Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah daftar apa

Pameran lukisan karya adi munardi di tim, jakarta, menyajikan karya-karya non-figuratif. karya-karyanya tidak seistimewa ketika tahun 60-an. (sr)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG Pameran TIM (20 - 24 September) memang agak lain. Dengan memanfaatkan panil-panil, dengan menambahkan batu-batu ventilasi yang disusun dan dihias dengan karangan bunga, suasana memang seperti pesta. Atau, seperti yang dikatakan seorang anak sekolah: "Kok, seperti jualan bunga!" Tapi itu memang menolong. Delapan puluh karya hitam putih dan berukuran nyaris sama itu, jadi terasa tidak dipaksa hadir. Semuanya saja menghias Ruang Pameran dengan pas. Lalu ada juga beberapa tulisan dari kalangan seni rupa yang cukup terpandang ikut menghias. Antara lain dari Baharuddin MS, Popo Iskandar, Kusnadi, Muryoto, Agus (rencananya tulisan tersebut masuk dalam katalogus). Yang agak janggal mungkin hadirnya satu puisi Sapardi Djoko Damono, yang dicomot dari kumpulan sajaknya Akwarium . Soalnya meski sajak tersebut menyinggung atau bicara tentang lukisan, jelas bukan tentang lukisan Adi. Adapun tulisan-tulisan itu -- kebetulan saya diminta mengoreksi oleh Adi-sebenarnya tak ada yang langsung membicarakan karya Adi. Kecuali tulisan Muryoto -- yang dengan telak menyatakan lukisan-lukisan ini tak bermutu. Hanya "sentimentil dan romantis" saja, apalagi kalau dikaitkan dengan juduljudul yang diberikan pelukisnya tulis Muryoto. Dengan karya-karya yang hampir semuanya non-figuratif, memang tak menjadi janggal judul apa pun yang dicantumkan -- apakah Sebuab Daftar Keprihatinan Rakyat yang Panjang atau sebuah daftar kekayaan pejabat, orang tak ambil pusing. Setelah sekian lama lukisan non-figuratif dipamerkan di berbagai tempat, tentulah tak lagi begitu menarik perhatian apalagi untuk dikatakan baru. Jadi bisa dikatakan demikian. Pertama, segala embel-embel itu hanya menjadi bedak yang mungkin menutup kekurangan yang ada. Kedua, judul karyakarya hanya mencoba menarik perhatian kepada sesuatu yang sesungguhnya tidak apa-apa. Karya-karya itu sendiri lebih kurang merupakan satu komposisi goresan lengkung, titik-titik, blok-blok dan di sanasini hiasan kecil. Tidak istimewa, apalagi jika dibanding lukisan Danarto atau Handogo -- dua orang pelukis Sanggar Bambu yang konon punya pengaruh besar terhadap adik-adik di sanggar mereka, dulu. Dan Adi, meski menyatakanbukan anggota Sanggar Bambu, tapi pernah belajar di situ. Bentuk-bentuk atau garis-garis klise itulah yang saya kira mengurangi sekali nilai karyanya. Bukan terutama karena mengingatkan pada Danarto atau Handogo, tapi karena kita tak tahu mana yang punya Adi. Dan ini mengherankan siapa saja yang pernah melihat lukisan Adi tahun 60-an. Dulu ia bisa segar. Bisa spontan. Bisa puitis. Terkadang mengejutkan dengan komposisinya yang tak terduga. Lihat misalnya koleksi Dirkes. Mungkin karena dulu ia belum butuh menjadi penting. Belum butuh mengemukakan persoalan besar, semacam "penderitaan rakyat". Wajar saja: menyuguhkan satu karya piktorial yang apik, yang mungkin pantas untuk menghias ruang. Kewajaran itulah yang sekarang tak ada: baik dalam caranya berpameran maupun karyanya sendiri. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus