Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASANYA sudah habis kata-kata beradab untuk mengkritik skandal ”pelesiran” tersangka kasus pajak Gayus Halomoan Tambunan. Konyol, berengsek, keterlaluan, memalukan, sontoloyo rasanya masih terlalu lunak untuk menggambarkan peristiwa yang pantas masuk ”museum rekor buruk” Indonesia ini—kalau ada ”museum” semacam itu.
Untuk kesekian kali kita menyaksikan betapa hebat kekuasaan uang memorak-porandakan hukum negara ini. Dengan menyiramkan uang besarnya, Gayus membuat para penjaga rumah tahanan seperti kerbau dicocok hidung, yang menuruti apa saja kemauannya. Hukum bukan hanya dibuat bengkok, melainkan juga diinjak-injak oleh aparatur negara yang seharusnya menjaganya. Di tahanan yang dijaga petugas doyan suap, tersangka kasus pajak kakap yang seharusnya diawasi superketat ini seakan membeli ”hak” menentukan kapan dan ke mana ia mau jalan-jalan.
Dari kemiripan wajah seorang pria yang memakai wig dalam pertandingan tenis Bank Commonwealth di Nusa Dua, Bali, Jumat pekan lalu, dengan wajah asli Gayus Tambunan, diyakini bahwa yang tertangkap kamera wartawan di Bali adalah Gayus. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ternyata memiliki keyakinan yang sama.
Barangkali lantaran yakin uangnya bisa mengatur apa saja, Gayus merasa di atas angin dan enteng saja menonton pertandingan tenis di Bali itu. Ia tak menganggap perlu memermak wajah agar sulit dikenali. Ia hanya sedikit mengubah penampilan dengan wig yang tampak asal-asalan menutupi kepalanya dan sekadar kacamata bening. Dengan penyamaran tanggung itu, tidak terlalu mengherankan bila kamera wartawan segera mengenali dan ”menyergap”-nya.
Kasus Gayus ini merupakan ujian pertama untuk kepala kepolisian yang baru, Jenderal Timur Pradopo. Kapolri tak cukup membebastugaskan sembilan penjaga Rumah Tahanan Brigade Mobil Kelapa Dua, tempat Gayus ditahan, ia semestinya membongkar habis kasus ini. Bukan mustahil penjaga penjara dan kepala rumah tahanan itu merupakan kaki tangan ”jejaring” Gayus di berbagai instansi, termasuk di tubuh kepolisian.
Uang puluhan juta yang ia hamburkan untuk menyuap petugas penjara barangkali hanya ”sekuku hitam” dari uang yang sekarang dikuasainya. Bisa dibayangkan betapa besar uang yang diterimanya dari sejumlah ”klien” yang dibantunya memperkecil atau mengelakkan pajak.
Sulit untuk percaya bahwa kekuatan uang Gayus tidak berperan mengubah sangkaan hukum untuk dirinya. Dalam kasus mafia pajak yang membelitnya, dakwaan jaksa berubah dari korupsi dan pencucian uang menjadi sekadar penggelapan, yang ancaman hukumannya jauh lebih ringan. Dakwaan ringan itu kemudian ”disambut” oleh hakim korup yang menjatuhkan vonis bebas demi imbalan Rp 50 juta. Untung saja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ketika itu turun tangan mendesak Kepala Kepolisian dan Jaksa Agung untuk memeriksa kejanggalan vonis bebas Gayus itu.
Lalu terjadilah episode pelesiran Bali tadi. Pilihan tempat ”berlibur” itu boleh jadi dirancang dengan baik. Kita tahu Gayus bergelimang uang dengan cara ”membisniskan” perkara pajak. Sebagai penelaah keberatan pajak, dia ”membantu” membebaskan perkara pajak yang melilit puluhan perusahaan, termasuk PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, dan PT Bumi Resources. Dari perusahaan milik Grup Bakrie itu, Gayus sudah terang-terangan mengakui bahwa ia menerima imbalan sekitar Rp 60 miliar.
Ada sejumlah kebetulan yang mesti segera diungkap. Gayus kabarnya tak suka tenis, tapi ia muncul menonton pertandingan tenis. Kebetulan yang lain, Aburizal Bakrie, pemilik Grup Bakrie, pada hari yang lain juga tampak menonton pertandingan tenis yang sama. Aburizal memang pecandu tenis, tapi kemunculannya di Bali tentu saja membuat orang gampang mengira ia juga bertemu dengan Gayus.
Demi asas praduga tak bersalah, kita hormati bantahan Aburizal Bakrie bahwa ia tak pernah bertemu dengan Gayus. Sanggahan Gayus bahwa ia tak datang ke Bali juga kita terima sementara ini. Toh, bukan berarti kasus ini mesti diabaikan begitu saja. Apalagi sudah terungkap bahwa Gayus keluar dari tahanan pada Kamis dan baru ”tertangkap” pada Minggu. Berarti ia mempunyai waktu yang sangat-sangat cukup untuk pergi jauh ke luar Jakarta, apalagi kalau ia melakukan perjalanan dengan pesawat udara.
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum harus terjun kembali menelisik kasus ini. Bersama kepolisian, Satuan Tugas bisa saja memeriksa semua dokumen—umpamanya tiket pesawat, karcis masuk turnamen tenis, atau apa saja. Memang pencarian akan sangat alot apabila, umpamanya, Gayus pergi dengan menumpang pesawat carter atau pesawat pribadi.
Dengan bekerja sangat gigih, Kapolri baru dan Satuan Tugas Mafia Hukum diharapkan segera menyibak teka-teki Gayus ini. Dari sana akan terungkap, siapa sesungguhnya yang berbohong dalam skandal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo