PARA pialang kebat-kebit menunggu 1 Mei, saat peraturan baru yang mengatur perdagangan di bursa mulai berlaku. Ada yang istimewa, memang. Kalau tidak, aliran darah mereka tak akan membuncah seperti itu. "Jangan-jangan, peraturan baru itu memerlukan masa transisi yang terlalu lama," tutur seorang pialang. Yang dicemaskannya adalah tata niaga baru yang akan dikeluarkan oleh Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) Marzuki Usman. Peraturan itu membuat pasar terpisah menjadi tiga (TEMPO, 21 April 1990). Untuk yang pertama, pasar block sale yang khusus menangani transaksi di atas 10 ribu saham, tidak ada soal. Demikian juga dengan yang kedua, pasar recehan atau odd lot tempat memperdagangkan saham berjumlah di bawah 500. Di sini pun tak ada yang rumit. Para pialang justru memikirkan pasar reguler. Di sini, saham yang diperdagangkan harus dalam standard lot yang besarnya ditentukan dari 500 sampai 10.000 saham. Pasar reguler ini paling penting karena di sinilah perdagangan berlangsung lewat tawar-menawar di lantai bursa. Harga yang muncul di sini akan menjadi patokan untuk dua pasar yang lain. Persoalannya, saham yang diperdagangkan itu harus ditukar dahulu menjadi pecahan atau denominasi lima ratusan. Untuk mengubah pecahan saham seperti itu, tentu perlu tempo. "Sekarang ini hampir 80% saham yang beredar pecah ke dalam denominasi seratusan," kata seorang pialang yang lain. Dan ini memang mencerminkan peraturan lama yang, demi pemerataan, membolehkan investor membeli saham kecil-kecilan. Jika benar saham harus membulat ke pecahan 500-an, perdagangan regulerlah yang nanti akan repot. Soalnya, saham yang diperdagangkan akan berkurang jumlahnya. Dan bisa jadi, masa transisi ini akan memakan waktu sekitar enam bulan. Itu sebabnya, Sabtu pekan lalu, hampir semua pialang berkumpul di lantai 21 gedung Danareksa. Mereka berembuk, dan akhirnya sepakat, untuk melaksanakan peraturan baru itu tanpa kompromi. "Kalau tidak, peraturan baru itu tak ada gunanya. Kapan kita bisa punya peraturan yang benar," kata Ketua Ikatan Pialang Efek Jakarta alias Broker's Club, San Permana. Buat pialang, situasi sekarang ini memang ibarat buah simalakama. Jika peraturan baru itu tidak diundangkan, bisa jadi keadaan akan semakin runyam. Selain penyelesaian transaksi yang lama -- kadang seorang pemodal harus menunggu berminggu-minggu untuk menerima hasi penjualan sahamnya -- lalu lintas transaksi yang cepat membuat saham yang beredar hampir tak diketahui lagi ke mana larinya. Bayangkan! Belum lagi satu saham diselesaikan proses transaksinya, saham itu sudah harus diperdagangkan lagi. Lewat peraturan baru itu, diharapkan lalu lintas saham bisa lebih cepat. Bahkan salah satu pasalnya tegas menyebutkan penyelesaian transaksi -- termasuk pembayaran dan penyerahan surat saham -- harus sudah dilaksanakan paling tidak empat hari sesudah tanggal terjadinya transaksi. Demi kelancaran itu pula, Marzuki Usman mengeluarkan peraturan baru. "Kalau dibiarkan bisa-bisa nanti malah pasarnya collapse ambruk," katanya. Di pihak lain, ia tak khawatir transaksi di perdagangan reguler akan tersumbat. "Yang pecahan seratusannya banyak itu kan saham-saham baru," katanya beralasan. Dalam perkiraan Marzuki, pada saham lama justru pecahan besar-besar yang lebih banyak beredar. Kalau dikaji lagi, sistem perdagangan baru itu sebenarnya bisa menjadi ladang baru buat pialang. Mereka boleh mengajukan permintaan untuk menjadi odd lot dealer. Jika permohonan diterima, satu pialang akan ditugasi menjadi dealer untuk beberapa jenis saham. Dan merekalah yang berkewajiban mengubah pecahan seratusan menjadi lima ratusan. Prosesnya? Investor yang punya saham recehan bisa menjual ke pialang seperti biasa. Lalu pialang menjual ke dealer saham tadi. "Para dealer harus membelinya," kata Marzuki. Merekalah yang nantinya memperdagangkan saham itu ke perdagangan reguler, setelah pecahannya diubah menjadi lima ratusan. Karena harga di pasar recehan ini boleh berfluktuasi dua persen di atas atau di bawah harga reguler, diharapkan para dealer bisa mengambil untung dari sini. "Dua persen kan cukup adil," kata Marzuki. Tentu saja tak cuma dealer yang bisa mengubah pecahan saham itu. Pemodal yang memiliki lima lembar surat saham dengan pecahan seratusan bisa saja langsung datang ke perusahaan yang menerbitkan saham itu, untuk mengubahnya menjadi lima ratusan. Jelas ada biaya. "Tapi tak mahal, boleh dibilang tak ada artinya," tutur Marzuki. Sementara itu, muncul beberapa saran baru. Misalnya dari Direktur Pelaksana PT Multicor, M. Hasan. "Lebih baik untuk saham baru nanti penjatahan paling sedikit ditetapkan 500 saham." Alasannya, penetapan jumlah minimum 100 saham itu sudah berlaku sejak 1977. Selama tiga belas tahun, dalam perhitungan Hasan, taraf kemakmuran tentu sudah meningkat. "Mereka yang biasa ikut beli 100-an itu sepertinya mampu membeli 500 saham, kok," kata Hasan yakin. Buat Bapepam, ternyata usul itu kurang menarik. "Kan sudah ada pasar odd lot jadi biarkanlah mereka bermain di sana," ujar Marzuki. Ini repotnya. Sebagian besar pelaku bursa sudah lama direpotkan mengurus pemodal kecil itu. Tapi untuk mempertahankan citra pasar modal sebagai alat pemerataan, mau tak mau pemodal teri itu harus diladeni. Sebegitu jauh, peraturan baru itu belum berdampak pada pasar. Jumat pekan lalu transaksi masih kencang. Dalam satu session saja, hari itu tercatat transaksi Rp 58,253 milyar lebih, untuk 4,5 juta saham. Di pasar perdana pun, kehangatan sangat terasa. Gadjah Tunggal, misalnya, memperoleh pesanan 803,5 juta saham, padahal yang ditawarkan hanya 20 juta saham. "Cukup mengejutkan juga," kata direkturnya, T.W. Sendra. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini