Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN dewan gubernur bank sentral zona euro di Brussel, Belgia, Kamis pekan lalu, berlangsung hampir tanpa gairah. Tak ada hadiah perpisahan ataupun pemberian setangkai bunga buket ketika Jean-Claude Trichet hadir terakhir kalinya sebagai presiden bank sentral Eropa. Hanya ada beberapa kalimat penghargaan dari Presiden Bundesbank (bank sentral Jerman) Jens Weidmann. Mulai bulan depan, masa jabatan Trichet, warga negara Prancis, sebagai penjaga mata uang euro berakhir. Ia digantikan Mario Draghi, pejabat bank sentral Italia.
Muramnya pertemuan para dewan gubernur bank sentral se-Eropa itu seolah-olah mengikuti suasana kelabu di seantero Benua Biru. Sejak tahun lalu, Eropa dilanda krisis utang. Krisis yang bermula dari kebangkrutan Yunani itu telah merembet ke negara anggota zona euro lain, seperti Siprus dan Irlandia. Kini krisis mengintai Portugal, Spanyol, Italia, bahkan Prancis. Krisis juga telah merembet ke sektor perbankan. Kondisi semakin berat lantaran likuiditas dolar di pasar uang Eropa semakin seret.
Satu per satu bank limbung karena kekurangan modal. BNP Paribas dan Societe Generale sudah goyah. Beruntung dua bank terbesar di Prancis itu bisa bertahan. Tapi tidak dengan Dexia Bank. Bank patungan pemerintah Prancis, Luksemburg, dan Belgia itu ambruk dua pekan lalu. Pemerintah Belgia terpaksa mengambil alih bank itu dan menyuntikkan modal sekitar 4 miliar euro (Rp 48,6 triliun). Trichet memperingatkan, krisis zona euro dan perbankan di Eropa berdampak sistemik. Maksudnya, krisis ini sungguh berbahaya dan bisa merembet ke negara-negara di luar Eropa dan bank lainnya. "Eropa episentrum krisis," ujarnya.
Trichet menekankan pentingnya dana talangan (bailout) dalam bentuk Fasilitas Stabilitas Keuangan Eropa (EFSF). Negara zona euro yang terkena krisis, kata dia, bisa meminjam dana talangan itu. Sebagian dipakai untuk menutup defisit anggaran, dan sisanya bisa untuk menambah modal perbankan.
Para pemimpin zona euro, terutama Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, berharap dana Fasilitas Stabilitas Keuangan Eropa menjadi senjata utama menyelesaikan krisis. Pemimpin zona euro sedang meminta persetujuan 17 negara anggotanya untuk menambah dana talangan dari 123 miliar menjadi 211 miliar euro. Peningkatan dana talangan ini harus disetujui semua negara anggota zona euro. Masalahnya, nasib dana talangan ini bisa semakin tak jelas bila Slovakia, negara terakhir yang memutuskan, tak ikut meratifikasi. Parlemen Slovakia, terutama oposisi, sempat mengancam akan menolak skema penyelamatan tersebut, Rabu pekan lalu. "Penolakan Slovakia akan membuat kondisi (Eropa) semakin di ujung tanduk," kata Jeremi Batstone, analis Charles Stanley.
Terlepas dari masalah di Slovakia, kondisi bank-bank di kawasan euro memang sudah babak-belur. Banyak bank di sana memegang ratusan miliar euro obligasi Yunani dan negara Eropa lainnya yang terancam bangkrut. Bila nilai surat utang itu merosot, bank-bank itu tinggal menunggu kebangkrutan. "Sudah terjadi ketidakpercayaan pasar yang sangat parah," kata salah seorang eksekutif bank di Eropa, menggambarkan kondisi di sana. Bayang-bayang Lehman Brothers pun kini muncul. Tiga tahun lalu, pemerintah Amerika Serikat mengabaikan limbungnya bank investasi ini. Ternyata kolapsnya Lehman Brothers menyeret kehancuran lembaga-lembaga keuangan di Negeri Abang Sam, bahkan ikut memperparah krisis di negeri adidaya itu sampai sekarang.
Tak ada pilihan lain. Menurut Trichet, untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan nasabah, bank-bank di zona euro harus direkapitalisasi alias mendapat suntikan modal baru. Cara ini mirip di Indonesia pada krisis 1998.
Perlunya rekapitalisasi untuk bank-bank di Eropa sebenarnya sudah disampaikan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde akhir Agustus lalu. Lagarde mengkritik bank-bank di Eropa, dan menyarankan rekapitalisasi perbankan senilai 200 miliar euro (sekitar Rp 2.400 triliun). Waktu itu para bankir dan pemimpin bank sentral di Eropa mencemooh wanita Prancis itu, dengan alasan tak ada urgensinya menambah modal bank. Sekarang para pencemooh Lagarde mungkin harus menjilat ludah sendiri.
Padjar Iswara (Der Speigel, The Economist, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo