Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ada Apa dengan Syafruddin?

Ketua BPPN, Syafruddin Temenggung, menyatakan utang Salim pada pemerintah sudah lunas. Tapi hal itu masih akan dibahas lagi dalam forum KKSK, hanya dua hari menjelang Lebaran tiba.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benang kusut seputar utang Grup Salim belum terurai betul ketika Ketua BPPN, Syafruddin Temenggung, menyatakan utang grup ini lunas, dua pekan lalu. Sikapnya ini menimbulkan pertanyaan dan syak wasangka. "Saya juga heran kenapa Syaf ingin sekali Salim dinyatakan lunas kewajibannya," kata ekonom dari Indef, Dradjad Wibowo. Keheranan merebak karena perhitungan nilai aset Grup Salim masih simpang-siur. Empat penilai yang cukup punya nama memberikan hasil berbeda soal nilai 108 perusahaan yang diserahkan Salim sebagai pembayar Rp 52,6 triliun utangnya. Lalu ada soal misrepresentasi. BPK dan BPPN sebelumnya menemukan sejumlah misrepresentasi pada aset Salim tersebut. Tapi penilai terakhir, Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG), menyatakan nihil. Konsultan keuangan yang dibayar mahal ini tak menemukan misrepresentasi sepeser pun. Dradjad mengatakan, Syaf tak bisa seenaknya menyatakan utang Salim lunas. Sebabnya, nilai aset sampai sekarang belum jelas. Maksudnya, penilaian para akuntan nyata-nyata bertentangan. Hasil penilaian terdahulu, misalnya, berbeda dengan hasil pengkajian KPMG. Sebelumnya ada kekurangan sebesar Rp 1,4 triliun yang diserahkan Grup Salim—Rp 700 miliar di antaranya terkait dengan misrepresentasi yang pernah diakui oleh Syafruddin sendiri—tapi sekarang kekurangan itu lenyap setelah KPMG turun tangan. Wajar bila Dradjad juga mempertanyakan sikap Syaf yang berkeras membela KPMG dan tiba-tiba tidak mempercayai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan maupun PricewaterhouseCoopers. Menurut pengamat yang rajin mengikuti perkembangan pelunasan utang obligor ini, Grup Salim memang belum memenuhi seluruh kewajibannya ke negara. Sebanyak 77 perusahaan—dari 108 yang diserahkan ke pemerintah—yang sudah terjual hanya menghasilkan Rp 17 triliun. Dari sini saja, konglomerat itu sudah merugikan negara Rp 13 triliun—bahkan berpotensi mencapai Rp 30 triliun. Ironisnya, semua dana untuk konglomerat itu dibebankan kepada rakyat Indonesia, lewat APBN. Kepala Divisi Humas BPPN, Raymond van Beekum, dalam jawaban tertulisnya kepada majalah ini menegaskan bahwa semua kekurangan itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Tidak diungkapkan apa alasannya sehingga kekurangan pembayaran utang konglomerat merupakan tanggung jawab pemerintah. Juga tak jelas apa dasar hukumnya. Dengan mengantongi surat jaminan yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum atau sering disebut sebagai surat release and discharge (R & D), Grup Salim terbebas dari kewajiban yang selama ini membatasi ruang geraknya. Bahkan tanpa surat R & D itu pun, September lalu saja grup ini bisa membeli 45 persen saham sebuah perusahaan properti di Cina, yakni Cosco Property. Duit yang digelontorkan kabarnya mencapai US$ 500 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun. Kenyataan itu dari sisi hukum sangat layak diperdebatkan, sementara dari sisi moral telah melukai rasa keadilan masyarakat. Dradjad membandingkan dengan jutaan petani Indonesia yang harus berjibaku karena pencabutan subsidi pupuk senilai Rp 9 triliun. Bandingkan dengan Grup Salim yang dengan R & D bisa menikmati "pemutihan utang" yang jumlahnya puluhan triliun rupiah. Anggota Komisi Keuangan DPR dari Fraksi Reformasi, Sjamsul Balda, juga mempertanyakan dasar BPPN menyatakan utang Salim sudah dibayar seluruhnya. Katanya, soal nilai aset Salim saja masih ramai dipertanyakan, kok tiba-tiba dianggap sudah lunas. Kalau hasil penjualan jauh dari beban utangnya, utang konglomerat itu tidak boleh dinyatakan lunas. Dia mensyaratkan, pengembalian harus di atas 50 persen. "Jangan sampai keputusannya menyinggung rasa keadilan rakyat," ujarnya. Syafruddin Temenggung sendiri tampaknya terbiasa untuk tidak menghiraukan berbagai komentar, dari mana pun datangnya. Bagi orang nomor satu di BPPN ini, utang konglomerat adalah satu hal, rasa keadilan masyarakat adalah hal yang lain. Jadi jangan heran bila usul penyelesaian masalah utang Salim ini akan segera dibicarakan di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), sebelum Lebaran ini. Sjamsul Balda bukan tidak menyadari strategi nan jitu dari Ketua BPPN itu. Dia mengakui, DPR tak bisa mencegat karena sedang istirahat sidang. "Saya sudah memperkirakan, keputusan krusial itu akan diambil ketika DPR sedang reses dan orang sedang sibuk menghadapi Lebaran," katanya agak sinis. Kini semuanya terpulang pada KKSK. Lembaga ini merupakan forum lima menteri bidang ekonomi yang secara formal merupakan atasan BPPN, namun secara de facto cenderung menjadi juru stempel yang mengamini semua keputusan BPPN. Leanika Tanjung, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus