Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Korporasi Internasional</font><br />Mat Kodak di Pengujung Pensiun

Utang terus menumpuk. Eastman Kodak terancam pailit.

10 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOM Diederich tersenyum kecut. Warga Rochester, New York, Amerika Serikat, itu hampir tak percaya. Eastman Kodak Company, perusahaan yang malang melintang selama 131 tahun di industri fotografi, kini terancam bangkrut. Pria 59 tahun itu pernah bekerja 20 tahun di divisi film Kodak. Ia satu dari 60 ribu warga Rochester yang pernah bekerja di perusahaan yang didirikan oleh George Eastman dan Henry Strong tersebut. Sekarang jumlah pekerja Kodak hanya tersisa 7.000 orang setelah dalam empat tahun terakhir selalu gagal menuai laba.

Diederich kini bekerja paruh waktu untuk Hertz, agen penyewaan mobil. Dia pensiun dari Kodak sebulan lalu lantaran terkena program penyusutan karyawan. "Saya tak menyangka penurunan kinerja perusahaan berimbas buruk kepada saya," ujar Diederich. Nasib Jim Cook sama dengan Diederich. Pria yang sudah menghabiskan 39 tahun bekerja di divisi pengadaan kertas itu sangat merindukan Kodak. "Saya masih berminat bekerja untuk Kodak jika diberi kesempatan."

Dalam beberapa tahun terakhir, kenangan indah bersama Kodak telah menjelma menjadi kepedihan. Terjadi serangkaian pemutusan hubungan kerja dan pemotongan biaya yang menyengsarakan karyawan dan pensiunan. Ribuan karyawan sebenarnya berharap bisa bertahan lama hingga pensiun, agar dapat menikmati jaminan kesehatan dan dana pensiun. Tapi, apa hendak dikata, pendapatan dari penjualan kamera digital terus menurun. Sementara keuntungan dari penjualan kertas film tradisional juga kurang bersinar (lihat tabel).

Utang perusahaan menumpuk mencapai US$ 2,7 miliar (sekitar Rp 24 triliun). Perampingan jumlah karyawan terpaksa dilakukan agar Kodak bisa membayar utang. Pekan lalu, Kodak terpaksa mencairkan uang senilai US$ 160 juta. Manajemen Kodak menyatakan bakal memakai uang itu untuk "keperluan umum". Mereka juga menyewa firma hukum Jones Day, konsultan ulung di bidang kepailitan, untuk membenahi kondisi perusahaan, yang tekor US$ 1,8 miliar (Rp 17 triliun) sejak 2007.

Keruan saja badai di Kodak memicu kepanikan investor di pasar saham Wall Street. Mereka khawatir Kodak kehabisan uang tunai. Harga saham pionir fotografi itu langsung nyungsep sekitar 77 persen ke level terendah 0,54 sen dolar, Jumat dua pekan lalu. Saham Kodak sempat naik lagi pada Senin pekan lalu, setelah manajemen menyatakan tak berniat mengajukan pailit. Tapi, sehari kemudian, saham Kodak jatuh lagi 16,4 persen menjadi US$ 1,12 per lembar.

Para investor saham ragu lantaran menumpuknya utang Kodak, besarnya kewajiban dana pensiun, dan ketidakmampuannya menemukan pasar baru. Akibatnya, menurut para analis, investor menghubungi pengacara dan penasihat keuangan untuk membahas kemungkinan merestrukturisasi utang perusahaan.

Ada celah bagi Kodak untuk lepas dari perangkap pailit. Salah satunya melego 1.000 hak paten yang diperkirakan bernilai US$ 2 miliar (sekitar Rp 18 triliun). "Itu portofolio berharga. Mereka harus mendapat harga bagus," kata Mark Kaufman, analis di Rafferty Capital Markets. "Mereka mesti menjual portofolio itu untuk memperoleh dana tunai."

Namun keresahan telanjur merebak, terutama di kalangan pensiunan Kodak. Mereka buru-buru bergerak. Prioritas utama bagi kelompok advokasi independen pensiunan Kodak (Ekra), kata Presiden Ekra Bob Volpe, melindungi aset pensiunan dan tidak membiarkan manajemen Kodak memakai dana pensiun untuk membiayai restrukturisasi utang. Para pensiunan mulai menghubungi perusahaan asuransi dan berkonsultasi sebelum mengalihkan dana hari tua dari Kodak. "Kami harus menjaga diri."

Juru bicara Kodak, Chris Veronda, berusaha keras meyakinkan para pensiunan. "Kodak berfokus menjadi perusahaan yang menguntungkan dan perusahaan digital berkelanjutan," ujarnya. Dia membeberkan, memang perusahaan sedang kekurangan dana untuk memenuhi kewajiban pensiun di Inggris, tapi sedang berusaha memperbaikinya.

Laporan independen terbaru tentang program pensiun pada Desember 2010 menyebutkan secara jelas, kewajiban dana pensiun bagi karyawan di Amerika Serikat sepenuhnya didanai oleh Kodak. Saat ini, kata Veronda, Kodak baru menawarkan fasilitas kesehatan di Amerika untuk karyawan aktif dan pensiunan.

Limbungnya Kodak memicu keprihatinan pemerintah setempat. Wali Kota Rochester Thomas Richards menyatakan Kodak telah kehilangan para pekerja vital dalam beberapa dekade terakhir. Pemerintah kota akan terus memberi bantuan sebisanya. "Kodak sudah bermurah hati dengan insentif pensiunnya. Para karyawan yang kehilangan pekerjaan didorong memulai usaha kecil," ujarnya. "Cara-cara rasional itu memungkinkan kota dan perekonomian daerah menyerap para pekerja."

Jumlah penduduk Kota Rochester sekitar 210 ribu jiwa pada 2010. Tingkat pengangguran sekitar 7,1 persen, jauh lebih rendah dari angka nasional 9,1 persen. Tampaknya Rochester sekarang tak mungkin lagi bergantung pada Kodak. Olga Petrou pun pesimistis dengan nasib Kodak. Olga merupakan keturunan keluarga Christanis, pemilik restoran Peppermill di pinggiran Kodak Park, selama 35 tahun. "Bagi kami, Kodak sudah tidak ada lagi. Orang begitu sedikit sehingga tak mampu memenuhi restoran kami," katanya.

Tadinya Peppermill beroperasi 24 jam sehari, tapi kembali ke jam operasional kantor, yakni delapan jam, beberapa tahun lalu saat bisnis Kodak melambat. Petrou ingin kenangan saat Kodak masih jaya beberapa tahun silam itu terulang. Saat itu Peppermill disesaki pekerja konstruksi pada saat jam makan siang.

Bagi warga Rochester, Kodak memang meninggalkan kesan mendalam. Masyarakat, karyawan, dan keluarganya sering melancong ke Kodak Park, di pinggiran kota. Mereka menikmati makan malam iga bakar, yang harganya disubsidi perusahaan. "Dulu ada semacam idiom, kehidupan di Rochester semarak setelah ada Kodak," kata Diederich. Sekarang, setelah Kodak semakin tenggelam, kebiasaan warga Rochester sudah tak ada lagi. "Semuanya tinggal kenangan," kata Volpe.

Warga lain menggambarkan hubungan Rochester dengan Kodak sebagai pasang-surut kehidupan. Pada suatu ketika, kata Scott Cole, Kodak laksana dewa. "Sekitar 1980 atau 1981, orang berpikir, jika Kodak ambruk, kota kami akan runtuh. Ternyata mereka salah. Kami baik-baik saja," ujar pekerja di bidang industri teknologi yang juga dibesarkan di daerah itu. "Kami masih bisa bermain di arena boling, mendengarkan musik dari band lokal, dan menenggak Schnapps (minuman beralkohol tinggi produksi Jerman)," kata Cole.

Untuk saat ini, setidaknya sejauh mata memandang, nama Kodak masih terpampang di sudut-sudut Kota Rochester. Jalan-jalan dan bangunan mengadopsi namanya. Pelbagai gedung bersejarah, termasuk perpustakaan lokal, masih menyimpan arsip-arsip penting yang memuat kisah perjalanan perusahaan itu.

Bobby Chandra (Reuters, AFP, CNBC, Business Insider)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus