Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Usaha Menghemat Dana & Efisiensi

Swastanisasi perusahaan pemerintah mulai banyak di lakukan di berbagai negara. Misalnya, Inggris, Jepang Singapura, Kor-sel, & Malaysia. Untuk menciptakan efisiensi dan investasi baru. (eb)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SWASTANISASI perusahaan negara sekarang jadi kecenderungan di banyak negeri industri. Di Inggris, usaha menswastakan British Telecom, yang penjualan sahamnya dilakukan Desember 1984 lalu, diharapkan bisa menaikkan efisiensi dan tingkat perolehan laba perusahaan itu kelak. Tekanan terhadap anggaran belanja pemerintah juga bisa dikurangi karena kebutuhan untuk melakukan ekspansi beralih ke kantung swasta. Banyak ekonom dan birokrat keliru menafsirkan usaha swastanisasi itu identik dengan serangkaian tindakan pemecatan para pekerja. Yang terjadi dalam kasus Nippon Telegraph and Telephone (NTT), misalnya, malah sebaliknya. Usaha menswastakan perusahaan telekomunikasi ini ternyata membuka peluang banyak perusahaan Jepang menyelenggarakan jasa serupa secara patungan. Tenaga kerja jelas dibutuhkan di situ. Pasar bagi pabrikan alat telepon dan teleks jadi makin lebar karenanya. Peluang bagus seperti itu, tentu, tidak otomatis terbuka jika sebuah perusahaan negara diswastakan. Bagaimana persisnya yang terjadi bisa dilihat dari cerita di bawah ini: Inggris Dua juta permohonan membeli 1,16 milyar saham perorangan British Telecom (BT) masuk, pada Desember 1984 itu, ketika perusahaan negara ini mengumumkan akan menjual 50,2% saham milik pemerintah. Mereka tertarik karena setiap pembelian 10 saham akan mendapat bonus sebuah saham dengan syarat tidak dipindahtangankan selama tiga tahun. Untuk perusahaan penanam modal BT menyediakan 1,42 milyar saham. Dari penjualan tiga milyar saham itu manajemen perusahaan telekomunikasi tadi memperoleh dana USS 4,7 milyar (Rp 5 trilyun lebih). Perusahaan dengan 241 ribu karyawan itu dinilai tidak efisien sekalipun labanya setiap tahun naik rata-rata 25% sejak 1981. Tahun lalu, labanya tercatat US$ 1,2 milyar (hampir Rp 1,3 trilyun) dari penidapatan US$ 8,5 milyar (Rp 9 trilyun lebih). Prospeknya dinilai bagus. Karena itu, para penentang swastanisasi BT menganggap langkah itu sebagai perampokan kekayaan rahyat Inggns sesungguhnya. Saham pemerintah di situ seharusnya dijual US$ 12 milyar (Rp 12,9 trilyun). Di luar dugaan, swastanisasi itu mendorong BT melebarkan sayap memasuki bidang usaha lain yang bakal menguntungkan usahanya. Mitel, pembuat alat-alat telekomunikasi Kanada, segera saja menawarkan 51% sahamnya (US$ 220 juta) kepada BT karena khawatir pembeli terbesar alat-alatnya ini akan beralih ke pabrikan lain. Ikatan itu bagi BT sendiri cukup menguntungkan. Sebab, tanpa susah payah, perusahaan ini juga akan turut menikmati laba penjualan Mitel di 80 negara. Jepang Nippon Telegraph and Telephone (NTT) mendadak akan jadi perusahaan swasta terbesar di Jepang, dengan pekerja 318 ribu atau enam kali tenaga kerja Toyota, ketika akhir tahun lalu Diet (Parlemen) memutuskan untuk menjual separuh sahamnya mulai pertengahan 1986 hingga 1991. Dengan menswastakan NTT, yang selama 33 tahun memonopoli jasa pelayanan telekomunikasi di Jepang, maka terbuka kesempatan bagi swasta untuk mendirikan usaha serupa. Sedikitnya ada empat perusahaan sejenis akan dibentuk secara patungan oleh pelbagai perusahaan. Swastanisasi NTT itu juga diharapkan akan membuka pasar lebih lebar bagi produk telekomunikasi buatan Amerika, hingga defisit perdagangan Amerika dengan Jepang bisa dipangkas. Sudah lama diketahui bahwa belanja tahunan NTT, yang rata-rata bisa mencapai US$ 2,5 milyar (Rp 2,68 trilyun), sekitar 80% digunakan untuk membeli perlengkapan bikinan 10 pabrikan Jepang. Dari jumlah itu, sekitar 40% jatuh ke tangan Fujitsu dan NEC. Dari perusahaan telekomunikasi Amerika, tahun lalu, NTT hanya belanja US$ 140 juta. Sebaliknya penjualan NEC di Amerika, tahun lalu, mencapai US$ 3 milyar (Rp 3,22 trilyun) untuk private branch exchange telephone switches (PBX) saja. Tak jelas benar apakah pembelian tidak seimbang itu juga dilakukan Japan National Railways (JNR), yang akan diswastakan tahun 1987 kelak. Di tahun fiskal itu (yang berakhir Maret 1988), perusahaan jawatan kereta api yang akan dipecah (divestment) menjadi enam usaha swasta daerah ini diduga punya utang 35 trilyun yen (Rp 158 trilyun nilai sekarang). Buruhnya nanti diberi hak untuk mogok. Perusahaan juga dibebaskan menetapkan tarif sendiri. Dengan menswastakan JNR, Tokyo berharap bisa mengurangi besarnya subsidi sekitar 3,5% dari GNP. Singapura Hampir 500 perusahaan di negeri pulau ini 25% sampai 100% sahamnya dikuasai pemerintah. Di tahun 1983 jumlah modal pemerintah Singapura yang disetor ke 450 perusahaan itu meliputi S$ 2,4 milyar (Rp 1,13 trilyun), dengan nilai kekayaan S$ 18,2 milyar (Rp 8,5 trilyun). Menurut catatan majalah Far Eastern Economic Review, kepentingan pemerintah Singapura di antaranya ada di Keppel Shipyard (68%), Singapore Shipbuilding & Engineering (86,8%), Singapore Airlines (80,9%), dan Singapore Aircraft Industries (100%). Sialnya, di tengah resesi yang baru dua tahun terakhir menghajar Singapura, kebanyakan perusahaan negara itu rugi. Ambil contoh Keppel Shipyard, semester pertama 1984 ini, rugi S$ 28,2 juta (hampir Rp 15 milyar). Kerugian itu jelas besar sekali dibandingkan dengan kerugian periode yang sama tahun lalu yang hanya S$ 481 ribu (Rp 232 juta). Pukulan tampaknya akan berlanjut terus ke perusahaan jasa dan industri petrokimia milik pemerintah. Supaya kerugian tidak makin merongrong keuangan negara, Singapura secara bertahap akan menjual saham-sahamnya - hingga kelak tinggal 70-an perusahaan yang efektif berada di bawah kontrol tiga induk perusahaan, di antaranya lewat Temasek Holding. Mitsubishi Heavy Industries dikabarkan sudah berniat membeli 44% saham pemerintah Singapura di Mitsubishi Singapore Heavy Industries. Pemerintah Singapura memang sudah berniat hanya akan masuk ke sektor industri, jika pihak swasta tidak punya minat, dan kekurangan dana untuk mengambil proyek itu. Korea Selatan Masa jaya bagi perusahaan negara Korea Selatan, yang pertumbuhannya melampaui pertumbuhan ekonominya, terjadi sejak 1960-an sampai 1970-an. Di tahun 1972 itU, sekitar 87% kegiatan keuangan dikuasai bank-bank negara. Perusahaan negara juga menguasai sekitar 30% industri manufaktur, dan lebih kurang 20% sektor transportasi. Pemerintah akhirnya sadar, penguasaan atas berbagai kegiatan itu hanya akan membebani anggaran belanja dan neraca pembayaran. Satu demi satu sejumlah perusahaan negara itu sejak 1980 dijual ke swasta. Lima bank, pada 1982-1983, diswastakan. Korea Oil, pada periode itu, dilego ke Sunkyong. Korean Airlines, yang kemudian bernama Korea Air, sebelumnya telah dijual ke kelompok Hanjin. Tapi di luar dugaan banyak kalangan, pada 1980, pemerintah Seoul mendadak mengambil alih industri berat milik grup Hyundai yang sakit-sakitan, dan membesarkannya jadi Korea Heavy Industries. Alasan Seoul masuk ke industri berat itu: swasta dianggap belum mampu mengelola sektor industri strategis tadi. Jadi, usaha swastanisasi di sana sesungguhnya tidak dilakukan demi efisiensi sumber dana semata-mata, tapi justru dikaitkan dengan kepentingan ekonomi negara secara menyeluruh (makro). Karena alasan itu, Seoul sampai kini masih mengontrol sepenuhnya perusahaan jasa telekomunikasi, listrik, kereta api, rokok, dan televisi. Malaysia Swastanisasi akan dimulai di Semenanjung dengan membentuk Syarikat Telekom Malaysia (STM) yang akan menjadi semacam perusahaan pengganti Departemen Telekomunikasi. Juli lalu, RUU swastanisasi itu sudah diajukan ke parlemen. Sekitar 30 ribu pekerjanya dibebaskan untuk meneruskan bekerja di perusahaan itu atau keluar. Menurut rencana, saham STM, untuk sementara, akan dikuasai pemerintah sebelum akhirnya sebagian dijual ke masyarakat. Perkembangan itu tampaknya merupakan titik balik serangkaian usaha Kuala Lumpur lewat Permodalan Nasional Berhad (PNB) masuk ke pelbagai sektor usaha. Pada tahun 1964 hanya ada 47 perusahaan negara, sedangkan di akhir tahun lalu, sedikitnya ada 103 perusahaan baru yang bergabung dengan negara lewat PNB. Dana PNB tampaknya cukup kuat dan dikelola efisien. Malaysia memang dikenal hemat menggunakan uang minyak dan hasil penjualan timahnya. E.H.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus