DI layar TV-RI kelihatan seorang wanita menyemprotkan sesuatu
pada ketiaknya. Iklan obat itu melanggar "norma kesusilaan
kita," kata Permadi SH.
Tokoh Lembaga Konsumen ini memang sudah sering mengomel tentang
materi iklan -- hukan di layar televisi saja -- yang dianggapnya
menipu, keterlaluan, berlebih-lebihan, tidak sesuai dengan kode
etik periklanan.
Sebagian Biro Iklan tentu melihatnya dari segi lain lagi. Bahkan
mungkin menganggap Permadi yang berlebih-lebihan. Namun banyak
pihak rupanya sependapat bahwa bisnis iklan ini perlu
ditertibkan. Maka terbentuklah baru-baru ini Dewan Periklanan
Nasional (DPN) yang beranggotakan berbagai unsur pemerintah,
media elektronik, media cetak, biro iklan dan, tentu saja,
Lembaga Konsumen tidak ditinggalkan.
"Situasi periklanan di Indonesia memang belum sehat," manajer
Baty Subakti dari PT Indo-AD mengakui pada TEMPO minggu lalu.
"Masih banyak biro iklan yang hanya memandang segi bisnis saja
tanpa berpegang teguh pada soal etis."
Tentang segi etis ini, adakalanya pelanggaran berasal dari luar
negeri. Penulisan dan disain iklannya bukan dilakukan di dalam
negeri, sedang biro setempat tinggal memasang saja di media.
Selain itu, banyak pula iklan yang langsung masuk ke media tanpa
melalui biro iklan. Iklan 'langsung' ini, kata Savrinus Suwardi
dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), supaya
dilarang. Dianjurkannya supaya dewan baru ini meminta media agar
menerima iklan dari biro iklan yang terdaftar saja. Bahwa banyak
biro iklan yang belum mendapat pengakuan resmi tapi diterima
oleh media. Ini menjengkelkan pihak P3I.
Pengakuan resmi untuk biro iklan diberikan oleh Departemen
Perdagangan 8 Koperasi (mengenai bidang usahanya) dan
Departemen Penerangan (mengenai bidang materinya). Karena harus
ditangani oleh dua instansi, semustinya pengaturan iklan ini
sudah tidak semrawut lagi. Ternyata, kata Indra Abidin dari
pimpinan PT Fortune, "aturan permainan (periklanan) belum
teratur."
Tadinya sudah ada BKS Periklanan Pers yang, menurut kacamata
Permadi, kini "mati dalam sekam." Dewan ini rupanya diharapkan
melanjutkan tugas BKS itu dalam bentuk baru untuk menyusun
periklanan.
Pemerataan
Bisnis periklanan di Indonesia ditaksir antara $ 80 juta dan $
120 juta setahun, termasuk porsi koran 30% dan majalah 16%. Kini
ada pemikiran, terutama dari Departemen Penerangan, supaya
diadakan pemerataan periklanan.
Bagaimana? Direktur Bina Pers drs T. Atmadi dari Deppen
menjawab: "Masalah pemerataan periklanan menjadi tanggung jawab
bersama, khususnya antara pemasang iklan, media komunikasi massa
dan perusahaan periklanan. Langkah pertama yang perlu dilakukan
adalah meyakinkan ketiga komponen tersebut bahwa pemerataan
periklanan, dalam jangka pendek ataupun panjang, akan
menguntungkan mereka.
"Mungkin Dewan Periklanan dapat berusaha untuk menumbuhkan
keyakinan yang semacam itu. Setelah itu Dewan Periklanan mungkin
dapat memberikan saran-saran kepada pemerintah mengenai
pengaturannya."
Kode etiknya mungkin gampang diatur. Tapi soal 'pemerataan' ini
bisa panjang jalannya, mengingat pemasang iklan -- supaya lebih
efisien -- harus memilih jumlah dan jenis pembaca suatu media.
Apa Itu Partisipasi
Perusahaan-perusahaan kita umumnya memerlukan terapi. Setidaknya
begitulah Mulyono Gandadiputra melihatnya. Pengasuh ruang
"psikologi untuk anda" di TVRI itu pekan lalu memperoleh gelar
doktor dalam ilmu psikologi dari Universitas Indonesia dengan
yudisium "sangat memuaskan".
Kalau begitu apa penyakit yang dideritanya? Menterjemahkan
disertasinya yang lebih 300 halaman tentang masalah hubungan
atasan-bawahan dalam berbagai organisasi di Indonesia itu ke
dalam bahasa awam, Dr Mulyono, 45 tahun, yang kelahiran
Majalengka itu mengatakan: "Kita biasanya bersikap mengharapkan
orang lain itu ngerti sendiri." Sebagai psikolog, tentu saja ia
melihat persoalannya dari segi faktor manusianya. Namun menurut
pendapatnya asumsi "ngerti sendiri" antara atasan dan bawahan
itu tak urung bisa menjadi salah satu penghalang utama bagi
kelancaran jalannya organisasi.
Misalnya atasan mengeluh bahwa bawahannya kurang inisiatip.
Sebaliknya bawahan biasanya menganggap bahwa atasanlah yang
tidak mendorong adanya inisiatip itu. "Dulu saya juga mengambil
inisiatip tapi malahan disalahkan. Kalau saya bertanya, dijawab
'kamu kan sarjana ekonomi, masa begitu saja tanya'." Jawaban
begitu, menurut Dr. Mulyono sudah biasa. Sikap yang begini ini
dianggapnya.tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga
Indonesia yang "tidak zakelijk".
Lingkungan keluarga Indonesia pada umumnya tidak menumbuhkan
inisiatip pada anak, sedang orang tua sukar menerima dialog
terbuka secara terlepas dari soal hormat atau tidak hormatnya
anak kepada orang tua. "Nah, sikap yang begini ini lalu kita
bawa-bawa ke dalam perusahaan," katanya. "Karena itu kita
memerlukan latihan mengatasi hambatan demikian ini dan pola yang
konsisten dalam perusahaan mengenai apa yang dibenarkan dan apa
yang tidak. Orang tua perlu mengembangkan kemampuan anak dalam
mengambil keputusan dan mencetuskan pendapat sesuai dengan taraf
pertumbuhannya."
Guna menyiapkan disertasinya, Dr Mulyono menggunakan hasil
pengalamannya dan penelitian atas sample dari berbagai
organisasi, juga di bidang bisnis seperti impor, hotel, dan
bank. Responden diperolehnya dari 135 atasan dan dari 345
golongan bawahan. Pengolahan data dikerjakan di Universitas
Nijmegen, Negeri Belanda, dan memakan waktu dua tahun. Antara
lain kesimpulannya:
Bila makin luas dan dalam pengetahuan serta penghayatan bawahan
mengenai peranan dirinya dalam organisasi di mana ia bekerja,
makin besar pula kemungkinan ia aktif berpartisipasi.
Karyawan akan melihat bahwa sistim pengelolaan partisipatif itu
diamalkan dalam lingkungan organisasinya, apabila ia percaya
bahwa para pemimpin unit kerja pada umumnya melaksanakan
asas-asas pengelolaan partisipatif.
Kesetiaan dan rasa keterlibatan serta tanggungjawab bawahan
untuk mencapai tujuan organisasi dapat ditingkatkan apabila ia
melihat dan percaya bahwa atasan berbuat sejalan dengan tuJuan
itu.
Partisipasi bawahan dalam suatu keputusan sebaiknya dimulai
sebelum keputusan diambil dan tidak sesudah diputuskan sendiri
oleh atasan.
Adanya hubungan pribadi yang baik antara bawahan dan atasan
tidak menjamin adanya partisipasi aktif dari pihak bawahan dalam
proses pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang bertalian
dengan pekerjaan sehari-hari.
Penggunaan kata 'sikon' (situasi dan kondisi) tanpa kekhususan
makna hanya menunjukkan ketidak beranian, kemalasan dan pelarian
orang dari persoalan yang seharusnya dihadapi dan diatasi.
Pendidikan kewiraswastaan tidak akan cepat mencapai hasil
seperti yang diharapkan apabila peserta hanya memperoleh kuliah
teori dalam kelas.
Begini Atau Begitu
Lalu bagaimana sebaiknya menyambung putus-hubungan itu kalau
sudah ada? "Client-centered therapy," jawab Dr Mulyono. Apa pula
itu "Saya tidak pernah memberikan nasehat pada klien, harus
begini atau begitu," katanya. Dia juga pemimpin biro konsultan
Mulyono & Associates. "Saya hanya menciptakan situasi di mana
yang mengeluh itu bisa menemukan insigbt (pengertian) sendiri
mengenai permasalahannya. Yang saya cari persamaannya. Kalau
misalnya atasan menghendaki bawahan mempunyai inisiatip
sedangkan yang bawahan juga menghendaki demikian, lalu mengapa
ini tidak tercapai."
Apakah nasehat yang bukan nasehat ini manjur Jawabnya mungkin
tersimpan di ruang kerjanya di Jalan Prof. Moh. Yamin no. 49,
Jakarta Pusat, yang memuat berderet berkas data
perusahaan-perusahaan terkemuka di Jakarta dan tempat lain.
Bahkan ada perusahaan-perusahaan dari Hongkong. "Ini baru
sebagian kecil. Yang lain ada di kantor lain," katanya lagi.
Biro konsultannya berdiri sejak 1962.
Tapi apa yang mula-mula mendorongnya menulis disertasi justru
tentang masalah atasan-bawahan. ini? "Pertama, karena tampak
sekarang ini orang banyak ngomong tentang partisipasi dan
komunikasi dua arah. Tapi kalau ditanya apa yang dimaksud,
paling-paling jawabnya 'Ah, masa begitu saja perlu ditanya'.
Kedua, karena ini suatu gejala yang kurang memuaskan bagi saya.
Kelihatannya mudah, tapi tidak gampang ditentukan."
Untuk menyebar pengertian yang lebih baik mengenai persoalan
yang menyangkut bidangnya, psikolog yang sudah sibuk dengan
bisnis ini masih juga sempat memberi kuliah dan bergiat dalam
Yayasan Bina Psikologi yang diketuainya. Ikut pula dia
menerbitkan majalah psikologi populer Anda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini