Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH stiker merah putih seukuran kartu pos menempel di dinding depan gerai pulsa Atala Cell, Jalan Salak Raya, Depok, Jawa Barat. Pada gambar tempel itu tampak kalimat pendek berbunyi "Outlet ini menolak klasterisasi all operator seluler". Di pojok bawah stiker tertera tanda tangan si pemilik gerai. "Sudah seminggu saya menempelkan stiker itu," kata Haruman Kahfi, pemilik Atala Cell, kepada Tempo, Kamis siang pekan lalu.
Stiker tersebut, kata dia, sengaja dipasang di gerainya sebagai bentuk solidaritas kepada para pedagang pulsa seluler se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang menolak kebijakan operator-operator seluler menerapkan hard cluster.
Haruman tak sendirian. Di Depok, ada banyak gerai pulsa elektrik yang memasang stiker tersebut. Salah satunya Calista Cell di Jalan Margonda Raya. Ita, pemilik gerai, menempelkan stiker itu di kaca depan gerainya. Gambar tempel itu dipasang pada awal pekan lalu, beberapa hari setelah unjuk rasa para pedagang pulsa di Jakarta menentang kebijakan klusterisasi pulsa. "Saya mendukung gerakan ini," katanya.
Hard cluster merupakan metode distribusi untuk membatasi alokasi stok pulsa. Jenisnya ada dua: klusterisasi distribusi alokasi dan klusterisasi peredaran pulsa kepada konsumen. Klusterisasi distribusi alokasi berarti dalam suatu wilayah—kecamatan atau juga base transceiver station (BTS)—satu operator seluler hanya memiliki satu dealer resmi. Misalnya, dealer resmi yang melingkupi Kecamatan/BTS Jatinegara memprioritaskan penjualan cip—semacam kartu seluler pengirim pulsa—dan stok pulsa elektriknya kepada para pedagang (pengecer) di Kecamatan Jatinegara juga.
Dalam klusterisasi peredaran pulsa kepada konsumen, terjadi pula pembatasan penjualan pulsa elektrik di luar klasternya. Misalnya, pengecer di Kecamatan/BTS Menteng memprioritaskan penjualan pulsa elektriknya kepada konsumen dari Kecamatan/BTS Menteng. Klusterisasi pulsa ini sudah dimulai sejak tahun lalu. PT XL Axiata pelopor model pendistribusian ini. Belakangan PT Telkomsel, PT Indosat, dan beberapa operator lain mengadopsinya.
Para pedagang pulsa elektrik merasa hard cluster memberatkan. David Mitra Aji, anggota Payuguban Pedagang Pulsa Indonesia, mengatakan klusterisasi distribusi mengakibatkan ketergantungan pembelian stok pedagang pulsa hanya kepada satu dealer di kluster masing-masing. Ketergantungan ini menimbulkan kerugian. Misalnya, jika stok pulsa elektrik di dealer resmi habis, pedagang pulsa kecil tak punya pilihan membeli stok ke dealer lain. "Para pedagang pulsa pun tak punya daya tawar atas harga pulsa lantaran hanya bisa membeli dari satu dealer di kluster tersebut," katanya kepada Tempo pekan lalu.
Tak puas terhadap sistem hard cluster, Kamis pagi dua pekan lalu sekitar 400 pedagang pulsa elektrik yang tergabung dalam Payuguban Pedagang Pulsa Indonesia berunjuk rasa di depan kantor pusat Telkomsel, Sentra Mulia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Menurut David, yang juga ketua unjuk rasa, para pengecer pulsa mendemo Telkomsel lantaran paling banyak jumlah pelanggan prabayarnya. Telkomsel juga paling keras menerapkan hard cluster.
Anak usaha PT Telkom ini hanya membolehkan pengecer pulsa elektrik menjual kepada konsumen di luar klusternya (outer cluster) sebanyak 15-20 persen dari jumlah transaksi. Bila melanggar batas itu, distributor Telkomsel akan memberi sanksi kepada sub-dealer, para pedagang, atau pengecer (reseller) berupa pemotongan alokasi stok pulsa pada pekan berikutnya atau bahkan pencabutan cip. Haruman membenarkan David. Ia mengatakan mendapat rapor merah dari dealer karena sering menjual pulsa elektrik Simpati dan As milik Telkomsel ke luar kluster. "Saya dipotong dua kali. Beli 100 unit hanya dikasih 70-80 unit."
Menurut David, operator lain, seperti XL dan Indosat, lebih lunak ketimbang Telkomsel. "XL dan Indosat tak membatasi outer cluster, tapi hanya menerapkan sanksi kepada dealer yang melanggar batas klusterisasi distribusi alokasi." Anehnya, kata dia, Telkomsel tak membatasi penjualan pulsa kepada konsumen di luar klusternya di minimarket—Indomaret, Alfamart, atau Alfa Midi dan perbankan—penjualan pulsa lewat mesin anjungan tunai mandiri dan mobile banking. Konsumen dari daerah mana saja bisa dengan bebas membeli pulsa elektrik di pasar modern dan bank tersebut. Tak ada sanksi dari dealer Telkomsel kepada minimarket atau bank yang melakukan outer cluster.
David mengeluh, gara-gara hard cluster, sub-dealer dan pedagang pulsa elektrik, yang kebanyakan usaha kecil- menengah, terancam gulung tikar. Indikasinya, sejak akhir 2010 sampai sekarang, jumlah gerai pulsa eceran semakin susut. Akibatnya, toko grosir di ITC Roxy atau ITC Cempaka Mas tutup lantaran kehilangan pelanggan gerai pulsa kecil ini.
KETEGANGAN pecah di lantai 18, kantor pusat Telkomsel, di Sentra Mulia, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. David dan lima perwakilan dari Payuguban Pedagang Pulsa Indonesia berunding dengan manajemen Telkomsel. Hampir terjadi kericuhan karena manajemen Telkomsel menolak pertemuan direkam kamera stasiun televisi. Pertemuan akhirnya berjalan setelah Payuguban Pedagang Pulsa mengalah.
Duduk berhadapan di meja berbentuk huruf U, menurut David, para perwakilan pedagang pulsa elektrik mendesak Telkomsel menghentikan hard cluster lantaran telah mematikan usaha kecil-menengah. Para pedagang pulsa juga kesulitan melakukan pengisian pulsa ke konsumen yang sama klusternya—dengan pengecer pulsa. Alasannya, konsumen begitu cepat dan dinamis bergerak. "Banyak orang luar Jakarta mengisi pulsa di Jakarta," katanya memberi contoh. "Masak, pedagang harus tanya dulu alamatnya dan menolak mereka yang ingin membeli pulsa."
Di bawah tatapan polisi yang berdiri di belakang meja, perdebatan berlangsung panas. Manajemen Telkomsel, kata David, menolak menghentikan kebijakan hard cluster. Setelah berdebat selama hampir dua jam, pertemuan bubar tanpa kesepakatan. Toh, Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno mengatakan, "Telkomsel tetap akan mencari solusi bersama dengan para pedagang pulsa elektrik."
Sarwoto menjelaskan, dulu semua operator seluler menerapkan soft cluster. Dalam sistem ini, dealer resmi ternyata malah bersaing. Sejumlah dealer juga membentuk entitas sendiri, seperti sub-dealer, dan pengusaha server. Akibatnya, tata niaga menjadi panjang dan pasar tak efisien. Nilai jual pulsa juga jatuh lantaran kerap terjadi banting-bantingan harga. "Margin dealer dan pedagang pulsa menyusut," katanya.
Walhasil, operator seluler, termasuk Telkomsel, mengubah soft cluster menjadi hard cluster. Tujuannya memangkas tata niaga pulsa elektrik agar langsung dari dealer ke pengecer saja. Targetnya harga jual pulsa stabil dan pendapatan para pelaku bisnisnya meningkat. "Sistem hard cluster justru tidak mematikan usaha kecil, tapi mendorong mereka menjadi pedagang pulsa atau pengecer," ujar Sarwoto.
Sarwoto juga membantah tudingan bahwa manajemen Telkomsel memberi sanksi kepada pengecer pulsa elektrik yang melanggar batas menjual di luar klusternya. Telkomsel, kata dia, tidak meneken kontrak dengan pengecer, tapi dengan dealer. "Itu (tudingan) salah alamat. Sanksi buat pengecer keputusan dealer, bukan dari kami."
Vice President Commerce Operation Management XL Joedi Wisoeda menjelaskan, di wilayah Bandung, XL membatasi dealer menjual pulsa kepada pedagang atau pengecer di luar klusternya 40 persen dari transaksi dan di Jabodetabek sebesar 30 persen. XL akan memotong komisi dealer bila melanggar batas itu. Tapi, kata dia, XL tidak membatasi pengecer menjual pulsa elektrik kepada konsumen di luar klusternya. "Kami tidak pernah memberi sanksi kepada pengecer meski mereka menjual ke mana pun," kata Joedi.
Sejatinya, menurut Joedi, tidak ada batasan bagi dealer resmi XL untuk menjual pulsa elektrik kepada pengusaha server atau pedagang pulsa, sepanjang jumlah pulsa yang dialokasikan sama dengan permintaannya. "Dengan konsep ini, jumlah penawaran dan permintaan sama, sehingga harga pulsa kami stabil," katanya.
Padjar Iswara, Fery Firmansyah, Ilham (Depok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo