Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>WIRAUSAHA</font><br />Cerdik Membidik Penggemar Kartun

Bisnis kostum tokoh film kartun menggiurkan. Pasar lebar, pemain tak banyak.

12 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKERJAAN Ajie Nugroho bertumpuk setiap September-Oktober. Empat karyawan tetap—penjahit, administrator, dan bagian pemasaran—full job. Ia juga memanggil beberapa penjahit dari luar untuk merampungkan pesanan. Ada kostum tokoh film kartun Bleach, Naruto, Final Fantasy, juga busana Princess Peach dari game Mario Bros.

Seorang klien asal Kanada yang memesan baju Bleach meminta barang pesanannya sudah sampai sebelum Halloween. Ia akan mengenakan kostum superhero idolanya pada pesta tahunan, 30 Oktober nanti. ”Oke, bisa diatur,” kata Ajie, 27 tahun.

Ajie adalah pemilik cosplay1, gerai kostum tokoh-tokoh film kartun atau animasi, pria maupun wanita. Tapi toko Ajie ada di dunia maya. Semua transaksi jual-beli, pemasaran dan promosi, serta komunikasi dengan klien dilakukan melalui media Internet. ”We helping others to make costumes of their dream comes to life,” begitu ia berpromosi dalam website-nya: www.cosplay1.com.

Semua bermula dari Negeri Sakura. Saat itu, menjelang lulus dari Nokaidae Polytechnic University di Jepang pada 2006, Ajie bingung mencari pekerjaan. Maksud hati ingin menerapkan ilmu desain produk yang diperolehnya di bangku kuliah. Ia pun searching di Internet. Pilihannya jatuh pada cosplay—singkatan dari costume player—artinya kostum yang dipakai pemain film.

Pertimbangannya: job ini bisa dikerjakan di Indonesia dengan biaya produksi yang jauh lebih rendah. Ongkos tenaga kerja (penjahit) serta bahan baku (kain dan aksesori) murah. Jika ditambah biaya kirim pun, ia masih untung banyak. Ajie pun mulai menggambar desain kostum beberapa karakter tokoh kartun yang sedang ngetop, misalnya kostum Starfighter, Final Fantasy, gaun putri kerajaan ala gotik Lolita.

Di Tanah Air, ia meminta seorang kawan mencarikan penjahit yang bisa mengerjakan idenya. Setelah jadi, barang dikirim. Mulailah Ajie melelang dagangannya via Internet. Delapan baju ludes. Hasilnya sekitar Rp 5 juta, dengan keuntungan bersih Rp 1 juta. ”Lumayan untuk ukuran kantong mahasiswa tiga tahun lalu,” ujarnya.

Pasar bisnis ini ternyata lumayan gede. Sebuah komunitas penggila cosplay di Internet—semacam Kaskus—misalnya, menyedot sepuluh ribu anggota. Kadang-kadang mereka ”kopi darat”. Di Jepang, misalnya, digelar acara untuk mengakomodasi hobi mereka pada Maret-April dan November-Desember. Maklum, masyarakat Jepang memang dekat sekali dengan animasi. Nyaris tiap pekan nongol satu atau dua film animasi baru.

Berbekal portofolio mendesain dan melego delapan kostum, Ajie menawarkan jasanya. Ia memajang foto diri dan kostum bikinannya di website. Ia masuk ke forum atau komunitas di dunia maya. Dari situ, mulai ada yang menanyakan harga, detail produk, dan lainnya.

Awalnya Ajie mendapat order 5-10 kostum per bulan. Harganya Rp 1,5-2 juta per kostum. Kostum Bleach, misalnya, dihargai Rp 1,8 juta. Pesanan pun berkembang hingga 20-30 kostum per bulan. Kliennya meluas ke pecandu pesta Halloween. Kini, konsumen lebih banyak datang dari Amerika Serikat. Ini adalah konsumen ”pindahan” dari Cina. Konon, harga barang dari Cina lebih mahal, sedangkan kualitas lebih baik dari Indonesia.

Kunci sukses bisnis Ajie adalah bagaimana menempatkan website di search engine supaya bisa nongol di halaman pertama. Artinya, kalau orang search cosplay di Google, misalnya, akan muncul di urutan pertama. ”Ini pasti diklik orang,” ujarnya.

Ajie juga punya bisnis seru lain: jual-beli mainan—patung atau robot mini tokoh-tokoh pahlawan idola. Konsumennya anak-anak orang kaya. Robot mini Satria Baja Hitam yang cuma diterbitkan 500 buah sedunia, misalnya, harganya supermahal: Rp 15-45 juta.

Bisnis ini ditekuni sejak masih di bangku kuliah pada 2002. Ajie berburu lewat Internet juga. Setiap kali ada orang yang melelang koleksi, Ajie ikut menawar. Kalau menang, barang langsung ditawarkan kepada konsumen yang telah antre. Kebanyakan pemesan warga Jakarta, Yogyakarta, Medan, atau Riau. Dari situ Ajie mendapatkan fee. Dari bisnis ini, dompet Ajie bertambah tebal Rp 250-300 juta sebulan.

Ajie juga merintis majalah online—media edukatif, seperti parenting, dongeng, edu-games. Ia membidik warga Indonesia di mancanegara. Di Jepang, misalnya, banyak keluarga Indonesia yang mengalami kesulitan mengenalkan khazanah budaya Indonesia kepada anak-anak mereka.

Ide-ide segar Ajie di dunia bisnis dan kecerdikan menyasar pasar inilah yang menyeretnya sebagai salah satu finalis Shell LiveWIRE, program pengembangan kewirausahaan 2009.

Retno Sulistyowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus