa deponering?”
( Bagir Manan, Ketua Dewan Pers)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus