Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA bulan setelah manajemen PT Mandala Airlines berjanji mengembalikan duit tiket yang telanjur dibeli, Sapto bolak-balik mengecek saldo tabungannya. Tapi karyawan perusahaan swasta di Jakarta ini tak menemukan tambahan Rp 1,9 juta dari tiga lembar karcis Jakarta-Yogyakarta yang dipesannya pertengahan Januari lalu. Mestinya, sesuai dengan janji, duit ditransfer ke rekening pemilik tiket paling lama 45 hari sejak maskapai itu berhenti beroperasi pada 13 Januari 2011. “Asem, aku kena tipu,” kata pria 35 tahun itu.
Sapto termasuk satu dari 72 ribu pemegang tiket yang telah diverifikasi, dengan total dana Rp 27 miliar. Sempat pasrah, harapan Sapto kini muncul kembali, setelah berembus kabar bahwa Saratoga Capital dan Tiger Airways Holdings Ltd. akan mengambil alih Mandala. Saratoga adalah perusahaan investasi milik Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya, sedangkan Tiger Airways anak perusahaan Singapore Airlines. “Kami menandatangani term sheet (perjanjian pendahuluan) dengan Tiger dan Mandala pada 19 Mei 2011,” kata Sandiaga kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Saat ini Saratoga dan Tiger sedang melakukan uji tuntas. Bila mulus, keduanya akan menjadi pemilik baru Mandala. Saratoga sebagai pengendali dengan memegang 51 persen, dan Tiger 33 persen. Sisanya, kreditor 15 persen dan pemilik lama 1 persen. Sebelum investor baru masuk, saham Mandala dikuasai Cardig International 51 persen, dan Indigo Partners 49 persen.
Di tangan Cardig dan Indigo, maskapai berusia 42 tahun itu tumbang terlilit utang. Jumlah kewajiban Mandala kepada ratusan kreditor konkuren mencapai Rp 2,45 triliun. Kreditor kelompok ini, termasuk agen penjual dan pemegang tiket, tidak dijamin dengan aset perseroan. Ada juga tunggakan avtur kepada Pertamina Rp 700 juta. Utang kepada Bank Victoria, sebagai kreditor separatis -dijamin aset perusahaan-sebesar Rp 54,14 miliar. Padahal total aset Mandala cuma Rp 110 miliar.
Krisis di tubuh maskapai terjadi sejak tahun lalu. Jumlah pesawat terus menyusut. Pada 2008 masih ada 11 unit, tapi satu per satu ditarik lessor (perusahaan penyewaan pesawat). Biaya sewa sekitar US$ 350 ribu per bulan tak terbayar. Hingga Oktober 2009, tersisa lima pesawat. Mandala tersandung ongkos pengadaan pesawat yang mahal.
Ini dampak kebijakan one single aircraft, proyek peremajaan armada pada 2008, yang mengganti semua Boeing menjadi Airbus. Empat belas Boeing dipensiunkan, diganti Airbus A320 dan A319, untuk memenuhi standar keselamatan internasional. Mandala memesan 30 unit Airbus senilai US$ 1,8 miliar (sekitar Rp 16,2 triliun). Padahal saat itu harga pesawat sedang tinggi-tingginya.
Pada 2 Maret 2011, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengesahkan perjanjian perdamaian antara Mandala dan kreditor konkuren. Hasilnya, utang kreditor konkuren akan dikonversi menjadi saham. Kuasa hukum Mandala, Nien Raffles Siregar, mengatakan bahwa satu kreditor, yakni PT PANN (Persero) -perusahaan pembiayaan milik pemerintah- mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, Maret lalu. Bulan berikutnya, Mandala menyampaikan hak jawab. “Kami sedang menunggu hasilnya,” kata dia.
HAWA segar menghampiri Mandala setelah Saratoga dan Tiger meneken perjanjian, dua pekan lalu. Semua berawal dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Sandiaga dan Direktur Utama Mandala Nurhadijono Nurjadin adalah kawan lama di Kadin. Ketika Sandiaga aktif di kepengurusan Kadin pada era kepemimpinan M.S. Hidayat, Diono -sapaan Nurhadijono- juga giat berorganisasi.
Tak lama setelah manajemen Mandala mengumumkan berhenti beroperasi, Januari lalu, Sandiaga menghubungi Diono. Obrolan serius itu berujung pada strategi penyelamatan perusahaan. “Termasuk kemungkinan kerja sama Saratoga-Mandala,” tutur Sandiaga. Targetnya, maskapai ini bisa beroperasi kembali tahun ini. Supaya segera terbang kembali itulah, Sandiaga pernah mengatakan, Saratoga menyiapkan dana hingga Rp 1 triliun.
Bagi Saratoga, Mandala memiliki standar keselamatan dan rekam jejak operasional yang baik, tetapi keuangannya bermasalah. Nah, pengesahan perjanjian perdamaian oleh Pengadilan Niaga menguatkan tekad Saratoga nyemplung ke Mandala. Sebab, beban utang Mandala menjadi berkurang. Inilah, kata Sandi, titik terang penyelesaian keuangan dan menghidupkan kembali Mandala.
Sandiaga optimistis, prospek pertumbuhan industri aviasi di Indonesia tinggi, seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi. Ia tertarik melihat potensi pasar penerbangan. Indonesia negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Tujuh tahun terakhir, sekitar 51 persennya berpendapatan menengah. “Merekalah target konsumen Mandala,” kata dia.
Saat ini Saratoga, Tiger, dan manajemen Mandala sedang menggarap rencana bisnis seperti segmen pasar dan pengadaan pesawat. Seorang sumber berbisik, manajemen akan mempertahankan penggunaan Airbus 320. Mandala juga akan tetap berada di bisnis penerbangan murah alias low cost carrier. Kuncinya, kata Sandiaga, pengelolaan keuangan yang baik. Salah satunya, penjualan tiket boleh di luar kendali, tetapi harga harus di tangan manajemen. Juru bicara Mandala, Nurmaria Sarosa, tak bersedia menjelaskan karena sedang dalam pembahasan.
Rencana bisnis Tiger, yang sukses berbisnis penerbangan murah, akan diadopsi. Berdiri pada September 2004, Tiger Airways mengoperasikan 26 Airbus A320, dan akan ditingkatkan menjadi 68 pada Desember 2015. Maskapai ini melayani 35 kota tujuan, di 12 negara dan daerah di Asia dan Australia.
Saat ini Tiger Airways dikendalikan oleh beberapa perusahaan. Dalam situs resminya, sebanyak 32,9 persen saham Tiger Airways dikuasai oleh Singapore Airlines Limited, lalu 8,1 persen dimiliki The Capital Group Companies Inc, dan 7,4 persen dimiliki Dahlia Investment Pte Ltd Adapun sisanya dipegang Schroder Investment Management Group.
Mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafei Jamal memandang positif pengambilalihan Mandala oleh Saratoga dan Tiger. Menurut dia, empat hal menjadi fondasi rencana pengoperasian kembali Mandala, yakni modal kuat, manajemen dan kru yang bagus, rute ramai, dan pengalaman Tiger. Tapi Mandala mesti siap berhadapan dengan AirAsia dalam penerbangan regional, dan Lior Air di dalam negeri.
Retno Sulistyowati, Sutji Decilya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo