TAK selamanya pemerintah ingin mengendalikan perusahaan yang dimilikinya. Ada yang tampaknya masih perlu dibantu manajemennya, atau ditampung produksinya. Tapi ada pula yang sudah dipercayakan pada swasta, dan saham pemerintah di situ semakin ciut. Beberapa contoh terlihat pada perusahaan di bawah ini: PT Gaya Motor Perusahaan perakit kendaraan bermotor ini didirikan di Tanjung Priok 1942, semula memang milik perusahaan AS, General Motor Overseas Corporation. Perusahaan ini kena Indonesianisasi, 1955, dan diganti namanya menjadi PT Gaya Motor. Perusahaan, mula-mula, dikelola Bank Industri Negara (kini Bank Pembangunan Indonesia). Statusnya kemudian berubah menjadi perusahaan negara (PN), dengan pengelola yang bernaung di bawah Departemen Perindustrian (1961-1968). Hasil rakitannya, antara lain, mobil-mobil merk Toyota dan Chevrolet. Gaya Motor kemudian menjadi perusahaan patungan dengan Kelompok Astra, 1969. Saham 60% diberikan kepada Astra yang menanamkan modal Rp 300 juta, sedangkan pemerintah mempertahankan 40% saham, dengan menyertakan kekayaan tanah dan peralatan bernilai Rp 200 juta. Ternyata, perusahaan ini bisa berkembang dengan baik. Perusahaan patungan itu, di tahun pertama, baru merakit 1.163 unit mobil. Tahun lalu, Gaya Motor merakit 40.871 unit, yang terdiri dari kendaraan komersial Daihatsu (36.062), sedan-sedan Charade (2.458), Peugeot (1.077), Charmant (847), dan Renault (327). Karyawannya pun meningkat dari 300 orang menjadi 1.230. Kendati karyawan berstatus anggota korps pegawai negeri (Korpri), kebijaksanaan perusahaan, menurut direktur Gaya Motor Achmad Sajoeti, tak dicampuri langsung oleh pemerintah. Tahun-tahun lalu keuntungan meningkat, hanya tahun ini berkurang akibat resesi dan pukulan sistem perpajakan yang baru. Kendati perusahaan ini untung, saham pemerintah di Gaya Motor, menurut Sajoeti, kini tinggal 24%. PT Unindo Perusahaan perakit transformator tenaga dan distribusi listrik ini 44,43% milik pemerintah (PLN), 44,43% Alsthom Atlantique (Prancis), 5,57% PT Indokor Indonesia, dan 5,57% PT Bhumandala Agung. Sejak Unindo didirikan, 1971, PLN tak pernah menyuntikkan dana modal berbentuk uang, kecuali kekayaan berupa tanah. Namun, PLN juga merupakan penampung terbesar produk-produk Unindo. Dari 4.500 unit transformator buatan Unindo, misalnya 4.000 dibeli PLN rata-rata per tahun, 500 lagi masuk pasaran bebas. Manajer pemasaran Unindo, Rudi Loprang, mengakui bahwa produk Unindo masih kalah bersaing dengan buatan Korea, Jepang, Eropa, dan AS, hanya dalam soal harga. "Masalahnya, kami mempergunakan 90% bahan baku dalam negeri, dan mereka main banting harga," kata Rudi Loprang. Kalau dalam hal mutu, produk Unindo terjamin standar internasionalnya, karena ada pengawasan pihak asing dalam manajemen. Pengawasan pihak asing pula yang mampu mengefisienkan perusahaan itu, yang kini dikelola oleh beberapa tenaga profesional pensiunan PLN. "Dengan omset sekitar Rp 10 milyar, perusahaan sudah bisa untung," tutur Rudi. Resesi dan pengetatan anggaran pemerintah tak mempengaruhi Unindo. Program yang sedang digalakkan pemerintah, yakni listrik masuk desa, diharapkan akan meningkatkan omset Unindo sekitar 10%, tahun depan. Lagi pula, perusahaan telah berhasil mendesak Sekretariat Negara untuk mengharuskan perusahaan pemenang tender nasional membeli produk Unindo. Perum PPD Bisnis angkutan kota, terutama untuk Jakarta dan sekitarnya, tampaknya masih sulit untuk diserahkan pada swasta. Belasan perusahaan swasta telah gagal, 1982, sehingga dilebur ke Perum PPD (Perusahaan Umum Perusahaan Penumpang Djakarta). Tinggal PT Mayasari Bakti dan pengusaha bus mini yang bertahan. PPD sendiri, yang berdiri sejak 1930 dengan nama mula-mula Bataviasche Verkeers Maatschappij NV, sampai tahun lalu masih rugi operasi Rp 4 milyar. Seperti terungkap di DPR, perusahaan itu tahun lalu berpendapatan Rp 22 milyar, tapi biaya operasinya mencapai Rp 26 milyar. Namun, pemerintah tak lagi memberi subsidi operasi, tinggal penyertaan modal dalam peremajaan dan pengembangan armada. Direktur operasi PPD, Soedaryono, mengungkapkan bahwa pemerintah tentu akan terus mengawasi selama pelayanan umum perusahaan itu belum memenuhi harapan. Penyertaan modal juga akan dikembangkan pemerintah selama jumlah bus belum jenuh. Ia berpendapat bahwa tarif juga sudah perlu ditinjau sesuai dengan jarak, sedangkan awak bus justru kini berpendapat bahwa rute jarak jauh yang justru kini menguntungkan. Kunci keberhasilan PT Mayasari Bakti, menurut Direktur Utama H. Mahfud, memang pada paham kekeluargaan antara manajemen dan anak buah, selain pelayanan pada masyarakat. Max Wangkar Laporan biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini