Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya dengan Rp 40 ribu, pelanggan kini bisa menikmati paket pijat komplet di sebuah klinik spa di Jakarta Barat. Jika masih kurang, mereka bisa menambah paket relaksasi pijat aromaterapi, lulur, dan sauna. Biayanya separuh dari harga normal. Ada juga penawaran lain, seperti burger, iga bakar, juga paket pembersihan gigi, sampai menginap di resor tepi pantai. Semua dengan potongan harga alias diskon yang menggiurkan.
Prosesnya pun sangat mudah. Tempo mencoba mendaftar menjadi anggota grup situs tersebut. Ternyata prosesnya cepat dan praktis. Pelanggan tinggal mentransfer uang ke rekening pengelola situs, selanjutnya mereka akan mendapatkan balasan file kupon. Menunjukkan kupon tercetak, penyedia produk (merchant) memberikan diskon sesuai dengan yang tertera.
Layanan diskon ini menambah alternatif bagi konsumen mendapatkan harga miring. Andi Pratama, 31 tahun, salah satunya. Karyawan swasta di Jakarta ini menjadi anggota Lapar.com, situs penyedia kupon diskon spesial kuliner, sesuai dengan kegemarannya makan banyak dan mencoba menu-menu baru. "Makan enak kalau membayar mahal jadi kurang nikmat," kata dia. Setiap hari Andi memantau Harga Edan Hari Ini, yang menjadi headline di situs itu. Jumat pekan lalu, dia berencana membeli kupon diskon 50 persen untuk steak Stone Grill. Alhasil, untuk makanan favorit itu, dia cukup membayar Rp 20 ribu. "Dieksekusi akhir pekan bareng istri."
Lapar.com adalah salah satu pemain di bisnis penyedia kupon diskon yang mengoptimalkan jejaring Internet untuk pemasarannya. Modus jualannya sama dengan situs semacam: menggaet konsumen dengan kupon diskon. Tentu setelah melalui kesepakatan dengan penjual. Lapar.com tidak mengutip komisi dari merchant rekanan. Mereka mendapatkan keuntungan dari selisih margin diskon yang diberikan merchant kepada konsumen. Semua merchant rekanan Lapar.com adalah restoran, mengikuti segmen pasar kuliner. Pertimbangannya, "Semua orang ke mana saja pasti ujung-ujungnya mencari makan," kata Anastasia Paulin dari bagian pemasaran Lapar.com.
Strategi yang dipilih tidak meleset. Sejak situs itu dirintis Desember 2010, mitra Lapar.com kini mencapai sekitar 100 restoran di Jakarta dan Bandung. Dalam seminggu tercatat 300 hingga 500 deal—istilah untuk transaksi pembelian kupon. Mengambil rata-rata harga terendah kupon Rp 20 ribuan saja, omzet deal sehari menembus jutaan rupiah.
Kesuksesan itu tentu tidak seketika. Awalnya banyak cerita penolakan dari restoran-restoran yang disodori proposal kerja sama. Lambat laun, rekanan bertambah seiring dengan pemahaman keuntungan yang diperoleh. Rencana ekspansi pun digagas. Daerah baru yang dibidik sekitar Yogyakarta, Surabaya, atau Medan. "Di mana ada makanan-makanan enak," kata Paulin. Peluangnya sejauh masih ada restoran buka dan orang-orang masih berburu makanan.
Lapar.com adalah salah satu pemain bisnis daily deal. Disebut demikian karena menekankan deal alias kesepakatan dengan konsumen dan penyedia produk dengan batasan waktu. Kupon-kupon diskon ditawarkan dalam kurun waktu terbatas dan dimutakhirkan hampir saban hari. Salah satu varian bisnis berbasis Internet (e-commerce) ini menarik minat terutama pelaku-pelaku bisnis digital.
DALAM setahun terakhir, bisnis daily deal di Tanah Air tumbuh pesat. Menurut Adrian Suherman, Chief Executive Officer Dealkeren.com, saat perusahaannya didirikan pada pertengahan Agustus 2010, hanya ada empat perusahaan serupa di Indonesia. "Sekarang sudah ada 40 perusahaan, baik lokal maupun asing," katanya. Puluhan pemain bisnis daily deal itu, termasuk Dealkeren.com, berpameran di Social Media Fest di FX Plaza, Sudirman, Jakarta, 22-24 September lalu.
Maraknya penyelenggara bisnis daily deal di Indonesia menarik pemain asing kelas dunia. Perusahaan daily deal besar dari Amerika Serikat, LivingSocial, mengakuisisi DealKeren pada Juli lalu. Nilai transaksinya disebut-sebut mencapai ratusan miliar rupiah. Aksi korporasi itu terjadi setelah LivingSocial membeli Ensogo, induk Dealkeren.com, yang beroperasi di Thailand dan Filipina.
LivingSocial memang sangat ekspansif. Sebelumnya, mereka mengakuisisi GoNablt, situs daily deal yang beroperasi di Dubai, Abu Dhabi, Libanon, dan Yordania. Pesaingnya, Groupon, Amerika Serikat, juga telah mengakuisisi Disdus.com. Dari perusahaan yang ada, perusahaan lokal mendominasi. "Istilahnya startup, dan siap dibeli perusahaan asing," kata Suherman.
Dengan peta seperti ini, konsumen pun mendapat beragam pilihan. Sekadar menyebut di antaranya, selain Lapar.com yang spesifik tadi, ada Disdus.com, Diskonkolektif, Belibareng, Pestadeal, Supervoucher, Lakuu.net, dan Akupluskamu. Banyak di antaranya yang bisa menjual kupon hingga 15 ribu dalam sepekan. Ranahnya juga melebar dari sebelumnya gaya hidup, seperti restoran, salon, dan kafe, belakangan hingga voucher travel atau hotel.
Namun, menurut Adrian, persaingan bisnis daily deal belum ketat. "Pasarnya besar, tinggal edukasi pasar," katanya. Menguasai pangsa pasar 60 persen, DealKeren menjadi pemain utama bisnis daily deal sekarang. Sedikitnya 600 perusahaan penyedia produk dan jasa menjadi mitra strategis, semisal Haagen Dazs, Pizza Hut, Taman Impian Jaya Ancol, Mitra Adiperkasa, Matahari Department Store, dan berbagai hotel.
Nilainya berbeda-beda, dengan diskon 50-80 persen dari harga biasa. Waktu penawaran 24 sampai 72 jam. Total transaksi bulanan rata-rata 50-100 ribu transaksi. Dari setiap transaksi, komisi untuk DealKeren sebesar 30-50 persen.
Tren pertumbuhan DealKeren juga terus meningkat. Dalam kurun waktu setengah tahun sejak berdiri, anggotanya sudah menembus 100 ribu orang dan meningkat tiga kali lipat satu semester kemudian. Kini sudah mencapai 800 ribu anggota. Tren ini, Adrian menandaskan, menjadi keniscayaan mengingat perilaku belanja lewat Internet (online) terus terbentuk. Pengguna Internet di Indonesia, yang berkisar 40 juta, juga terus bertambah. "Mereka banyak yang ingin mencoba hal baru tapi tak mau keluar biaya mahal, dan larinya ke voucher," katanya.
Dari sisi perusahaan penyedia produk dan jasa, dengan pertimbangan efektivitas dan efisiensi, ada kecenderungan melengkapi iklan produk di dunia maya (online), bahkan memindahkan iklan offline—nondunia maya—yang relatif sulit diukur hasilnya. "Billboard di jalan yang mahal tak menjamin berapa banyak konsumen terjaring," ujar Adrian. Sebagai perbandingan, beriklan melalui situs daily deal sudah terukur khalayak yang tergapai, yakni komunitas dari grup situs bersangkutan.
Meski demikian, porsi iklan Internet memang masih kecil. Dari iklan Rp 80 triliun per tahun, porsi iklan Internet baru sekitar dua persen. Sesuai dengan pemetaan tersebut, posisi perusahaan daily deal sejatinya adalah agen pemasaran dari sebuah perusahaan penyedia produk dan jasa. Dalam lingkup lebih luas, bisnis daily deal ini juga dilirik pemain besar Internet global. Google membeli perusahaan daily deal asal Jerman, DailyDeal.de, sebagai salah satu aksi terjun ke lapangan yang selama ini dikuasai Groupon dan LivingSocial.
Google juga membeli Dealmap, situs yang menyediakan layanan aggregator, yakni mengumpulkan penawaran daily deal dari berbagai situs. Di Indonesia, penyedia layanan aggregator juga mengiringi. Dealgoing.com salah satunya, yang diluncurkan di Jakarta pada Juli lalu.
Melihat peluang masih luas, perusahaan-perusahaan di ranah dotcom pun terjun ke bisnis ini. Ogahrugi.com, contohnya, sebelumnya menyediakan layanan informasi diskon di berbagai perusahaan penyedia produk dan jasa di Jakarta dan sekitarnya. Seiring dengan tren daily deal, Ogahrugi.com pun mengembangkan penjualan kupon diskon. Berbagai jurus digelar memperebutkan pasar. Selain dengan iming-iming diskon besar dan beragam produk, juga penggunaan tagline yang terdengar "dekat" dengan khalayak.
Di balik kisah legit bisnis iklan ini, terselip juga cerita kerugian-kerugian yang dialami konsumen. Tidak semua kupon bisa digunakan saat berbelanja. Kemungkinannya bisa karena ketidaksesuaian data perusahaan penyedia produk dan jasa dengan situs diskon atau bahkan merchant sudah tutup. Indriastuti, 30 tahun, warga Depok, Bogor, pernah dikecewakan oleh layanan diskon untuk pembelian pizza. "Warung sudah tutup, harus ngurus penggantian," katanya.
Soal ini penyedia diskon mengakuinya. "Ada pelanggan yang kecewa, tapi kecil sekali," kata Adrian. Itu bisa terjadi antara lain karena salah pengertian dengan perusahaan penyedia produk dan jasa. Misalnya, sudah jalan tiga bulan ternyata salah satu cabang tutup tanpa pemberitahuan. Biasanya penyelesaiannya dengan penggantian uang kupon.
Selain masalah-masalah penyempurnaan sistem, keberlanjutan bisnis ini masih tanda tanya besar. "Bisa jadi hanya tren sesaat," kata Tuhu Nugraha, Kepala Media Sosial NB Agency Asia—konsultan komunikasi dan pemasaran digital. Pola bisnis ini sangat bergantung pada kesediaan merchant memberikan diskon guna menjaring konsumen, yang ujung-ujungnya memperkuat merek.
Tuhu memperkirakan ada masanya penyedia produk menghindari banting harga karena berisiko merusak merek. "Kalau murah terus, bisa terkesan murahan," katanya. Untuk bertahan, yang harus dilakukan adalah menggali kreasi-kreasi baru e-commerce. Modalnya penggila diskon yang jadi anggota sekarang.
Harun Mahbub, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo