Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Melirik Potensi Swasta

BPP Teknologi & Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi mengadakan seminar. Menparpostel Soesilo Soedarman mengajak swasta kerja sama membangun sarana Telekomunikasi. Perum diganti Persero.

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOESILO Soedarman sedang melirik pundi-pundi swasta Paling tidak, kesan itulah yang tampil dalam seminar di Hotel Hilton, Jakarta, Rabu dan Kamis pekan lalu. Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh BPP Teknologi dan Apnatel (Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi) itu, Menparpostel mengemukakan rencana pengadaan 1,4 juta sambungan telepon baru pada Pelita V nanti. Pihak swasta diharapkan membantu pengadaan 800 ribu, "hanya kalau yang 600 ribu sudah di kantung saya," kata Pak Menteri setengah berkelakar. Pengadaan sambungan baru memang diperlukan, sebab dengan target 950 ribu SST (satuan sambungan telepon) pada akhir Pelita IV, maka kepadatan telepon di Indonesia mencapai 0,51 telepon untuk setiap 100 penduduk. lni pun masih paling rendah untuk kawasan Asia Tenggara. Dengan penambahan 1,4 juta SST itu, Pak Menteri berharap dapat mengerek angka kepadatan menjadi 1,16 alias lebih dari dua kali lipat. Tapi kalaupun upaya ini berhasil, bukan berarti peringkat Indonesia akan berubah. Lihat saja Muangthai, saingan terdekat yang tahun lalu sudah memiliki tingkat kepadatan 1,1. Singapura tak terkejar lagi, dengan mantap bertengger di angka 30. Adapun standar minimal yang ditetapkan badan telekomunikasi internasional (ITU) adalah 1,7, yang belum juga akan segera terjangkau oleh kita. Dan Perumtel bukannya diam-diam saja. Untuk Pelita III dan IV sebenarnya ditargetkan pemasangan 1.520.000 SST, namun kocek Perumtel, menurut Ir. Willy Munandir, cuma sanggup membiayai 616.000 SST. Biaya pengadaan satu SST di Indonesia sampai berdering adalah 2.000-2.500 dolar AS. Belum jelas benar apakah keterbatasan Perumtel itu ada pengaruhnya terhadap Willy Munandir, yang dibebastugaskan 11 Juli silam, lalu digantikan oleh Ir. Cacuk Sudaryanto. Yang pasti, dalam sidak di Semarang Sabtu lalu, Menparpostel menemukan 6.000 SST yang tidak dipasarkan, sementara daftar tunggu calon pelanggan ada 18.500 orang. Apa alasan Perumtel Semarang? Sederhana saja: tenaga yang ada tidak mencukupi untuk membuat 6.000 SST -- seperti yang diberitakan Kompas. Padahal, pekerjaan itu bisa diserahkan pada swasta, hingga tak perlu terbengkalai dan membuat Menteri berang. Sebenarnya, dewasa ini beberapa perusahaan raksasa di bidang telekomunikasi seperti Siemens, APT (AT & T and Phillips Telecommunications) dan Alcatel menawarkan kerja sama kepada Perumtel. Bahkan ketua Apnatel Drs. Suryadi berminat dalam pengadaan 80 ribu SST alias 10% dari yang ditawarkan. Bahwa ladang subur ini -- tahun 1987-1988 meraih laba Rp 800 milyar -- ditawarkan juga pada swasta, tak lain karena beberapa sebab. Dana Perumtel terbatas karena seretnya dana pemerintah, sementara valuta asing juga diperlukan. Terutama dalam pengadaan perangkat canggih seperti sentral telepon. Dari sekitar 3,5 milyar dolar yang dipcrlukan untuk pengadaan 1,4 juta SST, menurut Dirjen Moneter Oscar Surjaatmadja, M.Sc., komponen rupiahnya hanya sekitar 2,8 trilyun atau 48% saja. Kondisinya kian runyam karena pendapatan Perumtel hampir semua berupa rupiah, sementara pembangunan di sektor ini pasti memboroskan devisa. Padahal, seperti dikatakan Menparpostel, "Pak Harto sudah pesan agar tak menambah beban utang negara, dan mendahulukan produksi dalam negeri." Menghadapi dilema ini Perumtel terpaksa menggapai swasta. Sebuah surat pun dilayangkan Soesilo Soedarman kepada Kepala Negara, mohon izin memanfaatkan pihak swasta dalam pengadaan tambahan SST. Lampu hijau diberikan akhir Juni lalu, dengan lima persyaratan: kedaulatan pemerintah terjamin, kapasitas dalam negeri dimanfaatkan optimal, pemanfaatan modal luar negeri lebih besar dari dalam negeri, pendanaan tak memberatkan neraca pembayaran, dan mempergunakan teknologi canggih yang mengandung alih teknologi. Bagi swasta asing, hanya syarat pendanaan itu yang masih menjadi ganjalan. Pasalnya, agar anggaran negara tak terganggu, pendanaan harus dilakukan dengan pinjaman non-recourse alias tanpa jaminan pemerintah. Maka, pengembalian modal swasta hanya diandalkan pada pendapatan pulsa yang laku dijual. Ini berarti ada berbagai risiko, seperti tak lakunya pulsa ataupun devaluasi. Hambatan lain, menurut seorang konsultan, adalah bentuk hukum Perumtel sebagai perusahaan umum. Artinya, tak mungkin melakukan pinjaman non-recourse karena perusahaan umum berada di bawah jaminan pemerintah. Karena itu, seminar menyarankan agar Perumtel diubah menjadi Persero, bila ingin bekerja sama dengan swasta. Usul ini, menurut Dirjen Postel Ir Sukarno Abdulrachman, "prospeknya cukup ada." Maka, bila semua berjalan lancar, Perumtel mungkin akan menjadi PT dalam tahun ini juga. Bambang Harymurti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus