Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOHANNES Leonardo Gessing jengkel bukan kepalang. Siaran langsung liga utama sepak bola Inggris musim ini turun layar dari stasiun televisi langganannya, Astro Nusantara. Setelah tak ada lagi Liga Inggris di Astro, pegawai swasta di Jakarta itu siap-siap mencopot dekoder penerima siarannya. Ia tidak peduli kanal lainnya. ”Kalau tak ada Liga Inggris, buat apa langganan terus,” katanya pekan lalu.
Para penggemar berat klub sepak bola kenamaan Chelsea, Arsenal, Liverpool, atau Manchester United seperti Johannes bisa jadi tidak sedikit. ”Akhir bulan ini akan saya tinggalkan Astro,” kata Markus Yulinus. Padahal dia belum genap setahun berlangganan. Ia siap membayar denda karena memutus langganan sebelum setahun.
Untuk musim kompetisi 2008/2009 kali ini, siaran langsung Liga Inggris untuk stasiun televisi berbayar pindah tayang ke Aora TV milik PT Karyamegah Adijaya. Aora TV adalah stasiun televisi berbayar yang baru beroperasi sejak 5 Agustus lalu.
Rini Mariani Soemarno, Presiden Komisaris PT Karyamegah Adijaya, mengatakan mereka baru diberi tahu menang hak siar eksklusif Liga Inggris pada Sabtu pagi, 16 Agustus. Pengumuman resmi pemberian hak siar kepada Aora TV dari ESPN Star Sports dan All Asia Multimedia Network sendiri baru diumumkan ke khalayak dua hari kemudian (lihat Wawancara: ”Kami Tak Seksi-seksi Amat”).
”Loncatnya” tayangan Liga Inggris dari Astro ke Aora hanyalah salah satu buntut dari sengketa perusahaan Malaysia, Astro All Asia Networks Plc., dengan pemegang saham PT Direct Vision, yakni Lippo Group, yang berlarut-larut. Direct Vision inilah yang mengoperasikan Astro Nusantara.
Ketika pada awal 2005 perusahaan negeri jiran itu berniat bekerja sama dengan Grup Lippo mendirikan stasiun televisi berbayar di Indonesia, sepertinya semua akan lancar jaya semulus jalan tol. Pada 11 Maret 2005 itu Astro dan PT Ayunda Prima Mitra menandatangani perjanjian kerja sama yang dikenal dengan subscription and shareholder’s agreement.
Disepakati, Ayunda, anak perusahaan multimedia milik Lippo, PT First Media Tbk., akan memiliki 49 persen saham PT Direct Vision. Sisanya menjadi jatah Astro. Syaratnya, menurut kuasa hukum Astro, Sugeng Teguh Santoso, mereka harus menyetor modal US$ 39 juta (sekitar Rp 356 miliar) plus dukungan teknis US$ 136 juta (Rp 1,24 triliun) ke Direct Vision.
Sial bagi Astro. Belum juga siaran, pada akhir November 2005 pemerintah mengeluarkan peraturan yang membatasi kepemilikan perusahaan asing di stasiun televisi berbayar maksimal 20 persen. Ayunda dan Astro terpaksa merancang ulang isi perjanjian. Sumber Tempo mengatakan, dalam rancangan perjanjian yang baru, Astro akan mendapat 20 persen andil Direct Vision.
Ketika negosiasi belum kelar dan perjanjian baru belum ditandatangani, pada 28 Februari 2006 Astro tayang perdana. ”Waktu itu modalnya saling percaya saja, urusan hukum menyusul,” katanya. Karena saling percaya itulah, dengan ringan tangan Astro menggelontorkan duit jutaan dolar ke Direct Vision untuk rupa-rupa urusan, dari penyediaan kanal siaran, teknologi informasi, hingga pengadaan dekoder.
Padahal sampai sekarang seluruh saham Direct Vision masih dikuasai Lippo, yakni lewat Ayunda Prima dan Silver Concord Holdings Limited, yang berkedudukan di British Virgin Island.
Namun rupanya selera Lippo begitu gampang berubah. Hanya gara-gara ada konflik di kerja sama antara perusahaan afiliasi Astro dan perusahaan keluarga Riady lainnya di Indonesia, Lippo marah. ”Mereka menghentikan semua negosiasi,” kata sumber itu. Tapi selama masa ”saling mendiamkan” itu, siaran Astro jalan terus. Duit Astro juga masih terus mengucur.
Hampir setahun tanpa pembicaraan, Mei tahun lalu negosiasi dibuka kembali. Kedua pihak bersuratan hingga Agustus 2007. Tapi semua kondisi sudah berubah. Misalnya jumlah pelanggan Astro sudah bertambah. Lippo pun membanderol tinggi harga saham Direct Vision. Sugeng menyebut Lippo meminta US$ 250 juta untuk 51 persen saham Direct Vision. Selain harga itu kelewat mahal, ”Klausul itu tak ada dalam perjanjian,” kata Sugeng. Walhasil, negosiasi kembali menumbuk tembok.
Meja perundingan mentok. Sumber Tempo mengatakan, jurang antara Astro dan Lippo semakin lebar setelah Ayunda Prima melaporkan Sean Dent, Direktur Keuangan Direct Vision, ke polisi pada September 2007. Sean adalah wakil Astro di perusahaan itu. Ayunda yang diwakili Marojahan Hutabarat menuduh Sean menggelapkan uang Direct Rp 400 juta.
Hubungan tambah renggang tatkala Ayunda kembali melaporkan Sean dan beberapa orang Astro di Direct Vision ke polisi pada Mei lalu. Kali ini tuduhannya gawat: pencucian uang. Padahal, kata sumber itu, operasional Direct Vision hampir semuanya dibiayai Astro. ”Kontribusi Lippo hampir zero,” ujar dia. Laporan keuangan paruh tahun First Media juga menyebut nilai tercatat investasi di Direct Vision adalah nol.
Astro bersedia urun duit demi menjaga nama yang dipakai Direct Vision. Mereka juga melihat pasar televisi berbayar di Indonesia masih membentang. Duit yang telanjur kecemplung pun tak kecil. Laporan keuangan mereka menyebut fulus yang sudah diguyurkan 200 juta ringgit Malaysia (Rp 550 miliar)
Kini kongsi Astro-Lippo benar-benar di tubir perceraian. Hak siar Liga Inggris yang semestinya bisa didapatkan Direct Vision malah lepas ke Aora. Padahal All Asia Multimedia Network, anak usaha Astro, memiliki hak siar itu hingga musim 2009/2010. ”Itu cut loss, untuk mengurangi kerugian,” kata sebuah sumber. Astro memilih jual rugi ketimbang memberikannya ke Direct Vision dan duitnya amblas seluruhnya. Sampai kini pun, Astro masih punya piutang untuk pembayaran hak siar tahun lalu yang belum dilunasi Direct Vision.
Rini Soemarno mengatakan, mereka membeli hak siar Liga Inggris sekitar US$ 20 juta. ”Padahal Astro beli tiga musim hampir US$ 70 juta,” kata sumber itu lagi. Mereka memilih Aora semata-mata hitungan bisnis.
Menurut dia, tidak ada hubungan apa pun antara Aora dan Astro. Rini juga mengatakan, 95 persen saham Aora milik Arono International, perusahaan investasi milik Rini dan kakaknya, Ongki P. Soemarno. Sisanya dikuasai Indonesia HGC Telecommunication milik Solichin Kalla, putra Wakil Presiden Jusuf Kalla; dan pengusaha Jeffry Geovanie, yang juga menantu mantan Jaksa Agung Singgih.
Kamis pekan lalu, Astro malah gantian melaporkan Ayunda Prima, First Media, dan Direct Vision ke polisi. Sugeng Teguh mengatakan, Astro merasa mereka sudah memenuhi semua syarat di perjanjian Maret 2005, sehingga semestinya berhak atas 51 persen saham Direct Vision. Namun alih-alih mengantongi andil, modal US$ 39 juta yang mereka setor pun tak bisa ditarik. ”Klien kami merasa ditipu,” kata Sugeng.
Tapi sayang, pihak Lippo begitu sulit dimintai tanggapan. Direktur korporasi merangkap Sekretaris Perusahaan First Media, Harianda Noerlan, mengatakan tidak tahu banyak soal sengketa Astro dengan Direct Vision. ”Lebih baik ditanyakan ke Direksi Direct Vision,” katanya lewat pesan pendek. Presiden Komisaris First Media, Jonathan L. Parapak, hanya menjawab singkat, ”Saya tidak tahu.”
Tanggapan Nelia Molato Sutrisno, Presiden Direktur Direct Vision, pun tak jauh beda. ”Saya baru pulang cuti, jadi tidak tahu perkembangan. Halim yang lebih tahu.” Halim yang dia maksud adalah Halim Mahfudz, Senior Vice President Corporate Affair Direct Vision. Namun Halim juga mengaku tidak tahu. ”Kami ini hanya pekerja profesional, sedangkan hal itu urusan pemegang saham,” katanya kepada Tempo. Dia juga mengaku tidak tahu bahwa selama ini hampir semua biaya operasional Direct Vision ditanggung Astro.
Yang mengikat keduanya kini tinggal ”seutas benang tipis” berupa perjanjian penggunaan label Astro yang juga akan berakhir pada 30 Agustus ini. Apakah perjanjian itu akan diperpanjang atau diputus belum terang benar. Paling tidak, masih ada waktu sekian hari.
Sapto Pradityo, Gabriel Wahyu Titiyoga, Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo