Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dua pemasok buat singapura

Singapura berniat membeli air dari Indonesia. Pulau Burung, Riau, terpilih sebagai sumber pemasokan air. Masalah teknis pengiriman belum dibahas secara positif. Keperluan air Singapura terus bertambah.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA PM Singapura Lee Kuan Yew mengunjungi Presiden Soeharto, awal Oktober lalu, banyak orang mengira bahwa yang dibicarakan hanya masalah investasi di Pulau Batam. Padahal, di balik itu, ada topik pembicaraan lain yang tak kalah penting, yakni soal air. Tepatnya, Pemerintah Singapura saat itu menyatakan keinginannya untuk membeli air dari Indonesia. Oho, gagasan itu sungguh di luar dugaan. Maklum, Singapura bukanlah padang pasir yang kering. Di setiap rumah dan kamar hotel di Negara Pulau itu, air jernih yang layak minum bisa mengucur deras. Tinggal memutar keran. Tapi volume air yang dibutuhkan oleh sektor industri dan penduduk Singapura semakin lama semakin banyak. Bahkan, pada tahun 2010 nanti, kebutuhan air diduga akan membengkak menjadi 350 juta galon per hari. Air sebanyak itu rupanya tak semua bisa disuplai oleh tetangga terdekatnya, Malaysia. Pemasok yang selama ini memonopoli pasar air Singapura itu hanya mampu mengalirkan air 250 juta galon per hari. Nah, di situlah duduk masalahnya. Pemerintah Singapura, kabarnya, pernah mengajukan permohonan tambahan air, tapi hingga kini belum ada jawaban dari Malaysia. Entah kenapa. Sementara itu, ada selentingan dari Kuala Lumpur, bahwa sama sekali tak sulit bagi Malaysia untuk memasok 350 juta galon air per hari. Karena itu pula PM Mahathir Mohammad sudah mengisyaratkan agar Singapura tak perlu repot mencari pasokan air dari negara lain. Mana yang benar? Sebegitu jauh, belumlah jelas. Namun, gagasan yang dicetuskan PM Lee tidak dibenamkan ke dalam laci. Pada 9 April lalu, tiga pejabat tinggi Singapura datang untuk membicarakan kelanjutannya. Mereka berkunjung ke Provinsi Riau, khusus menjajaki kemungkinan mengimpor air dari Indonesia. Mereka adalah Menteri Kesehatan, Menteri Perburuhan, dan Asisten Menlu Singapura. Didampingi oleh Menteri Muda Perindustrian T. Ariwibowo, para pejabat Singapura itu meninjau dua lokasi sumber air di Pulau Bintan Utara, dan Pulau Burung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. "Ini peristiwa tidak biasa, yang sangat menggembirakan," kata Rustam S. Abrus, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Riau. Dan tampaknya pilihan akan jatuh ke sumber air di Pulau Burung. Memang, air yang berasal dari lahan bergambut di pulau itu warnanya cokelat dan rasanya payau. Tapi, setelah diproses secara kimia, ternyata bisa sebening air pegunungan. Dan rasa payaunya hilang. Karena itu pula, meski jarak dari Burung ke Singapura sejauh 150 km -- bandingkan jarak Bintan Utara dengan Singapura yang hanya 60 km -- Negeri Pulau itu lebih suka memilih yang pertama. Terutama karena deposit air di Burung lebih banyak. Maklum, di daratan Riau (termasuk Burung) ada dua juta hektare tanah bergambut, yang setiap satu meter kubik lahannya bisa menghasilkan empat meter kubik air. Sedang Bintan Utara, setiap harinya, hanya mampu menyediakan satu juta galon air. Kalau kedua pihak sepakat, maka tinggal masalah teknis. Dengan cara apa air itu bisa sampai ke Singapura? Melalui pipa sepanjang 150 kilometer atau diangkut dengan kapal tanker? Perundingan rupanya belum sampai sejauh itu. Lagi pula, ada hal-hal lain yang sampai saat ini masih belum positif benar. Misalnya saja: bagaimana cara menyedot air yang efektif dari tanah bergambut? Berapa pula harga jual yang akan dikutip dari Singapura? Dan apakah Indonesia punya cukup tenaga ahli untuk menjaga kualitas air yang diminta Singapura? Konsumen air di negeri ini sebegitu jauh bisa saja dikecewakan oleh pelayanan PAM. Tapi konsumen Singapura itu tentu harus diperlakukan seperti raja. Nah, apakah Indonesia siap? Yang agak pasti ialah, bahwa bukan PAM, tapi pihak swastalah yang akan terjun ke bisnis air. Konon, peluang yang baik itu akan jatuh ke salah satu anak perusahaan Salim Group, sang raja konglomerat yang namanya tak asing lagi buat kalangan bisnis di Singapura. BK, dan Affan Bey Hutasuhut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus