Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AFING menutup ”warung” beberapa pekan belakangan. Money changer retail ini libur menjual valas dagangannya. Tapi aktivitas membeli jalan terus. Ia buru-buru memborong dolar Amerika Serikat, setiap kali ada orang yang menyodorkan mata uang negeri Abang Sam itu.
”Untuk jual, beberapa minggu ini hold,” kata pria 45 tahun itu, Jumat pekan lalu. Penguatan nilai tukar rupiah, dan pelemahan kurs dolar, memaksa Afing menahan diri. Kalau nekat menjual, pasti tekor. Sebab, stok dolarnya dibeli pada harga Rp 9.900-10.100. Ia sempat untung ketika valas mencapai Rp 10.250. Tapi, dengan kondisi sekarang, Afing angkat tangan.
Nilai tukar rupiah memang terus menunjukkan tren penguatan. Kamis pekan lalu, data kurs tengah Bank Indonesia mencatat rupiah menembus level tertinggi sepanjang tahun ini di posisi Rp 9.368 per dolar AS, naik ketimbang hari sebelumnya Rp 9.456. Di pasar spot, pada hari yang sama, mata uang berlambang Garuda ini ditutup Rp 9.437.
Analis rupiah dari Currency Management Group, Farial Anwar, mengatakan bahwa penguatan kurs kali ini didukung oleh faktor eksternal dan internal. Penyebab dari luar, pelemahan dolar terhadap hampir semua mata uang negara lain. Dolar tertekan sentimen negatif. Misalnya, karena fundamental perekonomian AS yang masih lemah dan defisit anggaran yang setinggi langit.
Apalagi, Fahrial menambahkan, sejumlah bank sentral berpikir untuk mengalihkan cadangan devisa dalam bentuk emas atau mata uang lain seperti euro. Akibatnya, daya tarik dolar menyusut. Bila rencana itu terealisasi, bisa-bisa dolar kian nyungsep.
Penguatan rupiah juga karena faktor internal. Indonesia diserbu investor asing. Dolar membanjiri pasar modal dan pasar uang Tanah Air. Laporan tinjauan kebijakan moneter Bank Indonesia triwulan III 2009 yang terbit pekan lalu menyebutkan, selama kuartal ketiga ini pembelian saham oleh pelaku asing tercatat (net) US$ 608,7 juta (sekitar Rp 6 triliun).
Duit ”panas” itu menclok ke berbagai instrumen investasi. Dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia tercatat US$ 1,58 miliar, sehingga posisi asing di instrumen ini US$ 3,71 miliar. Dolar juga mampir ke Surat Utang Negara US$ 620,25 juta, sehingga kepemilikan asing dalam SUN menjadi US$ 9,42 miliar.
Seorang investor retail, Endri, menyambut baik pasar modal yang tengah bullish. Tapi ia tak mau mengambil risiko. Perempuan 40-an tahun ini lebih memilih saham emiten yang tidak banyak ”ulah”, seperti Indofood atau Unilever. Kini ia sudah mengantongi gain 300 persen dari nilai awal investasi, Januari lalu.
Menurut perencana keuangan Mike Rini, penguatan rupiah dan kebangkitan pasar modal ini merupakan momentum untuk lebih agresif. Investor mesti mengevaluasi kembali dan merealokasi investasi. Pundi yang selama ini ditumpuk di tabungan dan deposito saatnya dikurangi untuk digeser ke instrumen investasi lain. Pilihannya bisa saham, obligasi, atau reksadana. Bisa juga emas, yang harganya terus mencatatkan rekor baru, di atas US$ 1.000 per troy ounce.
Apalagi, Fahrial menambahkan, tren penguatan rupiah akan berlangsung lama. Belum ada pemicu yang bisa membuat duit itu terbang kembali ke luar negeri dalam jangka pendek. Kepala Ekonom Danareksa Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, berpendapat sama. ”Masuknya hot money ini karena perekonomian yang baik,” katanya. Artinya, selama perekonomian terjaga, dengan kebijakan yang prudent, angin investasi tetap berembus ke negeri ini.
Pada Jumat pekan lalu penguatan rupiah cenderung terhambat. Data kurs tengah BI menunjukkan mata uang lokal berada di posisi 9.421 per dolar. Deputi Gubernur Senior BI, Darmin Nasution, mengatakan rupiah yang sekarang berada di kisaran 9.400 per dolar tergolong tinggi. BI cenderung menekan volatilitas nilai tukar agar pergerakannya tidak terlalu liar. ”Supaya dunia usaha memprediksi keadaan, karena kurs yang terus berubah akan menyulitkan dunia usaha.”
Ini berbanding terbalik dengan Afing, yang justru mengharapkan volatilitas yang tinggi. Sebab, keuntungan money changer diperoleh dari fluktuasi kurs. Bila nilai tukar anteng, cenderung stabil, bisa-bisa Afing dan kawan-kawannya cuma gigit jari.
Retno Sulistyowati, Reza (TNR), Indra (PDAT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo