Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Besarnya daya tarik kelapa sawit tak dielakkan lagi. Pengusaha yang semula tidak memiliki usaha di bidang perkebunan seperti Grup Medco, yang bergerak di bisnis perminyakan, pun ikut latah menanam sawit. Luas hutan kelapa sawit, dari Sumatera hingga Papua, mencapai 7,3 juta hektare—ini membuat Indonesia menjadi produsen minyak sawit nomor satu sejagat. Keuntungan yang dikucurkan pun mengalir deras tiada henti.
Namun kelapa sawit jelas tak langsung tumbuh menjadi pohon. Awalnya berbentuk kecambah alias benih kelapa sawit. Yang mengherankan, daya tarik bisnis benih ini tak terlalu tinggi, meski nilai jualnya oke. Menurut Dwi Asmono, Ketua Forum Komunikasi Produsen Benih Kelapa Sawit, kebutuhan kecambah sawit Indonesia tahun ini sekitar 230 juta benih. Harga kecambah Rp 4.000 hingga Rp 12 ribu. Berarti nilai usaha ini sudah melampaui Rp 1 triliun per tahun.
Pelaku usaha di bidang ini memang masih terhitung dengan jari tangan. Produsen kecambah sawit yang mengantongi sertifikat dari Departemen Pertanian cuma ada tujuh. Mereka adalah PT Binasawit Makmur (milik Sampoerna Agro), PT Dami Mas (Sinar Mas), PT Tunggal Yunus (Asian Agri), PT Tania Selatan (Wilmar International), PT PP London Sumatra Indonesia (Grup Salim), PT Socfin Indonesia, dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Mereka semua perusahaan besar. ”Karena investasinya mahal,” kata Yasin Chandra, Direktur PT Sampoerna Agro Tbk. Selain itu, untuk pembibitan, dibutuhkan keterampilan dan pengetahuan teknis jauh lebih tinggi dibanding usaha perkebunan sawit.
Bagi Sampoerna Agro, usaha kecambah menyumbang pendapatan lumayan. Hingga Juni lalu, dari hasil menjual enam varietas kecambah DxP Sriwijaya, perusahaan milik keluarga Sampoerna ini mengantongi Rp 38,33 miliar, hampir berlipat dua dari tahun sebelumnya, Rp 22,36 miliar. Angka itu memang hanya secuil—2,5 persen—jika disandingkan dengan total penjualan Sampoerna Agro separuh tahun ini, Rp 1,49 triliun.
Di PT London Sumatra, porsi pendapatan bisnis kecambah hingga triwulan pertama 2008 juga hanya 5,5 persen dari keseluruhan pendapatan perusahaan atau Rp 29,36 miliar. Bagi mereka, usaha ini hanyalah sampingan. ”Intinya tetap minyak sawit,” kata Yasin, awal Agustus lalu.
Akibatnya, stok benih kurang. Dari kebutuhan 230 juta kecambah, menurut Dwi Asmono, tujuh perusahaan itu hanya sanggup menyediakan sekitar 167 juta. Berarti kurang hampir 70 juta kecambah. Defisit ini ditambal dengan impor.
Namun, menurut Dwi Asmono, impor bukan pilihan ideal. Sebab, stok kecambah sawit di dunia juga tidak berlebih. Dia menaksir, total produksi benih sawit di dunia tahun ini hanya sekitar 320 juta. ”Indonesia yang terbesar,” ujarnya. Sisanya, Malaysia 80 juta benih, Papua Nugini 30 juta, dan Thailand sekitar 11 juta kecambah.
Defisit stok kecambah sawit ini sepertinya masih bakal lama. Dwi Asmono mengatakan, tahun depan produksi benih sawit Indonesia hanya sekitar 170 juta. Pasalnya, perlu waktu lama untuk mendongkrak produksi. Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan Achmad Manggabarani memperkirakan kelangkaan itu bakal bertahan 5-6 tahun lagi.
Seperti biasa, pada saat ada kelangkaan, muncullah barang palsu. Pun demikian dengan kecambah sawit. ”Repotnya, yang palsu ini susah dibedakan dengan yang asli,” kata Sumail Abdullah, pemilik empat hektare kebun kelapa sawit di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Petani kecil seperti Sumail inilah yang pertama jadi korban kelangkaan benih sawit. Karena mereka biasanya ditaruh di urutan bontot di daftar pemesan kecambah sawit. ”Perkebunan besar biasanya lebih diprioritaskan,” ujarnya. Walhasil, bibit palsu pun jadi juga ditanam, daripada tak ada. Hasilnya sudah pasti kalah jauh dari kecambah tulen.
Sapto Pradityo, Arti Ekawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo