Perusahaan Gas Negara (PGN) benar-benar kehabisan akal mengatasi kekurangan pasokan gas di Jawa Timur. Selama ini mereka terbiasa membeli gas dari produsen satu-satunya, yakni Pertamina. Bertahun-tahun pasokannya aman, tiba-tiba sejak dua tahun lalu Pertamina tak mampu lagi memasok sesuai dengan kebutuhan, yakni sekitar 375 juta kaki kubik (mmscf) per hari. Alasannya, kontraktor BP-Indonesia yang ditunjuk menjual gasnya mengalami penurunan produksi, sementara lapangan yang mereka temukan masih menunggu keputusan diperpanjang atau tidak.
Tahun ini mereka cuma bisa memasok 266 juta kaki kubik per hari untuk PGN di Jawa Timur, dan angka ini terus turun hingga 15 juta kaki kubik per bulan. Jelaslah, pasokan gas berada pada kondisi kritis karena kebutuhan PGN naik rata-rata 15 persen per tahun. Memang ada produsen lain di luar BP seperti Lapindo Brantas dan Kodeco, tapi jumlah pasokan gasnya kecil.
Berkait dengan kelangkaan pasokan gas ini, PGN sudah berkali-kali mengirim surat permintaan pasokan baru ke Pertamina, tapi tak bisa dipenuhi. Setelah wewenang Pertamina dialihkan ke Badan Pelaksana Migas (BP Migas) tahun lalu, kekurangan itu ternyata belum bisa diatasi sampai hari ini. Padahal Jawa Timur dikenal sebagai kawasan penghasil gas terbesar di negeri ini, tempat sekitar 10 kontraktor gas masih beroperasi normal.
Lantas, di mana letak sebab-musabab kekurangan gas yang mencolok itu? Pemasok gas utama di Jawa Timur adalah BP-Indonesia. Berdasarkan kontrak production sharing (KPS) yang ditandatangani Pertamina dengan PT Arco Bali North Corp.—belakangan merger dengan BP—14 November 1980, kontraktor mendapat hak istimewa (preferential right) sebagai satu-satunya yang berhak memasok gas ke Jawa Timur hingga sebesar 600 juta kaki kubik per hari. Hak itu diberikan karena masuknya PT Bimantara Citra sebagai pemegang 10 persen saham Kangean. Bimantara, yang dimiliki anak ketiga bekas presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, memang menyulitkan posisi Pertamina. Menurut rumor yang beredar, Pertamina terpaksa memberikan hak istimewa itu kepada Bimantara.
Namun kepada Tempo Bimantara menyangkal bahwa perusahaannya punya saham di Blok Kangean. Tapi beberapa dokumen lain yang berasal dari Pertamina menyatakan sebaliknya. Walaupun sejak dua tahun lalu telah dicabut, semasa Kuntoro menjabat Menteri Pertambangan. Ketika Arco bergabung dengan BP, hak ini ikut terbawa dan Pertamina alpa untuk mencabutnya. Meskipun dari awal Pertamina juga mengetahui bahwa Arco tak pernah bisa memproduksi gas sebanyak 600 mmscf. Belakangan, setidaknya sejak tiga tahun lalu, BP menulis surat kepada pemerintah dan menyatakan kemungkinan terjadi kelangkaan gas di Jawa Timur karena turunnya produksi lapangan Pagerungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata BP-Indonesia menemukan lapangan gas Terang Sirasun, yang termasuk dalam Blok Kangean. Cadangan gas yang terbukti di Sirasun, menurut Budiman Parhusid dari BP, sebesar 800 miliar kaki kubik. Ini berarti, kalau diproduksi 600 mmscf per hari, volume itu cukup memasok pasar gas Jawa Timur selama tiga setengah tahun. Kalau diproduksi setengahnya saja, dan sisanya diambilkan dari KPS lain, tujuh tahun kawasan itu aman dari kekurangan gas. Hal itu menunjukkan—menurut anggota Komisi Pertambangan dan Energi DPR, Ahmad Ferial—kalau BP segera memproduksi gas Sirasun, tak terjadi kelangkaan atawa shortage.
Apa daya, kontraktor minyak dan gas asal Inggris itu punya pendapat yang berbeda. Mereka mengajukan perpanjangan kepada Pertamina—sekarang ditangani BP Migas—selama 20 tahun, dan ini berarti kontraknya baru akan berakhir tahun 2030. Untuk memproduksi gas Sirasun, mereka minta satu syarat: kontrak seluruh Blok Kangean juga diperpanjang. Perusahaan itu menyatakan akan menanamkan modal hingga US$ 300 juta untuk mengembangkan Sirasun. Dan syaratnya hanya satu, yakni perpanjangan diberikan untuk Blok Kangean hingga tahun 2030.
Banyak kalangan menanyakan kenapa BP-Indonesia tidak melakukan eksploitasi Sirasun dengan segera, toh masih ada di dalam satu blok. ”Kami membutuhkan investasi baru,” kata Budiman. Dan investasi yang besar butuh kepastian pasar gas dalam jangka panjang dan pengembaliannya.
Suara anggota DPR dari Komisi VIII—yang menangani masalah gas ini—terbelah. Yang ingin perpanjangan beralasan bahwa kebutuhan gas amat mendesak dan menentukan minat investasi di Surabaya dan sekitarnya. Yang menolak, seperti Ahmad Ferial, menyatakan itu cuma dalih untuk menguasai seluruh pasaran gas di Jawa. Apalagi, katanya, alasan BP tidak masuk akal. Kalau mereka menginginkan investasinya cepat balik, toh semua akan dibayar kembali oleh negara lewat cost recovery. Jadi, silakan saja mengembangkan Sirasun, semua investasinya pasti bisa dikembalikan pada waktunya. ”Lalu buat apa meminta perpanjangan seluruh bloknya?” ujarnya curiga.
Entah mengapa, belakangan para penentang itu mengalah dan mengajukan jalan tengah. BP-Indonesia diberi dispen- sasi untuk memproduksi gas hanya dari lapangan Sirasun. Investasi US$ 300 juta yang dikalkulasi BP untuk memproduksi gas diizinkan realisasinya. ”Silakan mengembangkan Sirasun, perpanjangan Kangean nanti dulu,” kata Ferial. Apalagi, katanya, Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim kepada beberapa anggota DPR sudah menyatakan siap jika blok itu dialihkan kepada mereka.
Menanggapi usul tersebut, Budiman dari BP menyatakan bahwa investasi di Sirasun saja tak akan menguntungkan buat perusahaannya. Kepada Tempo dia menjelaskan bahwa hak istimewa BP yang diributkan itu disusun berdasarkan prinsip base effort. Artinya, jika BP sanggup memenuhi kontrak yang 600 juta kaki kubik per hari, kontrak berlaku. Tetapi, jika tak bisa, produsen lain dipersilakan memasoknya. Ia menjelaskan, dengan base effort, satu-satunya keistimewaan yang didapat perusahaannya adalah prioritas pemasokan gas. ”Kami tak bisa menghalangi produsen lain masuk ke pasar,” ujarnya. Ia menunjuk beberapa produsen gas seperti Lapindo Brantas dan Amerada Hess yang sudah menjual gasnya.
Menurut dokumen notulensi rapat antara konsumen gas dan Pertamina serta BP di Jawa Timur, 25 Januari 2002, masalahnya berbeda. Dalam rapat itu jelas tergambar bahwa semua konsumen mengeluhkan sikap BP yang tak mau melepas hak istimewa di atas kemampuan pengiriman gas mereka (deliverability), yang cuma 266 juta kaki kubik tahun ini.
Sementara itu, Kepala Badan Pelaksana Migas, Rahmat Sudibyo, kepada Tempo mengatakan bahwa pemerintah masih menunggu rekomendasi dari DPR dan mempelajari perhitungan yang diajukan BP-Indonesia. Di balik sikap tenang Rahmat, rupanya pemerintah sudah memutuskan sesuatu. ”Sikap dasar pemerintah adalah menyetujui perpanjangan Kangean,” ujarnya. Pertimbangan yang dipakai Rahmat sama persis dengan Budiman, yakni perlu waktu lama mengembalikan investasi kontraktor. Sekarang tinggal urusan teknis dan bagi hasil saja. Rahmat memastikan, awal tahun depan keputusan itu akan diumumkan pemerintah.
Sikap pemerintah yang kompromistis itu ditentang keras oleh Ferial dan kawan-kawan. Jika DPR memberikan rekomendasi, katanya, ia dan fraksi-fraksi yang tidak setuju—sekitar lima fraksi—akan meminta agar dicantumkan minderheidsnota alias keberatan. Jalan keluar yang diajukan Ferial adalah meminta KPS di luar BP untuk segera memproduksi gasnya, dan Kangean tidak diperpanjang lagi.
Seorang sumber Tempo yang mempelajari pasokan gas itu mengatakan, ia yakin kontraktor lain dapat memasok gas, asal pasar gasnya dibuka lebar. Soal Kangean lebih baik ditenderkan terbuka setelah tahun 2010 atau memberikan prioritas kepada Pertamina sebagai perusahaan milik negara—tergantung mana yang lebih menguntungkan. Ia menduga masih ada cadangan gas lain di blok itu yang bisa dieksploitasi, dan lewat perpanjangan, semua gas itu otomatis diproduksi kontraktor yang sama hingga 20 tahun ke depan.
Sayangnya, sampai hari ini sekitar 40 perusahaan di Jawa Timur tak lagi bisa menikmati murahnya gas sejak beberapa tahun lalu—yang dibeli dengan harga US$ 2,3 per mmbtu—dan terpaksa beralih ke bahan bakar minyak (BBM). Padahal penggantian ke BBM menimbulkan masalah baru karena volumenya dijatah tiap bulan oleh Pertamina. Bahkan penggantian itu bisa menurunkan umur pakai suku cadang hingga 50 persen, misalnya pada alat-alat di pembangkit listrik. Ujungnya, biaya produksi ikut melambung dan masyarakat membayar barang-barang dengan harga yang semakin tinggi.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini