SEMENTARA angkutan udara berlomba merendahkan ongkosnya, imbasnya terlontar hingga ke angkutan laut dan darat. Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP), dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) tak selamat dari perang antar-perusahaan swasta itu. Tiga badan usaha milik negara tersebut terpaksa memangkas tarifnya agar penumpangnya tak lari. Bahkan ASDP menghentikan sementara beberapa rutenya karena tak mampu lagi bersaing harga dengan perusahaan penerbangan. Perang tarif ini dimulai pada Februari lalu, ketika Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi menghapuskan batas bawah tarif angkutan udara. Persaingan menghebat pada Juli, setelah masuknya beberapa perusahaan baru, seperti Indonesian Airlines. Terjadilah perang massal antara angkutan udara, laut, dan darat.
Berapa besar kerugian yang harus mereka tanggung? ”Pendapatan kami turun 20 persen,” kata Direktur Usaha PT Pelni, Jussabella Sahea. Itu berarti tahun ini kemungkinan Pelni cuma mendapat Rp 1,4 triliun.
Pelni memang yang paling terpukul di antara tiga BUMN tadi. Beberapa jalur gemuknya kontan mengurus digerogoti perusahaan penerbangan, di antaranya Jakarta-Batam-Medan dan Surabaya-Makassar-Balikpapan. Mulanya mereka memasang harga Rp 789 ribu untuk kelas I dan Rp 443 ribu untuk kelas III untuk Surabaya-Balikpapan. Tapi harga untuk 28 jam perjalanan itu jadi tampak ”aneh” setelah Lion Air menetapkan harga Rp 399 ribu Mei lalu—dari harga biasa Rp 550 ribu. Penumpang Pelni kontan tersedot. ”Pada semester pertama, load factor (rata-rata jumlah penumpang) kelas I-III masih 40-80 persen, tapi pada Juli tinggal 20 persen,” kata Jussabella.
Ketika Pelni terpaksa memangkas harga tiket menjadi Rp 550 ribu dan Rp 376 ribu, Lion Air sudah merendahkan harga sampai Rp 375 ribu. Maskapai lain pun ikut membanting harga. Pelni menyerah. Harga tak mungkin mereka turunkan lagi karena 80 persen di antaranya adalah biaya tetap seperti untuk bahan bakar dan investasi. Kini mereka tak pernah sukses menjaring penumpang 500 orang—batas minimal titik impas—dari kapasitas kapal 2.000 penumpang. Pendapatan sebesar Rp 2 miliar-Rp 2,5 miliar pun melayang dari jalur ini.
ASDP? Setali tiga uang. Yang termakan, ujar Direktur Operasi ASDP, Johan Iskandar, lagi-lagi jalur Surabaya-Balikpapan. Perusahaan angkutan laut itu mau tak mau memangkas harga tiketnya hampir 50 persen dari semula Rp 360 ribu menjadi Rp 200 ribu. Meski begitu, penumpang tujuan Balikpapan-Surabaya rata-rata cuma 20-30 orang. Padahal diperlukan 150 penumpang untuk mencapai titik impas. Untuk mengurangi kerugian, ASDP mengurangi jadwal dari dua kali menjadi sekali sepekan dan menghentikan pelayaran jalur Surabaya-Pontianak sejak pertengahan Agustus lalu. ”Kalau kita bertahan, sama saja bunuh diri,” kata Sonata Halim Yusuf, Direktur Keuangan ASDP.
Nasib sedikit lebih baik dialami Kereta Api Indonesia. Jalur yang terimbas perang tarif relatif tak banyak, hanya Jakarta-Surabaya. Meskipun demikian, mereka menangguk kerugian lumayan besar dari jalur gemuk itu. Diskon 10 persen harus diberikan pada hari tertentu. Tak banyak penumpang yang bersedia diempas-empaskan selama 10 jam di Argo Bromo Anggrek, yang tiketnya Rp 285 ribu, sementara hanya dengan menambah 15 ribu perak, mereka bisa sampai ke Surabaya cuma dalam sejam. Akibatnya, jumlah penumpang anjlok. Dulu 65 ribu orang tiap bulan memanfaatkan kelas eksekutif, tapi kini sudah di bawah 40 ribu.
Perang seperti ini tak tertahankan bagi para petinggi BUMN angkutan itu. Jeritan minta tolong agar pemerintah turun tangan dilontarkan oleh Jussabella. Jika perang tarif ini dibiarkan, sulit bagi Pelni ataupun ASDP untuk bertahan di jalur-jalur gemuk tersebut. Masih untung, Pelni masih punya jalur gemuk lain seperti Jakarta-Biak, Jakarta-Sorong, dan Makassar-Sorong, sementara ASDP punya kapal penyeberangan ro-ro (roll-on roll-off). Tapi, dalam jangka panjang, jalur-jalur itu tak akan mampu menunjang kedua BUMN tersebut. ”Yang akan terkena tidak lain rakyat kecil,” katanya. Menurut dia, Pelni selama ini bisa meraih untung karena adanya subsidi silang antara tarif kelas eksekutif dan kelas ekonomi. Jika tarif mahal itu diturunkan, Pelni jelas akan sulit mencapai titik impas.
Apa pun, bisnis adalah bisnis. Tak peduli BUMN ataupun swasta, mereka yang efisienlah yang akan mampu bertahan.
MT, Leanika Tanjung, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini