Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>PERUSAHAAN NEGARA</font><br />Lapak Avtur Siapa Kuasa

Pertamina dan Angkasa Pura berebut depo bahan bakar di sejumlah bandara. Kementerian Badan Usaha Milik Negara dituding tak konsisten.

15 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM kilang raksasa itu berjejer di depo pengisian bahan bakar pesawat udara di Jalan Surya Dharma Raya, Kompleks Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang. Jaraknya hanya 10 meter dari gerbang sebelah barat bandar udara. Bejana beton berisi ratusan ribu liter avtur itu dilindungi pagar kawat setinggi dua meter. Di kawasan tertutup seluas satu hektare itu juga terlihat bangunan kantor dan jejeran truk tangki berlogo Pertamina.

Dari fasilitas itulah denyut nadi penerbangan di Jakarta dikelola. Soni Afandi, salah satu petugas depo, mengatakan bahwa pengisian avtur dilakukan sepanjang hari melalui saluran suplai bawah tanah sepanjang 100 meter menuju terminal I dan II. Ada 20 petugas pengisian bahan bakar di lokasi itu. "Seorang petugas bisa melayani 15 pesawat," kata dia kepada Tempo di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Instalasi ini menyimpan masalah. Kepemilikan aset negara, seperti silo penyimpanan bahan bakar, mobil, dan hidran penyalur avtur ke pesawat ini tengah disengketakan oleh dua perusahaan pelat merah: Angkasa Pura II dan Pertamina. Ternyata sengketa tak hanya terjadi di Soekarno-Hatta. Pertamina dan Angkasa Pura I berebut kepemilikan depo Bandar Udara Juanda, Surabaya. "Ketidakjelasan status depo di sejumlah bandar udara itu sempat disinggung dalam rapat rutin direksi Pertamina pada awal November lalu," bisik sumber Tempo.

Kisruh perebutan aset berawal dari surat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar kepada Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, 15 Juni lalu. Surat itu menyatakan bahwa Angkasa Pura II sebagai pemilik aset depo Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sedangkan aset di Bandar Udara Juanda dilimpahkan ke Angkasa Pura I dalam bentuk penyertaan modal negara.

Dalam surat itu, Menteri Mustafa menyatakan alasan penyerahan aset itu didasari peraturan pemerintah tentang pembentukan Angkasa Pura sebagai korporasi pengelola bandar udara. Aset depo Soekarno-Hatta masuk neraca laporan keuangan Angkasa Pura II, sedangkan aset di Juanda menjadi penyertaan modal negara. Mustafa juga memutuskan pengelolaan depo di semua bandar udara akan dilakukan oleh perusahaan patungan bentukan Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, dan Pertamina. "Dalam rangka meningkatkan daya saing dan penerapan open access policy," kata Mustafa, seperti tertulis dalam surat keputusannya.

Keputusan Menteri Mustafa itu membuat Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan berang. Menurut Karen, tiga tahun lalu pemerintah telah menyerahkan aset-aset tersebut kepada Pertamina. Karen melayangkan surat klarifikasi dan keberatan sebanyak tiga halaman kepada Mustafa pada 23 Agustus lalu. Karen menyatakan Kementerian Badan Usaha Milik Negara tidak konsisten. "Telah terjadi informasi yang berbeda-beda di Kementerian BUMN," tutur Karen dalam suratnya.

Mantan Direktur Hulu Pertamina itu menyitir dua surat Menteri Badan Usaha Milik Negara Sugiharto tertanggal 12 Desember 2006. Surat buat Menteri Keuangan Jusuf Anwar, direksi Pertamina, dan Angkasa Pura II itu menyatakan bahwa aset instalasi sistem bahan bakar senilai Rp 11,3 miliar di Bandar Udara Soekarno-Hatta dihibahkan ke Pertamina, setelah dikelola Angkasa Pura II.

Adapun depo Bandar Udara Juanda, menurut Karen, Pertamina telah memperoleh kewenangan operasional dari Direktur Jenderal Perhubungan Udara pada Desember 2008. "Pengoperasian depo Bandar Udara Juanda telah dilakukan sejak 2006," tulis Karen. Pertamina juga telah merogoh kocek memperbaharui fasilitas depo di Bandar Udara Soekarno-Hatta; Kuala Namu, Medan; Hasanuddin, Makassar, Lombok Tengah; serta Juanda.

Lebih jauh Karen mengingatkan, pelayanan bahan bakar penerbangan sudah merupakan bisnis inti dan kompetensi utama Pertamina sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Tugas utamanya menjamin keamanan pasokan dan keseimbangan harga di seluruh Indonesia. Peran Pertamina menjalankan tugas tersebut sudah berlangsung sejak 50 tahun lalu di semua bandar udara di Indonesia.

Dari perspektif bisnis, menurut Karen, akan lebih menguntungkan apabila kepemilikan dan pengoperasian depo dilakukan Pertamina. Akan meningkatkan daya saing Pertamina sebagai perusahaan negara dengan para pendatang baru, termasuk perusahaan minyak asing.

Menurut Karen, Pertamina tidak menutup pintu untuk bekerja sama dengan Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II sebagai operator bandar udara. Tapi, bentuk kerja sama tidak harus berupa kepemilikan dan pengelolaan. Vice President Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun membenarkan cerita dalam surat itu. Menurut Harun, ada risiko kepercayaan yang dipertaruhkan jika Pertamina tak mengelola aset depo itu. Alasannya, maskapai penerbangan hanya bertransaksi dengan Pertamina. "Ini semua terkait dengan jaminan pengelolaan produk kami," ujarnya kepada Tempo di Jakarta, pekan lalu. Adapun Mustafa, sewaktu dicegat Tempo pada Jumat pekan lalu, mengatakan belum tahu persis keberatan Pertamina itu. "Tanya deputi saja," ujarnya.

Sumber Tempo mengatakan bibit kisruh mulai muncul sejak Angkasa Pura dibentuk sebagai korporasi. Aset yang sebelumnya dikelola pemerintah dihibahkan ke perusahaan baru itu. Dari sini muncul pencatatan ganda. "Banyak aset yang sebelumnya dikelola instansi lain, semisal Pertamina, turut diserahkan ke Angkasa Pura karena letaknya di wilayah bandar udara," ujarnya.

Seiring dengan pergantian rezim, kebijakan pun berubah. Pada era Sugiharto, aset depo, di antaranya di Soekarno-Hatta dan Juanda, kemudian dialihkan dari Angkasa Pura kepada Pertamina. Menurut Sugiharto kepada Tempo, kebijakan itu dulu diambil agar Pertamina bisa berfokus mengelola jaringan avtur sekaligus memberi nilai tambah aset pendukungnya. Peralihan aset itu pun, kata dia, tak jadi masalah lantaran negara tak dirugikan. "Ini ibarat pindah dari kantong kiri ke kantong kanan saja," katanya pekan lalu.

Sugiharto mengatakan kebijakan ini kembali berubah karena saat ini perusahaan negara dituntut menghasilkan pendapatan lebih tinggi. Aset amat erat kaitannya dengan pendapatan, lantaran bisa menjadi lahan toll fee atau sewa-menyewa di antara perusahaan milik negara. "Ini masalah kebijakan tiap menteri," kata Sugiharto, yang kini menjabat Komisaris Utama Pertamina.

Toh, ada dugaan lain muncul. Sumber Tempo tadi mengatakan Pertamina khawatir jika peralihan aset ini menjadi celah Angkasa Pura membuka pintu penjualan avtur ke operator lain. Kekhawatiran ini sempat terungkap dalam rapat-rapat penentuan status kepemilikan depo di Kementerian Badan Usaha Milik Negara sepanjang Februari hingga Mei lalu.

Harun tak membantah kekhawatiran Pertamina ini. Menurut dia, pasar avtur Indonesia memang menjadi incaran. "Banyak pemain lain ingin masuk terutama di bandar udara besar. Pasarnya jelas," ujarnya. Bandara Soekarno-Hatta dan Juanda menyedot hingga 50 persen dari kebutuhan avtur nasional per hari sebesar 8,4 juta liter.

Namun Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura II Hary Cahyono menilai kekhawatiran itu berlebihan. Pihaknya memegang komitmen menjalankan sinergi antarperusahaan negara, sekalipun liberalisasi avtur sudah dibuka setelah Undang-Undang Minyak dan Gas baru terbit pada 2001. "Pertamina seharusnya lebih gigih. Tapi kami sama-sama perusahaan negara saling membela," ujarnya. Segendang sepenarian dengan Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura I Miduk Situmorang. "Pengelolaan tetap oleh Pertamina karena kami tak punya keahlian itu (mengelola avtur)," kata dia.

Agaknya komitmen sinergi itu yang akan menjadi pegangan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Deputi Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik Sumaryanto Widayatin mengatakan pertimbangan serah-terima aset semata-mata demi tertib pengelolaan aset. Angkasa Pura tak otomatis menjadi pengelola lantaran Kementerian memerintahkan mereka membentuk perusahaan patungan dengan Pertamina. "Saya kira tak ada masalah buat Pertamina, karena pengelolaan aset memang harus begitu," ujarnya.

Fery Firmansyah, Joniansyah (Tangerang), Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus