Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUDANG milik Sapian di kawasan Pasar Klampok, Brebes, Jawa Tengah, terlihat kosong. Hanya tersisa beberapa kardus berisi jahe impor. Lima puluh delapan ton bawang merah asal Thailand dagangan Sapian sudah ludes. Rabu pagi pekan lalu, bawang itu tiba dari Jakarta dalam dua kontainer dan tak sempat masuk ke gudang. "Transit saja, terus dikirim ke Tulungagung dan Surabaya. Sudah dipesan," kata distributor bawang merah itu.
Bawang merah asal Thailand dan Vietnam kini bertebaran di kota sentra bawang merah itu. Padahal produksi lokal menumpuk. Lebih dari 900 petani bawang yang mengelola 30 ribu hektare lahan di Brebes sedang panen raya. Pada musim panen kali ini, mereka menghasilkan sekitar 150 ribu ton.
Seorang pedagang menyebutkan Brebes sengaja dipilih sebagai kota transit bagi bawang merah asal luar negeri, sebelum didistribusikan ke kota-kota lain di Tanah Air. Saban pekan ratusan ton komoditas itu mampir di Brebes. Barang impor itu kemudian diklaim sebagai produk Brebes dengan harga hampir tiga kali lipat. Sapian, misalnya, menjual Rp 8.500 per kilogram. Sebaliknya, bawang Brebes asli jeblok ke harga Rp 2.000-3.000 saja. Produk impor memang tampak lebih bongsor, bersih, dan tidak cepat busuk.
Badan Pusat Statistik mencatat, selama Januari-November 2011, impor bawang merah mencapai 158 ribu ton. Bandingkan dengan angka impor selama 2010 sebesar 73 ribu ton. Banjir bawang impor ketika musim panen tiba membuat petani kesal. Puncaknya, pada 16 Januari lalu, ratusan petani bawang Brebes dan Cirebon berunjuk rasa. Mereka memblokade jalan Pantura, yang merupakan jalur utama penghubung kota-kota di Jawa. Akhir Januari, mereka mengadu ke DPR di Senayan. Aksi protes berlanjut ke kantor Kementerian Pertanian di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, 1 Februari lalu.
Sekretaris Asosiasi Petani Bawang Merah Indonesia Juwari kecewa karena Brebes dijadikan tempat singgah bawang merah impor. Ia yakin barang asing yang dikatakan sebagai produk Brebes inilah yang merusak harga. "Apa tak ada tempat lain untuk menurunkan atau menjual bawang impor itu?" kata dia. Juwari kesal lantaran pemerintah tak tegas terhadap importir bawang yang dinilai merugikan petani.
Dari segi aturan, menurut Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, memang tidak ada larangan mengimpor komoditas tersebut. Ia menjelaskan, penutupan impor bisa saja dilakukan jika diperlukan. Prinsipnya, harus ada rekomendasi dan permintaan teknis yang jelas dari Kementerian Pertanian.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan, di era perdagangan bebas, yang bisa dilakukan adalah memperketat kontrol agar barang tidak masuk dengan mudah. "Kalau dilarang, bisa diadukan ke WTO." Salah satu alat kontrol, menurut dia, adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/2006. Di sana tertera bawang impor untuk konsumsi harus didevitalisasi di negara asal dan tidak boleh mengandung partikel tanah atau kompos.
Ada pula Peraturan Menteri Pertanian Nomor 88/2011, yang akan berlaku efektif pada 19 Maret 2012. Di sana tertera persyaratan teknis tentang pengawasan pangan segar asal tumbuhan. Misalnya, bawang merah impor harus diuji laboratorium untuk memastikan kandungan residu logam berat dan mikroorganisme.
Dalam waktu dekat akan terbit pula peraturan tentang rekomendasi impor produk hortikultura. Secara bersamaan, Menteri Perdagangan juga akan meluncurkan aturan izin impor yang membatasi jenis, jumlah, waktu, tempat pemasukan, dan distribusi produk hortikultura. Tujuannya adalah mengatur tata niaga bawang merah impor.
Suswono menambahkan, peraturan daerah lebih efektif melindungi petani, dengan membendung masuknya bawang impor ke daerah sentra. Atau, memberikan anggaran kepada BUMD untuk menjaga stabilitas harga lokal, seperti yang dilakukan di Bantul, Yogyakarta.
Namun Kepala Seksi Pemasaran Hasil Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Brebes Sodikin membantah Suswono. Menurut dia, dana yang diperlukan untuk membeli bawang petani mencapai ratusan miliar rupiah dan akan menimbulkan gejolak pada anggaran belanja pemerintah daerah. "Sama saja menabur garam di lautan," kata Sodikin.
Bupati Brebes Agung Widiantoro hanya akan mengeluarkan kebijakan khusus yang mengatur pola tanam, lalu lintas penjualan, dan tonase bawang impor yang diizinkan masuk ke daerah tersebut. Diharapkan beleid untuk melindungi petani bawang lokal itu bisa diluncurkan bulan ini. Sedangkan aturan dalam bentuk perda saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Daerah Brebes.
Dua bulan setelah panen raya, nasib petani bawang di Brebes masih merana. Harga tak beranjak dari Rp 2.000-3.000 per kilogram. Padahal, menurut Juwari, harga di tingkat petani biasanya Rp 5.000-6.000. Pria 45 tahun itu membiarkan dua ton bawangnya tergantung di langit-langit dapur. Sesekali ia mengasapi untaian demi untaian bawang tersebut supaya tidak dimakan bakteri pembusuk.
Nasib serupa dialami Maulan, petani asal Peserut, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur. Seperempat hektare bawang merahnya ditebas hanya seharga Rp 2.900 per kilogram, sedikit lebih baik ketimbang penawaran pekan sebelumnya yang Rp 1.800. Padahal pada panen raya setahun lalu bawang merahnya laku Rp 9.000 per kilogram.
Produksi bawangnya pun anjlok, dari 12-15 ton pada musim kemarau lalu menjadi 6 ton saja. Sebaliknya, biaya produksi membubung. Ongkos terbesar untuk pupuk dan obat antihama. Setiap hektare lahan menyedot Rp 7,5 juta untuk obat dan 15 kuintal pupuk seharga Rp 5 juta. Banyaknya obat antihama palsu menyebabkan petani mesti membeli obat berkali-kali. Plus biaya Rp 5 juta untuk buruh petik. Itu belum termasuk biaya untuk membeli perlengkapan menjemur.
Alhasil, menurut Maulan, modalnya terbang tak kembali. "Sungguh besar pasak daripada tiang," ujarnya. Dompetnya tambah robek karena tengkulak tidak membeli bawangnya secara tunai. Mereka baru melunasi setelah dagangan laku. "Pembelian sepuluh hari lalu pun belum dibayar."
Jejak bawang merah Thailand dan Vietnam juga terendus di kampung halaman Maulan ini. Bedanya, di sini penjualannya tidak terbuka. Beberapa pedagang membuka lapak di teras rumah. Bawang Thailand ditawarkan Rp 9.000 per kilogram. Sedangkan bawang Vietnam sedikit lebih murah, Rp 7.500.
Pasar Sukomoro di Nganjuk masih dipenuhi bawang lokal. Harganya Rp 6.000 per kilogram. Pasar ini menampung bawang merah yang dihasilkan petani di enam daerah sentra, yakni Kecamatan Sukomoro, Rejoso, Wilangan, Bagor, Gondang, dan Nganjuk. Di pasar inilah biasanya distributor asal Surabaya, Tulungagung, atau Blitar berjualan. Beberapa pedagang mengirim dagangannya ke luar provinsi untuk memperoleh keuntungan lebih besar.
Tapi Wiwik, pedagang di Pasar Sukomoro, memperkirakan teknik kucing-kucingan ini tak akan berlangsung lama. Soalnya stok bawang merah lokal makin tipis. Tak lama lagi, bawang merah impor akan muncul di pasar-pasar tradisional. "Kalau tidak ada barang, mau apa lagi?" kata Wiwik.
Di Brebes, Juwari masih membiarkan dua ton bawang hasil panennya tergantung di langit-langit dapur. Ia berharap ada perubahan harga yang lebih layak. "Sengaja saya sisakan, siapa tahu laku," ucapnya penuh harap.
Retno Sulistyowati, Edi Faisol (Brebes), Hari Tri Wasono (Nganjuk)
Produksi Bawang Merah Nasional (Ton) | |
2012* | 1.209.581 |
2011 | 1.127.814 |
2010 | 1.048.934 |
2009 | 965.164 |
2008 | 853.615 |
2007 | 802.810 |
2006 | 794.931 |
2005 | 732.609 |
*)Perkiraan | |
Kebutuhan Bawang Merah (Ton) | |
2012* | 1.060.820 |
2011 | 1.046.325 |
2010 | 970.284 |
2009 | 936.103 |
2008 | 934.301 |
2007 | 909.853 |
2006 | 876.117 |
2005 | 847.883 |
*)Perkiraan | |
Sumber: Diolah dari data Badan Pusat Statistik dan Pusat Data dan Analisa Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo