Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bankir Terbesar Itu Harus Pergi

Menko Ekuin JB Sumarlin melantik Aloysius Kukuh Basuki mengganti Somala Wiria, 57, sebagai dirut BNI. Dirut Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII) Mulyoto Djojomartono, 62, diganti Ridwan Prawiranata, 46.

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG kerja orang nomor satu di Bank BNI kini tidak lagi dipenuhi asap dan bau cerutu. Somala Wiria, si pecandu cerutu Montecresto, Jumat pekan silam resmi mendapat predikat bekas Direktur Utama BNI. Tapi pria bersosok tinggi ini juga yang mendapatkan jabatan tangan paling hangat dari Menteri Keuangan. "Wah, lihatlah. Ini adalah bankir terbesar kita," kata Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, seraya menyalami Somala Wiria, 57 tahun. Bankir terbesar ini tampak menarik napas panjang. Ia dinilai sukses memimpin BNI sejak 1978. Ia dipuji Menteri Keuangan terutama karena langkah-langkah modernisasi dan kekompakan manajemen BNI yang dibinanya. Sejak tiga tahun terakhir, BNI memang berbenah diri, menuju modernisasi. Somala pernah menyewa konsultan International Treasury Management Incorporation, AS, dan menyewa konsultan Booz Allen & Hamilton, untuk melakukan modernisasi secara komprehensif, baik dalam bentuk komputerisasi maupun mengelola sumber daya manusia di BNI. Hasilnya: para nasabah bisa menikmati proses pencairan cek hanya dalam satu menit. BNI pun sekarang, biasa memberikan penghargaan kepada karyawannya sesuai dengan prestasi. Hebatnya lagi, Somala Wiria sudah melakukan kaderisasi. Tak kurang dari 40 di antara 12.000 karyawan BNI yang kini tersebar di sekitar 270 caban itu telah memperoleh gelar M.B.A. dari universitas-universitas di AS. Warisannya terakhir: logo baru BNI yang mirip bank nelayan itu. Pada acara pelantikan dirut-dirut baru BNI, BEII, dan BRI Jumat lalu, Menteri Keuangan antara lain mengatakan bahwa bank-bank masih perlu meningkatkan efisiensi, terutama agar bisa menekan suku bunga pinjaman. "Pak Somala sudah melakukan modernisasi. Sekarang masanya kami menjalankan efisiensi," ujar juru bicara dari staf direksi BNI baru. BNI kini dipimpin Aloysius Kukuh Basuki, pria kelahiran Solo 1931. Tamat Banking Institute Tokyo (1956) dengan beasiswa dari pampasan perang, Kukuh merintis karier di BNI tahun 1957. Tahun 1961 ia diangkat menjadi kepala suatu bagian di BNI Singapura, setahun kemudian sudah menjadi Wakil Pimpinan Cabang di sana. Terakhir ia selama lima tahun menjabat sebagai Direktur Bidang Pengawasan, sebelum dikukuhkan sebagai Dirut Bank BNI. Dalam jabatannya yang terakhir ini, pria beristri wanita kelahiran Jepang ini dianggap pantas mengisi kursi yang ditinggalkan Somala. Beberapa bankir swasta melihat bahwa sejak deregulasi perbankan 1983, bank-bank pemerintah cenderung menjadi bank komersial. Fungsinya sebagai agen pembangunan seakan dinomor-duakan. "Yang menonjol sekarang bank-bank pemerintah cenderung mencari laba," kata Sekjen Perbanas Yusuf Wantah. Sesudah gebrakan Sumarlin, Juni 1986, dalam waktu tak terlalu lama, BNI memasang iklan besar untuk penawaran bunga deposito dengan bunga sampai 23% setahun. Ketika bank-bank swasta mulai memberikan bunga untuk giro, BNI pun bisik-bisik menawarkan bunga kepada para pembuka rekening giro. Akibatnya, "kini tak ada lagi sumber dana BNI yang tidak pakai biaya," kata seorang pejabat BNI. Direksi baru BNI menyangkal kalau bank itu kini cenderung mencari laba sebesarbesarnya. BNI masih mempertahakan misinya yang pertama sebagai agen pembangunan. Buktinya, BNI paling getol menghimpun dana, kendati harus membayar biaya mahal. BNI juga paling agresif memberikan kredit. Pada akhir tahun silam, BNI berhasil mengumpulkan dana Rp 8,3 trilyun dari masyarakat, atau sekitar 2,8 trilyun di atas kemampuan bank pemerintah terbesar kedua, Bank Bumi Daya. Kredit yang disalurkan BNI mencapai Rp 7,3 trilyun. Akibatnya, di pihak lain, BNI bukanlah bank pemerintah yang memetik laba paling besar. Apalagi menurut seorang pejabat BNI margin keuntungan yang diambil BNI hanya sekitar 1%. Hal itu tampak dari laba BNI akhir tahun silam, Rp 106,6 milyar -- angka ini masih di bawah Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII) dan Bank Bumi Daya (BBD). Tentang keharusan bank pemerintah berperan sebagai agen pembangunan agaknya ditanggapi lain oleh Mulyoto Djojomartono. Mulyoto, 62 tahun, pekan silam juga melepaskan jabatan direktur utama BEII tiga kali nonstop. Alumnus Nederlandse Economische Hogeschool seangkatan Menko Radius Prawiro itu pekan silam mengatakan bahwa bank-bank pemerintah juga ditugaskan untuk mencari laba. "Laba itu perlu untuk membantu APBN dan meningkatkan kesejahteraan karyawan," ujar Mulyoto setelah melepaskan Jabatan direktur utama BEII tiga kali itu. Apakah benar BEII kurang agresif mencari dana dan menyalurkan kredit? "Betul. Untuk apa mencari dana mahal jika tidak banyak permintaan," ujar Mulyoto. Menurut Mulyoto, BEII selama ini lebih aktif mencari pinjaman dari luar negeri yang lebih murah. Dana pihak ketiga yang dikumpulkan BEII berjumlah Rp 3,6 trilyun, hampir sama dengan jumlah yang dikumpulkan BRI. Pengganti Mulyoto adalah Iwan Ridwan Prawiranata (46 tahun). Sarjana ekonomi lulusan Universitas Padjadjaran (1966). Ayah seorang anak ini meniti kariernya di BEII sejak 1970. "Saya mulai dari bawah sebagai staf," ujar Iwan. Kamardy Arief adalah satu-satunya Dirut yang diperpanjang masa jabatannya pada pelantikan pekan silam. Pria kelahiran Muara Labuh 14 Agustus 1932 itu rupanya mendapatkan hadiah ulang tahun untuk sekali lagi menjabat Dirut BRI. Kamardy yang berpengalaman 23 tahun di BI -- 7 tahun sebagai direktur perkreditan agaknya dinilai berhasil memimpin BRI yang pernah diliputi berbagai kredit bank sentral yang macet. Sebaliknya, sejak dipimpin Kamardy, BRI berhasil menarik dana masyarakat pedesaan lewat program Simpanan Pedesaan (Simpedes). Kini Kamardy telah menyusun sebuah program baru lagi: kredit umum perkotaan (Kupeta). Kupeta ini, menurut Kamardy, untuk mengatasi bank-bank liar alias rentenir di kota-kota. Mudah-mudahan, ide baru ini juga akan menanggulangi praktek bank gelap seperti Yayasan Keluarga Adil Makmur yang dibuat Ongko Widjaya. M.W., Ahmadie Thaha, Bachtiar Abdullah, Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus