Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, Rabu pekan lalu, ketegangan menyelimuti ruang rapat di lantai delapan Mandala Building, Tomang, Jakarta Barat. Dalam pertemuan antara karyawan dan manajemen PT Mandala Airlines itu, Kapten Pilot Rustam, yang duduk di sebelah kanan Direktur Utama Mandala Diono Nurjadin, menghardik seorang undangan. "Kami minta Bapak keluar," kata Rustam kepadanya. Pria itu Muhammad Halim, bukan bekas pegawai, melainkan pengacara.
Halim menolak. Dia mengklaim mengantongi surat kuasa dari empat mantan karyawan Mandala untuk menuntut pesangon yang belum dibayarkan maskapai itu. Toh, upayanya tak membuahkan hasil. Setelah beberapa saat beradu argumen, Rustam dan jajaran manajemen Mandala berhasil memaksa Halim keluar dari ruangan. "Ini pertemuan internal." Diono diam saja.
Pukul tujuh pagi, sekitar seratus mantan karyawan Mandala mendatangi bekas kantornya. Mereka bagian dari 400-an eks karyawan Mandala yang terkena pemutusan hubungan kerja gelombang pertama pada Maret lalu. Dua hari sebelumnya, beredar pesan pendek: direksi Mandala bersedia bertemu. Kabar ini kesempatan emas bagi karyawan Mandala karena, hingga saat ini, pesangon yang dijanjikan manajemen belum juga terealisasi.
Selama enam bulan terakhir, Mandala dua kali melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Terakhir pada akhir Juli lalu terhadap seratus karyawan. Keputusan ini diambil menyusul bangkrutnya perusahaan sejak Januari lalu akibat tingginya biaya operasional maskapai dan utang yang menumpuk.
Menjelang ambruk, Mandala terlilit utang Rp 800 miliar, sebagian besar kepada pemberi sewa (lessor) pesawat. Belum lagi piutang dari Angkasa Pura I sebesar Rp 3 miliar dan Angkasa Pura II sebesar Rp 5,63 miliar untuk jasa layanan di sejumlah bandara serta tagihan pembelian avtur Pertamina sebesar Rp 400 juta.
Angka ini terus bertambah setelah Mandala berhenti beroperasi pada 13 Januari. Jumlah utangnya kepada ratusan kreditor konkuren—yang tak dijamin dengan aset perseroan—mencapai Rp 2,45 triliun. Di dalamnya termasuk ratusan agen penjualan tiket dan puluhan ribu pemegang tiket yang batal terbang.
Beruntung, Pengadilan Niaga Jakarta mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang yang disodorkan Mandala. Dalam voting Februari lalu, sebagian besar dari ratusan kreditor konkuren juga menyetujui proposal perdamaian dari manajemen Mandala agar perseroan tak dilikuidasi. Isinya, Mandala berencana menarik investor baru, mengkonversi utang menjadi saham, dan membentuk pengelola baru yang akan memulai kembali operasi perusahaan.
Jumat dua pekan lalu, tersiar berita dari Singapura. Mandala akhirnya meneken perjanjian penyertaan modal dengan PT Karya Surya Prima—anak perusahaan Saratoga Capital milik pengusaha Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya—dan Roar Aviation Pte Ltd, anak perusahaan grup maskapai asal Singapura, Tiger Airways Holding Ltd. Saratoga akan menguasai 51 persen, sedangkan Tiger 33 persen. Sisanya, 15 persen dikantongi Lion Trust Limited, kendaraan bisnis untuk konversi piutang kreditor konkuren, dan satu persen pemilik lama.
Berbekal perjanjian itu, Mandala berancang-ancang terbang lagi sebagai maskapai penerbangan murah—seperti yang selama ini dilakoni Tiger—pada akhir tahun. Tentu saja kabar ini membuat hati sebagian mantan karyawan berbunga. Sebab, pesangon yang dijanjikan kepada mereka mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per orang.
Meski begitu, banyak juga yang khawatir. Selama ini manajemen dinilai sering ingkar janji. Awal April lalu, sehari setelah pemutusan hubungan kerja gelombang pertama, manajemen melalui kuasa hukum Kemalsjah Siregar meneken surat kesepakatan bersama mengenai besaran pesangon dan waktu pembayaran.
Kesepakatan tersebut menyebutkan pesangon akan dibayar dalam 90 hari kerja sejak surat diteken. Jika dihitung, seharusnya mantan karyawan sudah menerima paling lambat awal Agustus. "Perusahaan wanprestasi," kata Halim. Selain masalah pesangon, Mandala belum membayarkan iuran Jamsostek, yang dipotong dari gaji karyawannya sejak Juni tahun lalu.
Diono sempat bertemu dengan sekitar 40 eks karyawan pada pertengahan Agustus lalu. Saat itu beberapa karyawan berancang-ancang mengadukan nasib mereka ke Komisi Ketenagakerjaan Dewan Perwakilan Rakyat. Manajemen meminta niat itu tak dilakukan dan berjanji membayar pesangon setelah penandatanganan perjanjian dengan investor baru. "Dulu janjinya setelah Lebaran, tapi mundur," ujar seorang mantan karyawan yang enggan disebut namanya.
Kekhawatiran itu terbukti. Pada pertemuan pekan lalu, Diono lagi-lagi hanya bisa meminta maaf karena belum bisa menuntaskan berbagai kewajiban perseroan kepada eks karyawan. Meski penandatanganan penyertaan modal sudah diteken, perseroan sebenarnya belum mendapatkan dana segar dari investor baru. "Ada komitmen untuk investasi, tapi belum realisasi," katanya. Janjinya sama, seluruh kewajiban akan dipenuhi begitu dana segar mengalir dari investor baru.
Apa boleh buat, ratusan mantan karyawan Mandala harus menunggu dengan berdebar-debar hingga akhir tahun. Merujuk isi perjanjian penyertaan modal, suntikan dana akan digelontorkan jika Mandala memenuhi berbagai persyaratan yang memastikannya bisa beroperasi lagi sebagai maskapai penerbangan, termasuk memperbarui izin usaha penerbangan.
Tak mudah memenuhi persyaratan tersebut. Mandala juga harus menyodorkan rencana bisnis minimal dalam lima tahun ke depan kepada regulator untuk dievaluasi. Untuk memperoleh izin operasi, Undang-Undang Penerbangan mewajibkan maskapai mengoperasikan minimal 10 pesawat—lima di antaranya harus berstatus hak milik. Saat ini, untuk membeli lima pesawat, diperkirakan butuh sedikitnya US$ 250 juta.
Restrukturisasi Mandala makin berat karena perjanjian penyertaan modal menyebutkan seluruh proses tersebut harus rampung sebelum tutup tahun. Sebab, jika Mandala tak segera terbang hingga Januari, atau setahun sejak berhenti beroperasi, izin usahanya terancam dibekukan sehingga proses perizinan bakal lebih lama lagi. "Sekarang kami maraton menyusun rencana bisnisnya," kata Devin Wirawan, Manajer Investasi Saratoga Capital. Meski optimistis, dia mengakui, jika semua persyaratan tak terpenuhi, kucuran duit segar bisa dibatalkan.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo