Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LOBI bioskop Blitzmegaplex Pacific Place, Jakarta, tampak lengang, Kamis sore dua pekan lalu. Satu dari tujuh bioskop milik PT Graha Layar Prima, pengelola Blitzmegaplex, itu menjadi tuan rumah pengundian Blitzcard Extravaganza. "Dalam tiga tahun terakhir penjualan naik-turun, tergantung filmnya," kata Head of Marketing Blitzmegaplex Dian Sunardi.
Lewat acara bagi-bagi hadiah untuk pelanggan setia pemegang kartu Blitz itu, Graha Layar Prima sibuk mengkampanyekan lagi bisnisnya. Maklum, dalam setahun terakhir mereka pusing tujuh keliling. Bioskop yang mereka kelola sejak enam tahun lalu kini megap-megap. Dari 13 ribu lebih kursi bioskop, paling banter terisi 60 persen. Itu pun hanya pada hari libur atau akhir pekan. Pada hari biasa, jumlah penonton hanya 30 persen.
Terlebih pada Februari tahun lalu, ketika Motion Picture Association of America (MPAA)—gabungan enam studio produksi film terbesar di Amerika Serikat—menghentikan peredaran filmnya di Indonesia karena kisruh perpajakan impor film. Dampaknya, penjualan tiket Blitz anjlok hingga 30 persen. "Pokoknya sepi banget," ujar Dian.
Sumber Tempo menyebutkan kerugian Blitz hingga 2011 melampaui Rp 500 miliar. Belum lagi lilitan utang ratusan miliar rupiah. Tahun lalu, Graha Layar Prima memperbarui masa pelunasan utang ratusan miliar rupiah kepada Quvat Management Pte Ltd, perusahaan investasi di Singapura yang meminjami duit Rp 250 miliar agar Blitz berdiri. "Sekarang Blitz berdarah-darah dan manajemen sibuk mencari investor baru," ujarnya.
Lotte Group merupakan salah satu investor yang didekati. Raksasa bisnis hiburan dan perbelanjaan asal Korea Selatan itu pernah datang ke Indonesia pada September tahun lalu untuk menjajaki peluang bisnis bioskop. Tak hanya bertemu dengan Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Pariwisata Ukus Kuswara, Lotte pun berdialog dengan pemilik Blitzmegaplex. Namun sampai sekarang belum ada pembicaraan lanjutan. "Terkendala karena bisnis bioskop masih tertutup bagi pemodal asing," ujar si sumber.
Blitz tak patah semangat. Mereka mendekati CT Group—dulu Para Group. Pembicaraan rencana akuisisi saham Blitz telah dimulai tahun lalu. Komisaris Utama Blitzmegaplex A.M. Hendropriyono menjadi penggagasnya. "Hendro datang menawarkan," kata sumber Tempo di Trans Corporation, salah satu anak usaha CT Group di sektor pertelevisian.
Hubungan mantan Kepala Badan Intelijen Negara itu dengan CT Group memang erat karena Hendropriyono salah satu komisaris PT Carrefour Indonesia. Sejak 2010, Chairul Tanjung, pemilik CT Group, menguasai sekitar 40 persen saham Carrefour. Tapi rencana kongsi ini kepentok harga. Tawaran Graha Layar Prima Rp 250 miliar—senilai tunggakan utangnya—untuk separuh saham Blitz masih kelewat mahal. "Kami menilai prospeknya kurang," kata pentolan CT Group ini. Salah satu penyebabnya, dominasi distribusi film laris Hollywood masih dipegang Grup 21, pemain besar bisnis bioskop Indonesia.
Chairul Tanjung mengaku tak tahu rencana akuisisi itu. "Tak semua usaha saya yang mengurus," katanya kepada Tempo dalam peluncuran CT Group belum lama ini. Komisaris Graha David Hilman tak membantah ihwal pembicaraan dengan Lotte ataupun CT Group. "Belum serius," ujarnya Kamis dua pekan lalu. Blitz, menurut dia, selalu terbuka terhadap opsi kerja sama investasi.
Menggandeng mitra strategis bukan untuk menambal kerugian perseroan, David melanjutkan, melainkan agar Blitz bisa melebarkan bisnisnya. "Secara keseluruhan bisnis kami oke," katanya. Bisnis bioskop, ujar dia, tak bisa dijalankan hanya dengan lima atau tujuh bioskop. Kesuksesan bisnis bioskop, kata dia, baru bisa dilihat minimal sepuluh tahun.
Itulah sebabnya, sejak tahun lalu, Blitz menyepakati kerja sama investasi dengan pengusaha lokal di Surabaya, Balikpapan, dan Batam. "Semuanya pemilik gedung," kata David. Tahun ini Blitz akan hadir di ketiga kota tersebut.
Agoeng Wijaya, Nanda Sugiono (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo