Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perekonomian Indonesia tumbuh dengan laju tahunan (year on year) 5,4 persen pada triwulan keempat 2009, lebih cepat dibanding 4,2 persen pada triwulan ketiga ataupun 4,1 persen pada triwulan kedua. Tren kenaikan pertumbuhan tahunan ini memberikan indikasi bahwa perekonomian kita sedang mengalami akselerasi. Kekuatan permintaan dalam negeri masih merupakan pendorong pertumbuhan utama pada triwulan keempat. Hal ini terlihat dari konsumsi rumah tangga yang meningkat dengan laju pertumbuhan tahunan 4,0 persen pada triwulan tersebut dan belanja pemerintah yang tumbuh dengan laju tahunan 17,0 persen.
Selain itu, angka pertumbuhÂan ekonomi pada triwulan terakhir 2009 memberikan tanda-tanda yang lebih menggembirakan. Investasi, misalnya, tumbuh dengan laju tahunan 4,2 persen, sedikit lebih cepat bila dibanding triwulan-triwulan sebelumnya. Kinerja ekspor juga lebih baik daripada yang diperkirakan. Ekspor tumbuh dengan laju tahunan 3,7 persen. Keadaan ini memberikan indikasi membaiknya fondasi yang mendasari proses pemulihan perekonomian global saat ini. Sebagai catatan, pada Desember 2009 ekspor Indonesia mencapai US$ 13,33 miliar, level tertinggi dalam sejarah ekspor kita.
Untuk 2009, ekonomi Indonesia tumbuh 4,5 persen. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga (tumbuh 4,9 persen) dan konsumsi pemerintah (tumbuh 15,7 persen). Sementara itu, investasi hanya tumbuh 3,3 persen dan ekspor justru mengalami kontraksi 9,7 persen (gambar 1).
Hal yang patut mendapat perhatian adalah pertumbuhan belanja pemerintah berada dalam tren yang meningkat dalam tiga tahun terakhir ini. Artinya, ada indikasi peÂningkatan kontribusi peme rintah terhadap perekonomian, sekaligus memberikan petunjuk awal bahwa ada proses perbaikan dalam daya serap anggaran.
Adapun dari sisi sektoral, pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor komunikasi dan transportasi (tumbuh 15,5 persen) serta sektor listrik, gas, dan air bersih (13,8 persen). Namun sektor industri pengolahan hanya tumbuh dengan laju 2,1 persen serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh dengan laju 1,1 persen. Sebagai catatan, kedua sektor ini amat dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dalam perekonomian dunia. Dengan membaiknya perekonomian global, kinerja kedua sektor ini diperkirakan akan lebih baik pada tahun ini.
Dengan pertumbuhan ini, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia menjadi US$ 2.590,1 (Rp 24,3 juta) pada 2009, naik dari US$ 2.269,9 (Rp 21,7 juta) pada tahun sebelumnya. Jadi PDB per kapita dalam dolar tumbuh 14,1 persen dalam setahun terakhir.
Perlu Waspada
Walaupun sudah membaik, pertumbuhan investasi masih belum terlalu menggembirakan. Padahal suku bunga acuan (BI Rate) sudah turun ke level terendah sepanjang sejarah. Biasanya penurunan BI Rate segera diikuti oleh kenaikan pertumbuhan investasi yang signifikan. Namun lambatnya penurunan bunga pinjaman akhir-akhir ini tampaknya membuat dampak kebijakan penurunan BI Rate terhadap investasi menjadi berkurang.
Seperti kita ketahui, Bank Indonesia sudah menurunkan BI Rate dari 9,5 persen menjadi 6,5 persen, yang merupakan level teÂrendah selama sejarah BI Rate. Meskipun demikian, ternyata suÂku bunga pinjaman cenderung lamÂbat turun. Suku bunga pinÂjamÂan rata-rata (modal kerja, investasi, dan konsumsi) pada Desember 2009 masih berada pada level 14,36 persen, hanya sedikit turun dari 15,22 persen pada November 2008. Dalam keadaan normal (berdasarkan data di masa lalu), seharusnya, dengan level BI Rate saat ini, suku bunga pinjaman rata-rata turun ke level 11,5 persen.
Lambatnya penurunan suku bunga pinjaman menyebabkan dampak dari pelonggaran kebijakan moneter yang ditempuh oleh BI menjadi tidak seoptimal yang seharusnya. Bunga yang relatif tinggi membuat perusahaan ataupun perorangan menjadi enggan meminjam uang dari bank, karena biayanya dianggap masih mahal. Aktivitas investasi ataupun konsumsi yang tadinya akan dilakukan oleh perusahaan atau perorangan tersebut pun menjadi batal direalisasikan. Artinya, suku bunga pinjaman yang tinggi turut menghambat pertumbuhan investasi juga.
Di samping itu, suku bunga yang tinggi membuat sektor manufaktur kita jadi lebih sulit bersaing. Kita sering mendengar upah buruh yang lebih mahal di sini yang telah menggerus daya saing produk kita di pasar dunia. Orang sering lupa bahwa selain upah buruh, ongkos kapiÂtal (berupa bunga yang harus dibayar) amat menentukan biaya produksi. Dipastikan bunga pinjaman yang tinggi akan membuat biaya produksi menjadi lebih mahal.
Dalam perekonomian yang tertutup (tidak ada persaingan bebas), keadaan ini mungkin tidak berdampak terlalu signifikan terhadap perekonomian. Tapi, dalam keadaan perekonomian dunia yang semakin terbuka seperti saat ini, masih tingginya suku bunga pinjaman di Indonesia dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup serius terhadap perekonomian. Bunga yang tinggi dapat menggerus daya saing perusahaan lokal secara signifikan di pasar global ataupun pasar domestik. Akibatnya, perusahaan kita semakin sulit bersaing di pasar lokal ataupun pasar global. Pada akhirnya, kondisi tersebut bisa berujung pada penutupan perusahaan dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja.
Selama ini, suku bunga pinjamÂan di Indonesia memang jauh lebih tinggi dibanding negara-negara pesaing kita (gambar 2). Pada Desember 2009, suku bunga pinjaman prime lending di Indonesia mencapai 12,96 persen (pada saat yang sama suku bunga rata-rata pinjaman berada pada level 14,36 persen), jauh lebih tinggi daripada bunga pinjaman di Cina (5,31 persen), Malaysia (5,51 persen), ataupun Thailand (5,85 persen). Jadi selisih antara bunga pinjaman di Indonesia dan di Cina sekitar 7,65 persen. Jelas sekali terlihat bahwa Indonesia mengalami kerugian dari sisi biaya kapital (at capital cost disadvantage). Penurunan Âbunga pinjaman di dalam negeri ke Âlevel yang lebih rendah jelas akan membantu daya saing perusahaan kita.
Hal yang pertama harus dilakukan oleh bank sentral kita adalah membuat transmisi kebijakan moneter lebih efisien dari saat ini, dengan cara menambah suplai uang dalam sistem finansial kita. Langkah ini dipekirakan akan dapat menurunkan suku bunga pinjaman saat ini sekitar tiga persen.
Adapun untuk jangka panjang, BI bersama-sama pemerintah harus menekan laju inflasi dalam negeri ke bawah empat persen secara berangsur-angsur. BI harus mengimplementasikan kebijakan moneter yang kredibel, sedangkan pemerintah mesti menjaga kelancaran distribusi barang dan meminimalkan peÂngaruh faktor musiman terhadap tren inflasi jangka panjang. Termasuk di sini, tentunya, membangun infrastruktur transportasi barang yang memadai.
Indonesia merupakan salah saÂtu dari sedikit negara yang dapat membukukan pertumbuhan ekonomi positif pada 2009. Kemungkinan besar ekonomi kita masih akan tumbuh dengan cukup baik pada tahun ini. Perekonomian global yang lebih sehat pada tahun ini merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya perÂtumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Namun semua itu akan bisa tercapai jika terjadi transmisi kebijakan moneter yang lebih baik. Selain itu, pemerintah dan BI harus bekerja lebih keras lagi untuk menciptakan inflasi yang rendah, setara dengan negara-negara tetangga kita. Tanpa perbaikan ini, kesinambungÂan jangka panjang dari pertumbuhan ekonomi kita dapat terganggu.
*) Chief Economist Danareksa Research Institute
Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan (Persen)
PDB | ||
4,5 | 6,0 | 6,35 |
Impor | ||
-15,0 | 10,0 | 9,06 |
Ekspor | ||
-9,7 | 9,5 | 8,54 |
Investasi | ||
3,3 | 11,9 | 9,32 |
Belanja Pemerintah | ||
15,7 | 10,4 | 3,89 |
Belanja Rumah Tangga | ||
4,9 | 5,3 | 5,01 |
Konsumsi | ||
6,2 | 5,9 | 4,87 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo