Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAM digital di pojok kiri layar komputer masih menunjukkan pukul 14.19, Rabu pekan lalu. Sundoyo sudah membuka aplikasi Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia untuk pasar timah internasional (Inatin). Anggota staf bursa tersebut bersiap-siap mengawasi perdagangan timah.
Tepat pukul 14.30, Inatin dibuka. Selang beberapa detik saja, di kolom penawaran muncul angka tiga, sejajar dengan angka 24.600 pada lajur harga. "Artinya, ada penjual hendak menjual tiga lot dengan harga US$ 24.600 per metrik ton," kata Sundoyo.
Tak lama kemudian, ada pembeli yang membuka harga awal. Tawarannya lebih rendah, US$ 24.250. Penjual berikutnya memasang harga US$ 24.620 per metrik ton. Angka di kolom penawaran terus naik hingga sempat mencapai 24.645.
Calon pembeli mengalah. Harga permintaan timah naik mendekati tawaran harga jual terendah. Menjelang penutupan bursa pada 14.45, akhirnya terjadi transaksi perdagangan timah lima lot pada harga US$ 24.600 per metrik ton. Satu lot setara dengan lima ton timah.
Direktur Utama Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia Megain Widjaja gembira melihat perdagangan timah selama 15 menit itu. Maklum, biasanya timah yang terjual melalui Inatin paling banyak hanya dua lot. "Bahkan terkadang tidak ada transaksi dalam satu hari perdagangan," ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Inatin diluncurkan pada 1 Februari lalu. Bursa ini dibentuk buat menyaingi London Metal Exchange dan mencegah agar harga timah produsen lokal tak dimainkan spekulan. Direktur Utama PT Mitra Stania Prima Rudy Irawan menjelaskan, kendati Indonesia merupakan eksportir timah terbesar di dunia, harga timah produsen nasional bergantung pada bursa London.
Para produsen timah Indonesia merasa bahwa pembeli—yang disinyalir spekulan, bukan industri atau pembeli sesungguhnya—menahan harga sehingga tidak pernah menyentuh US$ 24.000 per ton pada Oktober 2011. "Bahkan, saat produsen di Bangka menghentikan ekspor, harga timah tidak kunjung naik."
Kini Rudy sedikit lega. Harga penutupan timah di Inatin tak buruk-buruk amat karena mendekati harga di London Metal Exchange. Rabu lalu, misalnya, ketika harga penutupan di Inatin sebesar US$ 24.600, harga di London mencapai US$ 25.650. Pada 6 Februari lalu, harga penutupan kontrak timah di kedua bursa sama-sama US$ 24.375 per metrik ton.
Sayangnya, peserta bursa timah Inatin masih sedikit. Dari 28 perusahaan peleburan timah anggota Asosiasi Timah Indonesia, baru tiga yang aktif menjual di Bursa Komoditas dan Derivatif, yakni PT Timah, PT Tambang Timah, dan Mitra Stania Prima. Adapun para pembelinya 3HCO Ltd, Gold Matrix Resources Pte Ltd, Purple Products Pvt Ltd, PT Comexindo International, PT Timah Industri, dan PT Refined Banka Tin.
Kepala Biro Perdagangan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Bursa Komoditi Indonesia Robert James Bintaryo mengatakan, beberapa perusahaan lain asal Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan tertarik membeli lewat Inatin. "Namanya masih dirahasiakan," ujarnya.
Minimnya penjual timah di Inatin tak lepas dari konflik di antara para produsen timah. Sebagian besar anggota asosiasi timah menolak bergabung dengan Inatin karena menginginkan Babel Tin Market di Bangka Belitung. Konsep bursanya bukan penentuan harga melalui mekanisme permintaan dan penawaran di bursa, tapi perusahaan-perusahaan di Bangka Belitung menetapkan sendiri harga dan jumlah timah yang akan dijual kepada pembeli.
Rudy memahami membuat bursa bukan perkara gampang karena harus ditopang sumber daya manusia andal dengan pengalaman di bursa internasional. "Biaya investasi bursa sendiri juga tidak akan cukup tertebus meskipun transaksi perdagangannya 20 ribu lot setahun," kata Rudy. Beruntung, Bursa Komoditas dan Derivatif mau memfasilitasi perdagangan timah nasional.
Megain optimistis transaksi timah di bursa nasional bisa semakin marak. Apalagi bila ketegangan di antara produsen nasional mereda. "Dalam waktu dekat, kami akan terbang ke Bangka untuk mengajak produsen lain bergabung," ujarnya.
Eka Utami Aprilia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo