MENTERI Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Wardojo, 52, tertawa terbahak-bahak ketika wartawan TEMPO Budi Kusumah dengan berkelakar menyebutnya sebapai Menteri Muda Urusan Peningkatan Kualitas Pangan. Itu relevan dengan kampanye tahun kualitas, yang tiba-tiba ramai dibicarakan. Berikut adalah petikan wawaancara Sabtu pagi lalu, yang berlangsung sekitar satu jam, dikantor sang menteri, tak jauh dari kebun binatang Ragunan, Jakarta Selatan: "Dulu, kita memang mengutamakan peningkatan produksi, karena hasil panen amat tidak memadai - untuk dimakan saja pun tak cukup. Kita adalah importir beras terbesar dl dunia. "Dengan intensifikasi pertanian dan sejak 1970 pemerintah sudah punya devisa diperkenalkannya Bimas yang disempurnakan, ada KUD, BRI Unit Desa, PPL belakangan ada Insus yang dirangsang dengan premi khusus atau perlombaan-perlombaan, hasilnya kelihatan. Sepanjang Pelita 1, produksi naik dengan 4,6%. Tahun lalu (awal Pelita IV) produksi sudah naik 7%, sama dengan perkiraan kenaikan tahun ini. "Tentu, meningkatnya kuantitas itu penting diikuti dengan kualitas. Maka, sejak empat tahun yang lalu, soal kualitas itu sudah ditetapkan, tapi Bulog masih memberikan toleransi-toleransi. "Yang menjadi alasan utama Bulog sekarang: gudang penuh. Itu masuk akal. Bulog punya stok 2,5 juta ton, yang merupakan 10% hasil panen tahun lalu. Kalau tahun ini Bulog membeli 10% juga - dari panen yang diperkirakan 26 juta ton - mau disimpan di mana? "Apa yang terjadi sudah diduga, maka kita sudah banyak melakukan studi. Tapi, nyatanya, studi itu masih belum mantap. Maklumlah, petani yang dihadapi jumlahnya berjuta-juta. "Ekspor tidak merupakan jalan keluar. Kita tidak akan mampu bersaing, terutama dengan beras Muangthai yang harganya cuma USS 200 per ton, kecuali dengan merugi. "Sesungguhnya, banyak faktor penyebab mengapa beras petani di bawah standar kualitas Bulog. Selain karena mereka ingin cepat-cepat menjual hasil panennya, faktor lain cukup berperan. Hama yang menyerang tanaman sampai kini belum bisa dituntaskan. Wereng sudah ada biotipe 1, 2, dan 3. Kemudian, dari 25.000 penggilingan padi yang ada, yang 21.000 tidak memenuhi syarat Artinya, hasil penggilingannya tidak akan bisa memenuhi standar kualitas Bulog. "Maka, saya menyarankan, agar petani tidak buru-buru menjual seluruh hasil panen . Jangan seperti di Jawa Timur, ada petani yang menjual gabahnya cuma Rp 80 per kg. Itu cuma menguntungkan tengkulak. "Kalau ingin harga yang baik, cobalah menyimpan dan merawat dulu padinya. Saya yakin, situasi akan membaik dalam dua bulan ini. "Selain itu, baik KUD, pedagang, maupun Bulog harus memperingan penderitaan petani. KUD, misalnya, 'kan bisa saja membeli apa adanya - kalau kualitas jelek, harganya 'kan bisa diubah. Setelah dirawat, nanti 'kan jadi bagus, dan bisa diterima Bulog. Jadi, dalam hal ini KUD sangat menentukan. Memang, menurut saya, KUD jadi raguragu karena Bulog terlalu ketat. "Tadi pagi, saya sudah menelepon Bulog, menyarankan agar mereka memperlonggar standarnya. Saya tanyakan: Kalau standar itu dilonggarkan, berapa Bulog akan rugi, dan apakah kerugian itu bisa ditoleransikan Pemerintah ? "Peningkatan kuantitas memang harus diikuti oleh kualitas. Tapi kuantitas tetap penting untuk mempertahankan swasembada yang telah kita capai. Sebab, saya perkirakan, pada 1987 nanti adalah musim kering." Ribut-ribut sekitar tahun "kualitas" tak menghalangi Bustanil Arifin, 60, untuk aktif setiap pekan di perkumpulan olah raga jantung sehat. Hari Minggu lalu, misalnya, dia masih mampu mengayuh sepeda sejauh 20 km, bersama 2.000-an anak-anak dan remaja. Esoknya, Senin, kepala Bulog - yang juga merangkap menteri koperasi - itu, di kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan TEMPO, A. Luqman. Dia tetap bersemangat. "Kami tidak pernah mengatakan ini tahun kualitas. Tidak pernah. Memang, Januari yang lalu, Bulog mengadakan safari, berkeliling daerah untuk menjelaskan tentang stok pangan. Kami meminta petani untuk benarbenar menjaga kualitas dan jangan mengharap tahun ini Bulog memberikan toleransi. Ini semata-mata untuk menjamin kualitas beras. "Tapi, sesungguhnya, standar kualitas yang ditentukan itu tak berbeda dengan tahun sebelumnya. Kami tidak pernah menyuruh Dolog supaya streng. Memang, di dalam pelaksanaan ada Dolog yang streng, tapi itu 'kan kebijaksanaan setempat, untuk mengamankan stok gabah atau beras mereka. "Kalau sekarang kami menolak membeli, itu atas dasar yang sama dengan 13 tahun yang lalu. Tahun 1971, misalnya, kami pernah menolak 27% dari jumlah pembelian seluruhnya. Yang kami risaukan saat ini, kalau tersiar berita bahwa banyak padi ditolak Dolog, petani rugi, petani mengeluh, akan timbul hal yang negatif: petani pesimistis, nggak mau lagi menanam padi. Padahal, penolakan sekarang itu tak ada relevansinya dengan tahun kualitas. "Kebetulan memang kualitas panen merosot. Kemarin hujan lebat selama dua bulan, dan para petani kita lebih senang mengeringkan padi dengan matahari, karena dengan mesin akan memberi ongkos tambahan. "Padahal, sebaiknya padi itu mereka rawat dulu, harganya akan naik dan nilai tambahnya jatuh kepada mereka, tidak kepada tengkulak. Apa yang saya katakan ini untuk mendidik petani. "Kini diperkirakan beras yang akan ditolak Bulog sekitar 20%, dan memang suplai tahun ini berlebihan. Itu, antara lain, karena tahun lalu pembelian oleh Bulog terlalu besar - sekitar 2,5 juta ton. Jumlah itu sekitar 10% dari produksi nasional - merupakan pembelian maksimal yang pernah dilakukan Bulog. "Memang, stok nasional seperti yang dikatakan Bapak Presiden, sebaiknya 5 juta ton. Jumlah ItU mampu untuk mengatasi tlga bulan konsumsi kita - waktu yang dibutuhkan untuk satu kali panen kembali seandainya terjadi panen gagal total. "Kesulitannya, dana Bulog itu tak satu rupiah pun yang berasal dari anggaran, semuanya berasal dari kredit. Untuk stok 5 juta ton itu, bunganya besar sekali. Sekarang saja, untuk pengelolaan beras, kami sediakan dana kira-kira Rp 700 milyar, bunganya tiap bulan sekitar Rp 9 milyar. "Dengan plafon dana itu, kami siap membeli beras berapa saja, asal jangan di atas jumlah 10% produksi nasional. Tapi, karena sekarang kita sudah tak lagi impor beras, dan stok masih banyak, maka daerah per daerah kami serahkan untuk kembali pada standar kualitas. Itu tidak secara nasional. "Kalau mau ekspor, kita harus mau merugi. Sebab, harga beras cer derung turun terus. Negara lain pun, seperti Muangthai, mengalami hal yang sama. Kita pernah ikut tender FAO, tapi kalah. Kita menawarkan harga US$ 1-0 per ton, sedangkan Pakistan cuma USS 150. "Sebetulnya, saya tak berkemauan sekali untuk ekspor. Kalaupun kita ekspor ke negara Afrika, seperti ke Etiopia dan Senegal, itu tidak murni ekspor, tapi mengandung unsur bantuan. Kita jual harganya US$ 170 sampai US$ 175 per ton, artinya rugi 50%, karena harga buku (harga jual) Bulog sekarang Rp 360 per kilogram. "Memang, masalah pemasaran beras di seluruh dunia sedang kacau. Jadi, sangat tidak benar kalau dikatakan, sekarang Departemen Pertanian sudah berhasil meningkatkan produksi beras, dan Bulog tidak berhasil memasarkannya. Itu tidak benar. "Harus diingat, Bulog juga turut meningkatkan produksi, antara laim dengan menjaga jangan sampai beras turun di bawah harga dasar. Kalau Bulog diam, produksi tidak akan meningkat. Misalnya, sekarang Bulog tak mau beli, petani mau apa? "Jadi, ini tugas yang terkoordinasikan, kalau sampai harga turun di bawah harga dasar, kami yang salah. Saya tidak mengatakan, sekarang ada harga penjualan beras di bawah harga dasar. Kalaupun ada, itu karena berasnya bukan kualitas yang kami minta."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini