Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA periode keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyelesaikan satu undang-undang jelas bukan waktu yang pendek. Selasa malam pekan lalu, Wakil Ketua Komisi Keuangan Harry Azhar Azis mengetukkan palu tiga kali tanda rapat kerja pembahasan Rancangan Undang-Undang Mata Uang tuntas. Komisi akhirnya menyetujui draf undang-undang tersebut untuk diajukan ke Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. ”Suaranya bulat,” kata Harry.
Rancangan UU Mata Uang ini sudah dibahas sejak Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Namun baru sekarang rancangan tersebut disetujui Komisi Keuangan. Ganjalannya ada dalam usul mengenai pasal tentang tanda tangan Menteri Keuangan di uang kertas bersama Gubernur BI. Selama ini hanya ada dua tanda tangan dari Dewan Gubernur BI, yakni Gubernur dan Deputi Gubernur BI. Menjelang akhir pembahasan, situasi berubah. Tak satu pun dari sembilan fraksi menolak usul ini.
Kompromi lainnya menyangkut waktu pemberlakuan tanda tangan Menteri Keuangan. Semula pemerintah ngotot bahwa uang baru itu akan dikeluarkan pada akhir 2012, sedangkan sebagian besar fraksi menghendaki akhir 2014. Anggota komisi khawatir uang baru tersebut akan dipolitisasi karena undang-undang ini nantinya juga mengizinkan gambar Presiden tercetak di uang kertas.
Dalam rapat Rabu dua pekan lalu, pemerintah mengalah: mata uang baru yang ditandatangani Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan akan dikeluarkan setelah 17 Agustus 2014, seusai pemilihan presiden. Sebagai gantinya, Komisi Keuangan menerima usul pemerintah agar redenominasi—perampingan nominal rupiah yang digagas Bank Indonesia—dihapus dalam rancangan undang-undang ini.
Berbeda dengan pemerintah dan Dewan, Bank Indonesia tetap mempersoalkan tanda tangan Menteri Keuangan. Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi mengatakan, tanda tangan Dewan Gubernur BI merupakan pengakuan utang BI kepada pemegang duit. Setiap rupiah tercatat di pos utang di neraca BI. ”Jika menteri tanda tangan, apakah itu berarti pemerintah ikut berutang?” katanya. Ia juga khawatir, perubahan tanda tangan itu akan mengakibatkan kekisruhan antara kewenangan moneter dan fiskal.
Sebaliknya, kata sumber Tempo, keinginan pemerintah ikut meneken uang kertas dilatarbelakangi modal Bank Indonesia yang terus menyusut. Tahun lalu total modal Bank Indonesia (termasuk modal dan dana cadangan) tinggal Rp 68,7 triliun, turun drastis dari Rp 93,5 triliun pada 2009 dan Rp 149,8 triliun pada 2008. Penyebabnya adalah membengkaknya defisit anggaran BI seiring dengan melonjaknya beban operasional. ”Pemerintah ingin ikut menjaga kepercayaan publik,” katanya.
Menurut Undang-Undang Bank Indonesia, modal bank sentral paling sedikit Rp 2 triliun. Jika kurang dari itu, pemerintah wajib menutup kekurangannya dengan persetujuan Dewan. Harry tak membantah alasan tersebut. Yang jelas, ujarnya, pemerintah tak akan ikut campur dalam urusan pengendalian uang beredar dan pencetakan uang. ”Itu tetap hak Bank Indonesia, tapi dikoordinasi dengan pemerintah,” katanya. Menteri Agus menambahkan, ”Ini hanya menambah jaminan kepada masyarakat.”
Namun, sumber Tempo berbisik, keberatan Bank Indonesia sesungguhnya menyangkut kewenangan mencetak uang. Di masa lalu, proyek mencetak duit, dari pengadaan kertas, tinta, hingga benang pengaman, dinikmati sepenuhnya oleh beberapa pejabat bank sentral. Nah, bila Menteri Keuangan ikut, Bank Indonesia khawatir menteri ikut cawe-cawe urusan teknis. ”BI juga takut partai berkuasa ikut mendompleng pemerintah dalam pencetakan uang,” ujarnya
Walhasil, persetujuan Komisi Keuangan sebenarnya masih menyimpan bom waktu. Anggota Komisi Keuangan Nusron Wahid khawatir, pasal yang mewajibkan bank sentral berkoordinasi dengan pemerintah dalam mencetak duit bakal rentan kalah bila digugat ke Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamendemen tegas memisahkan bank sentral dengan pemerintah. ”Tapi, daripada undang-undang ini tak jadi, kami menyetujuinya,” ujarnya.
Lagi pula, kata anggota Fraksi Golkar ini, sejak dilantik dua tahun lalu, Komisi Keuangan baru berhasil membuat Undang-Undang Akuntan Publik. Seharusnya, dua bulan itu bisa dipakai untuk menuntaskan sepuluh undang-undang. ”Kami malu.”
Agoeng Wijaya, Febriana Firdaus, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo