Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ada Kode Etik,

Terbentuknya dewan periklanan nasional (DPN) yang beranggotakan: pemerintah, media elektronik, media cetak, biro iklan & lembaga konsumen untuk menertibkan bisnis periklanan di Indonesia. (eb)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI layar TV-RI kelihatan seorang wanita menyemprotkan sesuatu pada ketiaknya. Iklan obat itu melanggar "norma kesusilaan kita," kata Permadi SH. Tokoh Lembaga Konsumen ini memang sudah sering mengomel tentang materi iklan -- hukan di layar televisi saja -- yang dianggapnya menipu, keterlaluan, berlebih-lebihan, tidak sesuai dengan kode etik periklanan. Sebagian Biro Iklan tentu melihatnya dari segi lain lagi. Bahkan mungkin menganggap Permadi yang berlebih-lebihan. Namun banyak pihak rupanya sependapat bahwa bisnis iklan ini perlu ditertibkan. Maka terbentuklah baru-baru ini Dewan Periklanan Nasional (DPN) yang beranggotakan berbagai unsur pemerintah, media elektronik, media cetak, biro iklan dan, tentu saja, Lembaga Konsumen tidak ditinggalkan. "Situasi periklanan di Indonesia memang belum sehat," manajer Baty Subakti dari PT Indo-AD mengakui pada TEMPO minggu lalu. "Masih banyak biro iklan yang hanya memandang segi bisnis saja tanpa berpegang teguh pada soal etis." Tentang segi etis ini, adakalanya pelanggaran berasal dari luar negeri. Penulisan dan disain iklannya bukan dilakukan di dalam negeri, sedang biro setempat tinggal memasang saja di media. Selain itu, banyak pula iklan yang langsung masuk ke media tanpa melalui biro iklan. Iklan 'langsung' ini, kata Savrinus Suwardi dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), supaya dilarang. Dianjurkannya supaya dewan baru ini meminta media agar menerima iklan dari biro iklan yang terdaftar saja. Bahwa banyak biro iklan yang belum mendapat pengakuan resmi tapi diterima oleh media. Ini menjengkelkan pihak P3I. Pengakuan resmi untuk biro iklan diberikan oleh Departemen Perdagangan 8 Koperasi (mengenai bidang usahanya) dan Departemen Penerangan (mengenai bidang materinya). Karena harus ditangani oleh dua instansi, semustinya pengaturan iklan ini sudah tidak semrawut lagi. Ternyata, kata Indra Abidin dari pimpinan PT Fortune, "aturan permainan (periklanan) belum teratur." Tadinya sudah ada BKS Periklanan Pers yang, menurut kacamata Permadi, kini "mati dalam sekam." Dewan ini rupanya diharapkan melanjutkan tugas BKS itu dalam bentuk baru untuk menyusun periklanan. Pemerataan Bisnis periklanan di Indonesia ditaksir antara $ 80 juta dan $ 120 juta setahun, termasuk porsi koran 30% dan majalah 16%. Kini ada pemikiran, terutama dari Departemen Penerangan, supaya diadakan pemerataan periklanan. Bagaimana? Direktur Bina Pers drs T. Atmadi dari Deppen menjawab: "Masalah pemerataan periklanan menjadi tanggung jawab bersama, khususnya antara pemasang iklan, media komunikasi massa dan perusahaan periklanan. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meyakinkan ketiga komponen tersebut bahwa pemerataan periklanan, dalam jangka pendek ataupun panjang, akan menguntungkan mereka. "Mungkin Dewan Periklanan dapat berusaha untuk menumbuhkan keyakinan yang semacam itu. Setelah itu Dewan Periklanan mungkin dapat memberikan saran-saran kepada pemerintah mengenai pengaturannya." Kode etiknya mungkin gampang diatur. Tapi soal 'pemerataan' ini bisa panjang jalannya, mengingat pemasang iklan -- supaya lebih efisien -- harus memilih jumlah dan jenis pembaca suatu media. Apa Itu Partisipasi Perusahaan-perusahaan kita umumnya memerlukan terapi. Setidaknya begitulah Mulyono Gandadiputra melihatnya. Pengasuh ruang "psikologi untuk anda" di TVRI itu pekan lalu memperoleh gelar doktor dalam ilmu psikologi dari Universitas Indonesia dengan yudisium "sangat memuaskan". Kalau begitu apa penyakit yang dideritanya? Menterjemahkan disertasinya yang lebih 300 halaman tentang masalah hubungan atasan-bawahan dalam berbagai organisasi di Indonesia itu ke dalam bahasa awam, Dr Mulyono, 45 tahun, yang kelahiran Majalengka itu mengatakan: "Kita biasanya bersikap mengharapkan orang lain itu ngerti sendiri." Sebagai psikolog, tentu saja ia melihat persoalannya dari segi faktor manusianya. Namun menurut pendapatnya asumsi "ngerti sendiri" antara atasan dan bawahan itu tak urung bisa menjadi salah satu penghalang utama bagi kelancaran jalannya organisasi. Misalnya atasan mengeluh bahwa bawahannya kurang inisiatip. Sebaliknya bawahan biasanya menganggap bahwa atasanlah yang tidak mendorong adanya inisiatip itu. "Dulu saya juga mengambil inisiatip tapi malahan disalahkan. Kalau saya bertanya, dijawab 'kamu kan sarjana ekonomi, masa begitu saja tanya'." Jawaban begitu, menurut Dr. Mulyono sudah biasa. Sikap yang begini ini dianggapnya.tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga Indonesia yang "tidak zakelijk". Lingkungan keluarga Indonesia pada umumnya tidak menumbuhkan inisiatip pada anak, sedang orang tua sukar menerima dialog terbuka secara terlepas dari soal hormat atau tidak hormatnya anak kepada orang tua. "Nah, sikap yang begini ini lalu kita bawa-bawa ke dalam perusahaan," katanya. "Karena itu kita memerlukan latihan mengatasi hambatan demikian ini dan pola yang konsisten dalam perusahaan mengenai apa yang dibenarkan dan apa yang tidak. Orang tua perlu mengembangkan kemampuan anak dalam mengambil keputusan dan mencetuskan pendapat sesuai dengan taraf pertumbuhannya." Guna menyiapkan disertasinya, Dr Mulyono menggunakan hasil pengalamannya dan penelitian atas sample dari berbagai organisasi, juga di bidang bisnis seperti impor, hotel, dan bank. Responden diperolehnya dari 135 atasan dan dari 345 golongan bawahan. Pengolahan data dikerjakan di Universitas Nijmegen, Negeri Belanda, dan memakan waktu dua tahun. Antara lain kesimpulannya:  Bila makin luas dan dalam pengetahuan serta penghayatan bawahan mengenai peranan dirinya dalam organisasi di mana ia bekerja, makin besar pula kemungkinan ia aktif berpartisipasi.  Karyawan akan melihat bahwa sistim pengelolaan partisipatif itu diamalkan dalam lingkungan organisasinya, apabila ia percaya bahwa para pemimpin unit kerja pada umumnya melaksanakan asas-asas pengelolaan partisipatif.  Kesetiaan dan rasa keterlibatan serta tanggungjawab bawahan untuk mencapai tujuan organisasi dapat ditingkatkan apabila ia melihat dan percaya bahwa atasan berbuat sejalan dengan tuJuan itu.  Partisipasi bawahan dalam suatu keputusan sebaiknya dimulai sebelum keputusan diambil dan tidak sesudah diputuskan sendiri oleh atasan.  Adanya hubungan pribadi yang baik antara bawahan dan atasan tidak menjamin adanya partisipasi aktif dari pihak bawahan dalam proses pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang bertalian dengan pekerjaan sehari-hari.  Penggunaan kata 'sikon' (situasi dan kondisi) tanpa kekhususan makna hanya menunjukkan ketidak beranian, kemalasan dan pelarian orang dari persoalan yang seharusnya dihadapi dan diatasi.  Pendidikan kewiraswastaan tidak akan cepat mencapai hasil seperti yang diharapkan apabila peserta hanya memperoleh kuliah teori dalam kelas. Begini Atau Begitu Lalu bagaimana sebaiknya menyambung putus-hubungan itu kalau sudah ada? "Client-centered therapy," jawab Dr Mulyono. Apa pula itu "Saya tidak pernah memberikan nasehat pada klien, harus begini atau begitu," katanya. Dia juga pemimpin biro konsultan Mulyono & Associates. "Saya hanya menciptakan situasi di mana yang mengeluh itu bisa menemukan insigbt (pengertian) sendiri mengenai permasalahannya. Yang saya cari persamaannya. Kalau misalnya atasan menghendaki bawahan mempunyai inisiatip sedangkan yang bawahan juga menghendaki demikian, lalu mengapa ini tidak tercapai." Apakah nasehat yang bukan nasehat ini manjur Jawabnya mungkin tersimpan di ruang kerjanya di Jalan Prof. Moh. Yamin no. 49, Jakarta Pusat, yang memuat berderet berkas data perusahaan-perusahaan terkemuka di Jakarta dan tempat lain. Bahkan ada perusahaan-perusahaan dari Hongkong. "Ini baru sebagian kecil. Yang lain ada di kantor lain," katanya lagi. Biro konsultannya berdiri sejak 1962. Tapi apa yang mula-mula mendorongnya menulis disertasi justru tentang masalah atasan-bawahan. ini? "Pertama, karena tampak sekarang ini orang banyak ngomong tentang partisipasi dan komunikasi dua arah. Tapi kalau ditanya apa yang dimaksud, paling-paling jawabnya 'Ah, masa begitu saja perlu ditanya'. Kedua, karena ini suatu gejala yang kurang memuaskan bagi saya. Kelihatannya mudah, tapi tidak gampang ditentukan." Untuk menyebar pengertian yang lebih baik mengenai persoalan yang menyangkut bidangnya, psikolog yang sudah sibuk dengan bisnis ini masih juga sempat memberi kuliah dan bergiat dalam Yayasan Bina Psikologi yang diketuainya. Ikut pula dia menerbitkan majalah psikologi populer Anda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus