Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kepada Swasta, Dengan Sebentang ...

Kampanye mendorong investasi swasta digalakkan untuk menutup lubang investasi pemerintah. Soal birokrasi dianggap ganjalan berat bagi swasta, swastanisasi & deregulasi untuk mengurangi beban APBN. (eb)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPANYE mendorong investasi swasta nasional masih belum berhenti dilancarkan. Ikhtiar membujuk mereka ini memang mulai terasa perlu dilakukan sesudah harga minyak bumi, pada Februari 1983, turun dari US$ 34jadi USS 29 per barel. Akibatnya, kemampuan pemerintah membiayai pembangunan jadi merosot - apalagi penurunan harga minyak itu masih berkelanjutan. Di seminar Investasi Kadin Indonesia di Jakarta, pekan ini, soal peranan investasi swasta nasional itu kembali disinggung Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas Dr. J.B. Sumarlin. Menurut Menteri, tahun fiskal ini, besarnya investasi pemerintah diperkirakan hanya akan Rp 10,6 trilyun, atau lebih rendah Rp 2,2 trilyun dari yang direncanakan dalam Repelita IV. Rendahnya rencana investasi itu berkaitan erat dengan tidak tercapainya penerimaan pemerintah nantinya. Karena alasan itu, Menteri Sumarlin mengatakan, investasi masyarakat harus berada di atas rencana Rp 10,7 trilyun. Di depan forum para pengusaha itu dia mengingatkan bahwa selama Repelita IV (1984-1989) "Laju penanaman modal pemerintah tak akan secepat swasta." Selama kurun waktu lima tahun itu, rencana investasi pemerintah, yang Rp 78,6 trilyun, besar kemungkinan sulit direalisasikan. Investasi dari masyarakat (swasta nasional, asing, dan perusahaan negara) yang disasarkan Rp 66,6 triIyun sekarang jadi taruhan. Bisakah sasaran sebesar itu dicapai? Soal dana tampaknya bukan merupakan persoalan berat bagi sejumlah swasta nasional. Yang mereka risaukan adalah soal perizinan. Puluhan izin usaha dari pelbagai instansi pemerintah harus dikantungi terlebih dulu oleh seorang calon penanam modal untuk bisa memulai usahanya. Izin, yang semula dimaksudkan sebagai alat pengendali, telah berkembang menjadi semacam kekuasaan, yang sering berarti sumber penghasilan tambahan bagi pemberi izin. Bayangkan saja, untuk bisa menangkapikan di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), pengusaha asing diharuskan memiliki 38 izin. Empat di antara izin itu harus datang dari Departemen Pertanian. Sisanya berasal dari Ditjen Perhubungan Laut, Departemen Perindustrian, dan Hankam. Secara terbuka, Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan Prof. J.H. Hutasoit menganggap banyaknya izin itu, "Kurang memberi gairah pada pengusaha asing." Di pihak lain, pemerintah daerah tempo-tempo merasa perlu juga mengharuskan suatu usaha mempunyai izin tertentu jika beroperasi di wilayahnya. Banyaknya bentuk perizinan itu oleh seorang pejabat pemerintah dinilai sudah "bertebaran, tanpa sistem, dan tidak terkendali hingga justru sering menjadi hambatan bagi kegairahan dunia usaha". Makin banyaknya izin itu, menurut Dr. S.B. Joedono, karena pemerintah cenderung tidak mempercayai dunia usaha. Karena itu, kata Billy Joedono dalam seminar tahun 1985 FE UI, izin hakikatnya bersifat sebagai alat pengendali secara langsung - seperti lisensi, kuota, dan tarif. Izin juga bisa dijadikan sumber pendapatan dengan membatasi jangka waktu berlakunya, yang untuk periode tertentu perlu dimintakan perpanjangannya. Bagi swasta akibatnya cukup pahit. Selain menyebabkan ketidakpastian, soal perizinan itu bisa menimbulkan prosedur yang berbelit-belit, dan memakan banyak ongkos. Billy akhirnya menganjurkan agar perizinan dibatasi pada yang benar-benar diperlukan. Masa berlaku perizinan juga perlu diperpanjang. Kepada TEMPO, Menteri Perindustrian Hartarto menyebut perlunya jumlah izin dikurangi pula. Kelengkapan perizinan nanti akan lebih sederhana, dan pengusaha tidak perlu capek-capek minta perpanjangan izin usaha. "Tapi, kalau mati harus lapor, begitu juga kalau produksi dan penjualannya sudah berhenti," katanya. Pendeknya, memasuki masa pascaminyak ini, pemerintah hanya ingin berdiri di belakang swasta. Kesempatan berusaha, seperti dibuktikan dengan masuknya swasta ke pabrik baja lembaran tipis di Cilegon, diberikan seluas-luasnya pada swasta. Kabarnya, sejumlah proyek petrokimia yang terkena penundaan tempo hari juga akan diserahkan pada swasta. Menteri Tenaga Kerja Sodomo tampak sangat setuju jika pemerintah tidak mencampuri sektor-sektor usaha yang bisa dikembangkan pihak swasta. Dengan begitu, katanya ketika meresmikan sebuah usaha budi daya udang di Manado, perusahaan bisa berkembang. Pemerintah di situ sifatnya hanya membantu, dan tidak mengganggu dengan pungutan liar. Swastanisasi mungkin diperlukan untuk sejumlah sektor industri. Dengan deregulasi pelayanan jasa telekomunikasi yang kini dimonopoli Perumtel, misalnya, mungkin akan lebih baik dan murah jika swasta diperbolehkan masuk. Tapi swasta mana yang akan mampu? Pengalaman manajerial swasta lokal mengelola bidang seperti itu diduga masih langka. Jika proyek semacam itu hanya dibiayai sejumlah swasta kuat, sejumlah pengamat menilai hal itu malah akan mendorong munculnya konglomerasi. Mengundang masuk modal dari luar atau mencari bantuan lunak merupakan pilihan lain bagi swasta yang terbatas dananya. Bagi pemerintah, menswastakan sejumlah usahanya, ataupun menjual sebagian saham perusahaannya, perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap APBN. Bayangkan, untuk kepentingan 222 BUMN, pemerintah setiap tahun anggaran harus menyediakan dana APBN ratusan milyar -baik dalam bentuk penyertaan modal pemerintah (PMP) maupun subsidi. Tahun anggaran 1983-1984 saja, PMP di sejumlah BUMN mencapai hampir Rp 592 milyar. Dana yang dikeluarkan dari APBN ini jumlahnya hampir dua kali lipat daripada pajak yang disetorkan semua BUMN pada tahun fiskal tersebut. Selain menyedot banyak dana APBN, BUMN ternyata juga rakus melalap dana perbankan lokal. Pada tahun fiskal 1984-1985 baru-baru ini, dari kebutuhan investasi yang diperkirakan Rp 1.379 milyar, sekitar Rp 688 milyar dipenuhi oleh perbankan lokal. Bunga dan syarat peminjamannya murah dan mudah. Dengan swastanisasi dan deregulasi, boleh jadi, banyak dana APBN nantinya bisa dihemat. Banyaknya pemakaian dana perbankan mungkin juga akan lebih terarah dan efisien. Tentu saja, karena alasan tertentu, tidak semua sektor usaha bisa diswastakan - misalnya pembuatan amunisi dan senjata. Mungkin hanya karena pemahaman masyarakat akan soal efisiensi belum benar, Poll TEMPO 1985 masih menginginkan pelayanan jasa penerbangan, kereta api, telekomunikasi dan televisi, misalnya, dilakukan pemerintah. (Hasil Poll selengkapnya, lihat Nasional). Tak jelas mengapa 1.000 responden yang ditanya memberikan jawaban demikian. Mungkin mereka mengira, segala sesuatu yang diselenggarakan pemerintah adalah murah dan meriah, meskipun tidak selalu baik dan memuaskan. Mereka tampaknya lupa untuk menyelenggarakan layanan yang murah itu, subsidi pemerintah lewat APBN (untuk BBM), cukup besar. Di tengah suasana kampanye mendorong swasta itu, sebuah perkembangan menarik terjadi Juli lalu: pemerintah mengambil alih 35% (membeli Rp 364 milyar) saham Indocement. Yang terjadi di situ jelas bukan swastanisasi ataupun deregulasi. Tapi menghadapi kejadian itu banyak kalangan swasta jadi bertanya-tanya, adakah kebijaksanaan pemerintah menghadapi swasta sudah berubah. Eddy Herwanto Laporan Suhardjo Hs (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus