P&T Lands, perkebunan karet dan teh milik Inggeris di Subang,
Jawa Barat, sudah lama diambil-alih sebagai akibat politik
konfrontasi di zaman Orde Lama. Sejak itu namanya sudah 4 kali
berobah, terakhir sampai sekarang disebut PTP XXX. Kondisinya
juga berobah sekali, tapi dalam keadaan merana. Dari sejumlah 30
perkebunan milik negara, PTP 'XXX ini jelas termasuk yang tidak
sebat. Helman Eidy dari TEMPO baru-baru ini pergi ke sana dan
melaporkan:
Para karyawannya kelihatan murung. Direksinya selalu terlambat
membayar gaji. Pada akhir Agustus, umpamanya, hanya gaji untuk 3
bulan sebelumnya yang dibayarkan.
"Tiap tahun perusahaan ini terus-terusan rugi," direktur
Muhammad Marcell menjelaskan. "Kini kerugian itu mencapai Rp 1,2
milyar." Marcell dan para anggota pimpinan lainnya berkantor di
Bandung, tapi mereka. kini bersiap-siap untuk kembali ke Subang.
P&T (Pamanukan & Tjiasem) Lands sebelum diambil-alih memiliki
areal perkebunan seluas 23.000 hektar, di antaranya 15.000
hektar tanaman karet. Pohon karetnya sudah tua-tua, sedang
peremajaannya selama di tangan negara tidak dilakukan. Maka kini
tanaman karetnya tinggal 4000 hektar saja yang masih
menghasilkan. Adalah tanaman teh (2000 hektar) dari peninggalan
P8T Lands yang masih menggembirakannya.
Pernah PTP XXX mencoba memanfaatkan sebagian arealnya -- 5500
hektar -- dengan membawa PTP XVII dari Jawa Tengah untuk
sama-sama menanam rosella. Untuk itu, banyak pohon karetnya
harus ditebang. Perjanjian kerja mereka semustinya berlangsung
selama 5 musim tanam, tapi PTP XVII angkat kaki sesudah 2 musim
saja. PTP XXX rupanya tidak mampu mengerjakan kebun rosella itu
sendiri.
Kemampuannya terbatas sekali antara lain karena kekurangan modal
kerja. Entah kenapa PTP XXX ini kurang dipupuk oleh bank milik
pemerintah, sedang banyak PTP lainnya gampang memperoleh kredit.
Sebagian pendapatannya berasal dari sewa tanah dan gedung,
umpamanya, yang dipakai untuk kantor Kodim dan rumah Dan Dim
Subang. Tapi tidak semua bekas harta P&T Lands bisa
menghasilkan uang baginya. Antara lain gedung yang dipakai Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), Jalan Cut Muthia 7, Jakarta.
"Kalau sewanya diperoleh dari BKPM," kata Marcell, "peremajaan
tanaman bisa bertambah."
Marcell menunjuk pula pada 10.000 hektar kebun teh, milik PTP
XXX, yang dikerjakan oleh PT Pagelaran, Tegal (Ja-Teng). Tadinya
kebun itu dipinjamkan untuk areal survey Universitas Gajah Mada.
Setelah dipakai UGM, katanya, tanah seluas itu tidak
dikembalikan pada pemiliknya, sedang PTP XXX tidak mendapat
apa-apa dari PT Pagelaran.
Ada pula lapangan golf (9 holes), peninggalan P&T Lands, yang
menghasilkan uang. Dikelola oleh Persatuan Golf Subang, lapangan
itu ternyata sudah tidak dikuasai oleh PTP XXX walaupun
karyawannya, jika mau, boleh main di situ.
Karyawannya kini berjumlah 9000, turun dari 23.000 ketika
perkebunan itu masih di tangan P&T Lands. Ada karyawan yang
menarik diri saja karena tak tahan dengan keadaan morat-marit di
PTP XXX. Ada pula yang memang diberhentikan (tentu dengan
sedikit pesangon) karena pekerjaan berkurang.
Pimpinannya kini kelihatan mulai berusaha memperbaiki
perusahaan. Dari pemerintah sedang ditunggunya injeksi dana Rp
1,8 milyar. Disiplin kerja pun mulai ditegakkan dengan
mewajibkan tiap pegawai mengisi daftar hadir. Beberapa staf
pimpinannya sudah dirumahkan.
Tadinya, gaya hidup kalangan atasnya mengagumkan. Mobil dinas
tetap diganti dengan yang baru walaupun keuangan perusahaan
menyedihkan. Mereka mengadakan arisan bulanan dengan hadiah
kendaraan Colt untuk tiap tarikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini