RUANG Pameran TIM (20 - 24 September) memang agak lain. Dengan
memanfaatkan panil-panil, dengan menambahkan batu-batu ventilasi
yang disusun dan dihias dengan karangan bunga, suasana memang
seperti pesta. Atau, seperti yang dikatakan seorang anak
sekolah: "Kok, seperti jualan bunga!"
Tapi itu memang menolong. Delapan puluh karya hitam putih dan
berukuran nyaris sama itu, jadi terasa tidak dipaksa hadir.
Semuanya saja menghias Ruang Pameran dengan pas.
Lalu ada juga beberapa tulisan dari kalangan seni rupa yang
cukup terpandang ikut menghias. Antara lain dari Baharuddin MS,
Popo Iskandar, Kusnadi, Muryoto, Agus (rencananya tulisan
tersebut masuk dalam katalogus). Yang agak janggal mungkin
hadirnya satu puisi Sapardi Djoko Damono, yang dicomot dari
kumpulan sajaknya Akwarium . Soalnya meski sajak tersebut
menyinggung atau bicara tentang lukisan, jelas bukan tentang
lukisan Adi.
Adapun tulisan-tulisan itu -- kebetulan saya diminta mengoreksi
oleh Adi-sebenarnya tak ada yang langsung membicarakan karya
Adi. Kecuali tulisan Muryoto -- yang dengan telak menyatakan
lukisan-lukisan ini tak bermutu. Hanya "sentimentil dan
romantis" saja, apalagi kalau dikaitkan dengan juduljudul yang
diberikan pelukisnya tulis Muryoto.
Dengan karya-karya yang hampir semuanya non-figuratif, memang
tak menjadi janggal judul apa pun yang dicantumkan -- apakah
Sebuab Daftar Keprihatinan Rakyat yang Panjang atau sebuah
daftar kekayaan pejabat, orang tak ambil pusing. Setelah sekian
lama lukisan non-figuratif dipamerkan di berbagai tempat,
tentulah tak lagi begitu menarik perhatian apalagi untuk
dikatakan baru.
Jadi bisa dikatakan demikian. Pertama, segala embel-embel itu
hanya menjadi bedak yang mungkin menutup kekurangan yang ada.
Kedua, judul karyakarya hanya mencoba menarik perhatian kepada
sesuatu yang sesungguhnya tidak apa-apa.
Karya-karya itu sendiri lebih kurang merupakan satu komposisi
goresan lengkung, titik-titik, blok-blok dan di sanasini hiasan
kecil. Tidak istimewa, apalagi jika dibanding lukisan Danarto
atau Handogo -- dua orang pelukis Sanggar Bambu yang konon punya
pengaruh besar terhadap adik-adik di sanggar mereka, dulu. Dan
Adi, meski menyatakanbukan anggota Sanggar Bambu, tapi pernah
belajar di situ.
Bentuk-bentuk atau garis-garis klise itulah yang saya kira
mengurangi sekali nilai karyanya. Bukan terutama karena
mengingatkan pada Danarto atau Handogo, tapi karena kita tak
tahu mana yang punya Adi. Dan ini mengherankan siapa saja yang
pernah melihat lukisan Adi tahun 60-an. Dulu ia bisa segar. Bisa
spontan. Bisa puitis. Terkadang mengejutkan dengan komposisinya
yang tak terduga. Lihat misalnya koleksi Dirkes.
Mungkin karena dulu ia belum butuh menjadi penting. Belum butuh
mengemukakan persoalan besar, semacam "penderitaan rakyat".
Wajar saja: menyuguhkan satu karya piktorial yang apik, yang
mungkin pantas untuk menghias ruang. Kewajaran itulah yang
sekarang tak ada: baik dalam caranya berpameran maupun karyanya
sendiri.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini