Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berebut Jatah Impor Ketan

Kebijakan pemerintah untuk menambah impor beras ketan dinilai tidak transparan. Siapa yang diuntungkan?

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIMAN masih saja ngedumel tentang hujan yang turun hampir sepanjang tahun. Tanaman padinya roboh. Apa boleh buat, ia terpaksa memotong padi sebelum musim panen tiba. Hasilnya, dari setengah hektare sawah hanya diperoleh 16 kuintal gabah kering. ”Cuma dapat separuh, bulirnya kopong,” kata petani asal Takeran, Magetan, Jawa Timur, itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Cuaca yang tidak menentu inilah yang berpotensi menekan produksi beras, termasuk beras ketan dalam negeri. Padahal permintaan meningkat sejak Lebaran hingga Natal dan tahun baru nanti. Karena itu, dua pekan lalu pemerintah memutuskan menambah impor beras: 300 ribu ton beras biasa dan 40 ribu ton beras ketan, guna memenuhi kebutuhan pada September hingga Desember. Dengan demikian, total impor ketan tahun ini menjadi 120 ribu ton.

Impor tambahan beras ketan inilah yang menuai kontroversi. Sejumlah importir menilai pengadaan beras jenis khusus ini tidak transparan. Menurut Sekretaris Jenderal Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras (Perpadi) Burhanuddin, pemerintah biasanya melibatkan pengusaha dalam menentukan volume produk yang akan diimpor. ”Tapi kali ini tidak,” ujarnya. Karena itu, dua pekan lalu, para importir melayangkan surat keberatan.

Kisah ini bermula dari surat rekomendasi yang diterbitkan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian Zaenal Bachruddin, awal September lalu. Sebanyak 21 perusahaan mendapatkan izin impor 80 ribu ton. Direktur Pemasaran Domestik Garjito Budi menambahkan, pemerintah tak memberikan seluruh kuota karena mempertimbangkan produksi, harga di tingkat petani, dan harga di level konsumen. Berdasarkan surat rekomendasi teknis tersebut, Kementerian Perdagangan mengeluarkan izin impor.

Menurut Burhanuddin, proyeksi kebutuhan impor 2010 sebenarnya telah dibicarakan pada awal tahun, yakni 80 ribu ton. Pengadaannya dibagi dalam dua periode. Pada semester pertama didatangkan 40 ribu ton. Begitu pula semester kedua. Tercatat 104 perusahaan mendapatkan rekomendasi mengimpor ketan, masing-masing dengan jatah yang berbeda. Sampai di situ tak ada persoalan.

Namun beberapa hari menjelang Lebaran, Ketua Perpadi Wilayah DKI Jakarta Nelis Soekidi kebanjiran telepon dari para anggota asosiasi. Mereka melaporkan bahwa pengadaan ketan tambahan tak melalui proses yang transparan. Cuma pengusaha tertentu yang mengetahui ada kuota tambahan. Alhasil, tak banyak perusahaan yang mengajukan dan mendapat rekomendasi. ”Ada apa di balik ini?” tanya Nelis.

l l l

PEMERINTAH bercita-cita, negeri ini akan mandiri alias swasembada dalam urusan beras. Impor beras, termasuk beras ketan, akan terus ditekan. Bila merujuk pada angka ramalan pertama 2010 Badan Pusat Statistik, pasokan beras sebenarnya aman. Angka perkiraan yang dikeluarkan pada Maret menyebutkan produksi padi tahun ini naik 0,88 persen ketimbang tahun lalu, yakni dari 64,3 juta ton menjadi 64,9 juta ton gabah kering giling.

Pertengahan tahun, keluar angka ramalan kedua 2010, yang memproyeksikan produksi padi akan mencapai 65,15 juta ton, setara dengan 38,3 juta ton beras. Padahal kebutuhan beras nasional ”cuma” 32,7 juta ton. Artinya, akan ada surplus 5,6 juta ton. Nyatanya, pada akhir tahun, pemerintah memutuskan mengimpor 300 ribu ton beras.

Keputusan itu diambil untuk menaikkan stok beras pemerintah di gudang Bulog, dari 1,2 juta ton menjadi 1,5 juta ton. ”Cadangan harus ditingkatkan, karena kami tidak akan mengambil risiko jika terjadi musim ekstrem seperti sekarang ini,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, dua pekan lalu. Pemerintah berkepentingan menjaga pasokan dan stabilitas harga di dalam negeri.

Alasan itu pula yang membuat pemerintah menambah impor ketan. Keputusan itu diambil oleh tim stabilisasi harga pangan, di bawah koordinasi Hatta, sekitar Agustus lalu. Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, impor ketan disiapkan untuk menghadapi Lebaran. ”Masak kita biarkan orang kekurangan pasokan,” kata Bayu. Filosofinya, swasembada harus dicapai, tapi bukan berarti mengorbankan konsumen. Namun saat itu belum diputuskan jumlah ketan tambahan yang akan didatangkan dari luar negeri.

Penentuan volume dan hal-hal teknis lain dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Menurut Direktur Jenderal Pengolahan Zaenal, tambahan volume ketan impor 40 ribu ton mengacu pada angka impor dua tahun lalu, saat itu sekitar 102 ribu ton. Dengan memperhitungkan faktor pertumbuhan, diperkirakan kebutuhan impor tahun ini 120 ribu ton. Artinya, pengadaannya masih kurang 40 ribu ton. Maka terbitlah surat edaran Direktur Jenderal Pengolahan Nomor 628/2010 tentang Penambahan Volume Impor Beras Ketan Utuh.

Bagaimana cara mengimpornya? Menurut prosedur, pengusaha mengajukan permohonan izin mengimpor ke Direktorat Pengolahan dan Pemasaran, termasuk usulan volume yang sanggup didatangkannya. Lantas panitia akan mengundang para pelamar untuk diberi pengarahan. Tahap berikutnya, penentuan kuota tiap-tiap perusahaan. Nah, di titik inilah, menurut sumber Tempo, rawan penyimpangan.

Tak ada aturan baku mengenai cara membagi kue impor ketan tersebut secara adil. Beberapa persyaratan bisa digunakan sebagai penyaring importir. Misalnya, surat rekomendasi dari Kementerian Perdagangan yang menerangkan bahwa perusahaan tersebut telah merealisasi seluruh jatah impor periode sebelumnya. Atau, bukti bahwa pengusaha telah membeli beras petani lokal lima persen dari izin impornya. Tanpa dua surat tersebut, perusahaan akan dikategorikan importir baru yang diberi kuota hanya 120 ton. Perusahaan lama yang tidak banyak menyerap gabah lokal juga tidak akan diberi jatah besar.

Pedagang tak kalah akal. Sumber Tempo bercerita, biasanya seorang pengusaha menyodorkan lima—bahkan lebih—perusahaan atau badan hukum saat mengajukan izin impor ketan. ”Tentu dengan nama perusahaan dan direktur yang berbeda-beda,” kata sang sumber. Dengan cara ini dia bisa mendapatkan jatah impor besar. Bila cara ini tak mendongkrak kuota, mereka akan menjual izinnya ke perusahaan lain. Alasannya, kuota terlalu cekak, tidak ekonomis alias ”tidak layak”.

Yang paling ampuh, sumber lain mengatakan, adalah mendekati pejabat di Kementerian Pertanian. Inilah sumber bau tak sedap itu. Konon, perusahaan yang mendapat jatah impor tambahan itu memiliki akses ke para pejabat. Zaenal membantah hal itu. ”Tidak ada diskriminasi terhadap para pengusaha,” kata dia kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Kalaupun ada importir yang tak kebagian kue, menurut Zaenal, itu lantaran mepet-nya waktu dan kuota yang terbatas.

Garjito punya alasan lain. Menurut dia, rekomendasi diberikan kepada importir beras ketan yang mengajukan aplikasi selama bulan puasa, sekitar akhir Agustus hingga awal September.

Bisnis impor ketan memang menggiurkan. Perbedaan harga di pasar lokal dan internasional sangat tinggi. Beras ketan impor sampai tempat tujuan sekitar Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga lokal lebih dari Rp 8.000. Sayang, gurihnya bisnis itu tak dinikmati Siman. Tapi bapak dua anak ini tak akan berhenti menanam ketan. Bagi petani, sepertinya, sawah mesti ditanami dua macam padi: beras dan ketan.

Retno Sulistyowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus