DI antara orang yang mudik Lebaran pekan ini, tentu ada yang naik Bouraq. Jangan keliru. Yang dimaksud adalah pesawat terbang milik Bouraq Indonesia Airlines -- namanya barangkali diilhami oleh nama hewan yang membawa Nabi Muhammad saw ke surga. Jenjang sukses yang dicapai Bouraq menunjukkan bahwa nama ini bukan tidak ada tuahnya. Tapi, di samping itu, jelas banyak faktor lain yang memungkinkan Bouraq tetap mengangkasa, melebarkan sayap, dan mengembangkan usaha. Selama 20 tahun, Bouraq, yang adalah maskapai penerbangan milik keluarga J.A. Sumendap, terbukti cukup tangguh. "Pelayanan yang tetap 'akrab dan ramah' akan selalu menyertai penumpang pesawat Bouraq," kata bos J.A. Sumendap pada perayaan ulang tahun Bouraq, awal April lalu. Menurut Sumendap, usaha di bidang angkutan udara adalah bisnis berciri teknologi tinggi dan padat modal. "Manajemen harus siap menghadapi beraneka ragam masalah," katanya. Perusahaan itu didirikan Sumendap justru untuk menghadapi tantangan yang ditinggalkan Garuda sekitar 1969 di Kalimantan. Ketika itu, prasarana di pulau itu sangat buruk. Orang dari pelosok Kalimantan biasanya berjalan kaki mengikuti pipa-pipa minyak yang menghubungkan Kota Balikpapan dengan sumur-sumur minyak di pedalaman. Landasan udara masih menggunakan lempengan baja, itu pun sudah tertutup rumput: Tapi Sumendap, pengusaha asal Sulawesi Utara, justru melihat ada rupiah di belakang pipa-pipa minyak, landasan baja, dan rerumputan tadi. Setelah mengantungi izin usaha penerbangan, Sumendap lalu membeli tiga pesawat Dakota (DC-3) dari Philippines Airlines. Harganya US$ 50.000 per unit. Manakala Bouraq mulai beroperasi, jaringan penerbangannya dari Jakarta hanya menjangkau beberapa kota seperti Balik papan dan Banjarmasin. Kini Bouraq telah memiliki jaringan yang terbentang di Pulau Jawa, Bali, NTT, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. "Setelah memeras tenaga melalui berbagai kesulitan dan cobaan, usaha ini bukan saja dapat bertahan, melainkan juga bisa berkembang," kata Sumendap, yang tak menyembunyikan rasa bangganya. Armada Bouraq kini berjumlah 23 pesawat terdiri dari 16 pesawat BAe (British Aerospace) 748 dengan tempat duduk untuk 48 penumpang, 3 CN-212 berkapasitas 18 penumpang (buatan Casa-IPTN), dan 4 Vickers Viscount (VC-843) yang berkapasitas 70 penumpang. Bouraq pun sudah mempunyai dua anak perusahaan. Pada 1973 lahir PT Bali Air, yang bergerak di sektor penerbangan perintis dan pesawat carteran di Kalimantan. Kini Bali Air memiliki 3 pesawat Casa, 4 Britten Norman Trislander, dan 2 Britten Norman Islander. Anak Bouraq kedua adalah PT Bouraq Naltor, yang bergerak di sektor konstruksi. Perusahaan inilah yang telah memasang landasan pendaratan DC-9 Bandara Sam Ratulangi, Manado (1976), serta landasan pesawat jumbo jet B-747 di Bandara Ngurah Rai (Bali). Pelebaran armada Bouraq tidak berhenti di sini. Menurut Executive Vice President Bouraq, G.B. Rungkat, perusahaannya telah memesan 60 pesawat N 250 dari PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pesawat-pesawat berkapasitas 66 penumpang itu dibeli US$ 11 juta per unit, dan bisa diterima antara tahun 1995 dan 2005. Selain itu, Bouraq akan membeli beberapa pesawat lebih canggih. "Ada tiga pilihan, yakni Fokker F-100. BAe 146, dan Boeing 737 seri 500. Harganya US$ 25 juta sampai US$ 30 juta," kata Rungkat kepada TEMPO, pekan lalu. Pengembangan armada itu tentu harus ditunjang awak yang cukup. Celakanya, suplai pilot cuma disediakan oleh LPPU Curug, Tangerang. Karena itu, Bouraq tengah menjajaki pendirian lembaga pendidikan pilot. Sampai kini, sudah ada 11 pilot Bouraq yang dibajak. Padahal, kata Rungkat, penghasilan awak pesawat sudah diusahakan sesuai dengan standar yang berlaku. Untuk pilot muda, take home pay-nya per bulan sekitar Rp 2,5 juta, di luar bonus sekitar Rp 1,5 juta. Menurut Rungkat, untuk menciptakan pilot yang tangguh, diperlukan investasi cukup besar, minimal US$ 750.000. "Itu pun belum tentu berhasil," tambahnya. Tak heran jika belakangan ini orang cenderung membajak pilot yang sudah jadi. Tinggal comot dan risikonya kecil. Dari 1.120 karyawan Bouraq, kini ada 106 pilot dan 230 ahli mesin. Sewaktu Bouraq lahir, modal yang ditanamkan berjumlah US$ 250.000, semuanya merupakan equity milik keluarga Sumendap. Asetnya sekarang mencapai US$ 150 juta. Tapi, untuk bicara soal keuntungan, direksi Bouraq merasa belum waktunya. "Bila dipaksakan juga, kita akan bicara lingkaran setan," tutur Rungkat, yang didampingi Engineering Manager Kunkun Sadikin dan Planning & Research Manager Hendrik Leo Kawulusan. Masalahnya, tarif angkutan udara masih dikendalikan pemerintah dengan ketat. Tarif terendah yang direkomendasikan IATA (Asosiasi Biro Perjalanan Internasional) adalah US$ 18 sen. Tapi pemerintah menetapkan US$ 7,5 sen per km. Itulah yang menyebabkan Bouraq sulit bernapas. Ditilik dari biaya terbang, kondisi keuangan terasa lebih berat. Dalam lima tahun terakhir saja. Bouraq harus mengeluarkan US$ 195 juta untuk menutup biaya armada yang mencatat 217.471 jam terbang. Sementara itu, pendapatan Bouraq cuma US$ 150 juta. Jelas, defisit. Untunglah krediturnya, BNI, mau menjadwal pencicilan utang Bouraq sampai tiga kali. Namun, prospek bisnis angkutan udara tampaknya sangat bagus. Di tahun-tahun mendatang, peningkatan jumlah penumpang dalam negeri diperkirakan 5%. Apalagi jika maskapai swasta diizinkan membuka jalur ke luar negeri. MW, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini