ORANG kini mulai bicara tentang masa pascaminyak. Perlahan-lahan, tapi pasti, peran minyak sebagai penggerak utama perekonomian Indonesia tak lagi bisa diandalkan. Kalau nanti peran minyak yang dikuasai oleh pemerintah mulai pudar, perlu ada pemeran lain yang tampil sebagai pengganti. Dan itu, siapa lagi kalau bukan, modal asing, bantuan asing, dan swasta nasional. Tapi swasta yang diminta berkembang akan punya akibat sampingan: Masyarakat masih melihatnya sebagai sesuatu yang serakah, mewah, dan serba pamer. Keadaan yang biasa disebut dengan monopoli atau oligopoli mendorong masyarakat meminta campur tangan pemerintah, paling tidak untuk mengimbangi kekuatan swasta yang menggelembung itu. Apa pendapat para ahli ekonomi tentang masa depan ekonomi kita yang masih belum menentu. Juga apa pendapat para pengusaha tentang peran mereka dan BUMN? Dr. HADI SOESASTRO, 40, ketua Departemen Ekonomi CSIS: Ada kemungkinan usaha-usaha untuk mengubah peran ekonomi pemerintah akan menghadapi tantangan yang kuat. Padahal, perubahan peran ini tidak harus berarti pengurangan peran pemerintah dalam urusan ekonomi. Di mana-mana dibutuhkan intervensi pemerintah, tidak hanya untuk mengoreksi "kegagalan alokasi pasar", tetapi juga untuk mensponsori pembangunan (industrialisasi). Namun, "kegagalan alokasi nonpasar" itu kiranya diakibatkan oleh fungsi pemerintah yang terlampau dititikberatkan pada fungsi mengatur (regulatory function). Yang perlu dibina adalah fungsi pembangunan (developmental function) dari pemerintah. Perubahan orientasi ini, antara lain, akan menghasilkan "hubungan penguasa-pengusaha" yang berbeda. Deregulasi dalam ekonomi bisa berjalan seiring dengan pengembangan fungsi pembangunan pemerintah. Pola pembangunan yang bersifat government-sponsored, private-led ini tampaknya menjadi tuntutan, khususnya bagi negara-negara Asia Pasifik. RRC dan India, misalnya, dengan pasar domestik yang luas itu, kiranya menyadari keadaan ini dan berusaha menemukan pola baru tersebut. Mau tidak mau, kenyataan ini perlu ditanggapi secara serius oleh Indonesia. Bila tidak, ada bahaya bahwa di kemudian hari ekonomi Indonesia akan jauh tertinggal dibandingkan negara-negara sekelilingnya. Pola pembangunan di atas jelas menuntut sektor swasta yang tangguh, yang hingga kini sebenarnya juga belum ada di Indonesia. Dr. S.B. JOEDONO pembantu rektor II Bidang Administrasi Umum UI dan pengajar di FE UI: Ada perasaan bahwa peran pemerintah sudah berlebihan, sampai memasuki sendi-sendi masyarakat, terlepas dari mampu tidaknya pemerintah mengelolanya. Ini suatu gejala yang normal dalam setiap pemerintahan. Tapi di masa mendatang, di masa pascaminyak, pemerintah tak lagi bisa diharapkan menjadi penggerak utama pembangunan. Kalau swasta nasional dan asing diminta kembali tampil sebagai peran pengganti, kita seakan-akan kembali ke zaman praminyak, sebelum 1973. Kita akan dihadapkan pada masalah peran modal asing versus modal nasional, masalah pribumi dan nonpribumi. Dan semua itu akan terjadi pada skala yang lebih besar, demi melajukan roda ekonomi melalui investasi. Kalau swasta akan dikembangkan, maka pertama-tama, lingkup aparat pemerintah perlu dibatasi, kepada hal-hal yang memang perlu diatur. Jadi yang dianggap tak perlu diatur, jangan diatur. Apa yang tak perlu diatur secara mendetil, ya jangan diatur secara mendetil. Jadi, peraturan itu hanya terbatas pada hal-hal yang pokok, yang memang sangat perlu diatur, seperti pengamanan dan sekuriti. Itu pun agar diusahakan sesederhana mungkin. Dalam bidang yang sudah menyempit, perlu dikembangkan birokrasi yang benar. Itu, saya kira, tak cukup dengan hanya mengurangi birokrasi. Ada bidang-bidang yang memang memerlukan suatu debirokratisasi. Tapi di bidang-bidang yang memang mutlak harus diatur untuk berbagai macam hal, seperti keadilan dan kesejahteraan. Perlu dikembangkan suatu birokrasi yang sesungguhnya, yan kaku, yang tak beranjak sedetik pun suatu birokrasi yang sejati. Birokrasi, sebagai alat pemerintah yang modern, perlu dikembangkan sebagai alat untuk memperjuangkan hak demokrasi. Banyak orang menyalahartikan birokrasi seolah-olah bertentangan dengan demokrasi Padahal, dalam arti yang sesungguhnya, ada beberapa nilai demokrasi yang memang ditunjang oleh birokrasi. Dengan kata lain, ada beberapa cara kerja yang dimaksudkan untuk mencapai nilai-nilai demokrasi. Misalnya, demi persamaan hak, maka birokrasi itu diwujudkan hanya untuk melaksanakan peraturan umum, suatu peraturan yang berlaku untuk bagi siapa pun, tak peduli kaya miskin, pria atau wanita. Tapi bidang-bidang yang tak perlu diatur sekaku itu, perlu dilepaskan kepada swasta, peraturannya dilonggarkan, atau dilakukan dalam bentuk-bentuk lain. Jadi, bidang-bidang yang memerlukan kreativitas, inisiatif, di bidang-bidang yang perlu berpikir, sebaiknya dilepaskan kepada swasta, atau dalam bentuk-bentuk yang pengaturannya tak sekaku itu birokrasi. Dengan cara itu, campur tangan pemerintah dibatasi dan, ini yang juga penting, ditumbuhkannya pusat-pusat kemampuan, baik berupa swasta nasional maupun swadaya masyarakat. Jalan ini perlu ditempuh, dan kita harus berani melakukannya, kalau kita ingin memecahkan masalah-masalah yang dihadapi perekonomian Indonesia sekarang. Memang ada semacam kaidah umum yang masih berlaku di masyarakat Indonesia, terutama di kalangan yang masih menganut paham "idealisme-nasionalisme". Mereka ini berpikiran, seyogyanya sebagian besar kegiatan ekonomi dikuasai oleh koperasi, setelah itu oleh pemerintah, dan baru swasta yang paling belakang. Di semua negara yang bukan sosialis-komunis, yang menjadi penggerak utama pembangunan adalah para pengusaha swasta. Secara umum, keadaan obyektif itu akan terjadi juga di sini. Tapi swastanisasi, seperti dianjurkan oleh pemerintah dalam Pelita IV, baru merupakan niat. Ini merupakan awal suatu proses yang panjang, yang mungkin baru 50 tahun lagi terjawab. Soalnya, masyarakat kita masih belum bisa menerima peranan swasta, apalagi kalau swasta itu menjadi besar. Sekalipun soal besar kecil suatu usaha itu orang bisa berdebat panjang. Prof. Dr. MUBYARTO, 47, guru besar dalam Ilmu Pertanian UGM: Ditinjau dari segi makro, anjuran untuk swastanisasi itu memang baik. Ini dengan catatan, jika benar-benar bisa meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Tapi apabila dikaitkan dengan pasal UUD '45, belum tentu sesuai. Pasal 33 itu amat mementingkan pemerataan dan keadilan sosial. Kalaupun ditinjau dari segi ekonomi mikro akan ditemukan hal yang sama: Apa akibat efisiensi itu terhadap keadilan. Saya khawatir semakin efisien, orang lantas melupakan keadilan. Jadi, kalau nanti sampai perusahaan negara ada yang diswastakan, hendaknya pemerintah tidak lupa memberi catatan, agar tak melupakan segi keadilan. Upaya meningkatkan efisiensi itu tidak hanya disebabkan karena dana-dana pemerintah semakin terbatas, tapi juga disebabkan ada kecenderungan untuk boros dalam PN-PN. Sifat semacam ini menghinggapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Malaysia, misalnya, juga terjadi hal yang demikian, sehingga jauh sebelumnya pemerintah mereka telah menempuh kebijaksanaan untuk menswastakan PN. Sifat yang tidak efisien itu yang boros, disebabkan birokrasi yang berbelit-belit, sehingga menyuburkan korupsi, sementara lembaga kontrol tak berdaya. Hal ini berlainan dengan swasta, tempat pengusaha dengan cepat bisa mengontrol dan mengambil keputusan, tanpa perlu melewan birokrasi yang panjang. Adapun kondisi swasta di Indonesia itu sebenarnya masih lemah. Kuatnya swasta tak lain karena bantuan modal, berupa kredit atau penyertaan dari pemerintah. Contohnya, Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang belakangan ini menimbulkan masalah tersendiri, karena partner swasta akhirnya mengharapkan modal pinjaman dari bank-bank pemerintah juga. I NYOMAN MOENA, 54, presiden direktur Overseas Express Bank dan ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional Swasta. Langkanya dana untuk investasi, sekarang ini, lebih banyak dipengaruhi oleh sikap yang sangat berhati-hati pihak perbankan daripada menciutnya dana di kas. Hal ini bisa dilihat dengan membanjirnya kredit-kredit jangka pendek, yang jelas tidak memenuhi persyaratan untuk investasi. Sementara kredit jangka panjang sudah berubah menjadi "binatang langka". Di pihak lain, para pengusaha sendiri juga belum siap. Sekarang saja mereka tidak mampu mengejar equity 40% untuk investasi baru - seperti diminta pemerintah. Realisasi dana APBN merupakan faktor terpenting ketidaksiapan mereka. Seretnya pengeluaran dana APBN, seperti yang terjadi sekarang ini, membuat kredit-kredit lebih banyak digunakan untuk membiayai persediaan di gudang. TANRI ABENG, 43, presiden direktur PT Multi Bintang dan ketua Persatuan Manajemen Indonesia. Ketidakpastian pengusaha Indonesia karena mereka, selama ini, terlalu berorientasi pada pasar dalam negeri. Sehingga, begitu pasar dalam negeri lesu, mereka langsung ikut lesu. Untuk mengadakan ekspansi pasar ke luar, mereka masih belepotan karena sudah terbiasa hidup dengan proteksi. Namun, tidak berarti tertutup kemungkinan bagi mereka untuk ikut serta mengelola BUMN. Indonesia masih mempunyai pengusaha yang sanggup berpatungan dalam skala besar, seperti Bakrie & Brothers dan kelompok Astra. Untuk menarik mereka, pemerintah harus berbesar hati memberi kesempatan pada mereka duduk di eksekutif perusahaan. Kalau hanya sebagai pemilik saham, apa artinya? Sebelumnya pemerintah harus memberi ketegasan pada ruang gerak swasta murni, agar mereka mempunyai komitmen yang dapat diandalkan untuk beranjak dan berdampingan. Dengan demikian, tidak disangkal lagi, usaha patungan itu akan dapat dikelola dengan dasar efisiensi dan profesionalisme. Tolok ukur yang menentukan kapan dan bagaimana BUMN yang sebaiknya diserahkan pada swasta adalah fungsi BUMN itu sendiri sebagai penampung dana pembangunan. Kalau sudah tidak mampu berfungsi lagi, swastalah yang memfungsikannya. JOHNNY WIDJAJA, 51, presiden komisaris kelompok Tiga Raksa. Orang-orang swasta jelas berminat untuk masuk ke BUMN, terutama di sektor telekomunikasi. Sektor yang melibatkan teknologi tinggi ini mempunyai pasar yang jelas dan dapat dikelola dengan orientasi keuntungan. Kami akan berusaha keras mengerahkan borrowing power dan cadangan dana bila diberi kesempatan bergerak di sektor telekomunikasi. Berbagai fasilitas dan prioritas yang diberikan pemerintah pada BUMN juga sangat menarik karena dapat lebih menjamin keamanan Investasi. Jadi, peranan orang swasta nantinya akan lebih berat di bidang pembenahan manajemen dan pemasaran saja. Sektor lain yang sebenarnya mempunyai prospek cerah adalah agribisnis. Sayangnya, sektor ini sudah terlalu lama diabaikan, jadi sulit untuk memulainya lagi. Sektor ini memerlukan investasi yang berjangka sangat panjang, sehingga pemerintah perlu menyediakan dana khusus untuk itu, yang sekarang ini masih jauh dari mencukupi. Sedangkan untuk ekspor, kita masih terbentur pada mahalnya biaya energi, telekomunikasi, angkutan, dan tingginya tingkat bunga. Murahnya tenaga kerja, sekarang ini, sudah tidak begitu berarti. Mekanisasi yang tengah dilakukan secara besar-besaran oleh pengusaha kita membuat peranan tenaga manusia makin tenggelam. MU'MIN ALI GUNAWAN, 46, wakil presiden direktur Pan Indonesia Bank. Saya setuju sekali kalau BUMN diswastakan dengan murni karena akan membantu menciptakan iklim persaingan yang sehat. Sebagaimana diketahui, BUMN umumnya hidup dari berbagai fasilitas dan prioritas pemerintah. Jadi, mana mungkin orang swasta bisa bersaing? Pembukaan sektor-sektor eksklusif, yang selama ini hanya dikelola BUMN, akan memberi napas baru bagi para pengusaha yang sekarang Ini seperti kehabisan ruang gerak. Bahkan, sudah muncul indikasi akan terjadinya pelonjakan keterlambatan pengembalian kredit yang, saya rasa, suatu saat akan membawa pemerintah ikut turun tangan. Soal dana, saya pikir, tidak perlu dirisaukan. Kreditor dalam dan luar negeri akan bersedia menghamburkan dananya asal investasi yang dilakukan mempunyai prospek yang jelas dan menguntungkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. WIM KALONA, 69, presiden direktur 19 perusahaan farmasi, antara lain PT Darya Varia, Pharos Indonesia, dan Dupa. Saya tidak berminat pada BUMN karena selama ini tidak dikelola secara profesional. Tetapi persoalan akan menjadi lain bila BUMN-BUMN itu dibenahi dulu manajemennya. Secara pribadi saya bisa mengerti kenapa mereka berada dalam kondisi demikian. Karena mereka digaji negara. Di samping itu, pihak swasta sendiri sebaiknya berusaha keras menghindar dari kerja sama dehgan modal asing, karena pasti akan dinomorduakan. Kecuali kalau memang benar-benar tidak mempunyai cukup dana, tidak apalah. Toh, sekarang teknologi dan tenaga ahli bisa dibeli. Jadi, apa lagi yang sulit? Oleh sebab itu, pemerintah masih harus memberikan proteksi pada industri baru agar mereka dapat tumbuh dan sanggup berhadapan dengan modal asing. Daya saing industri baru sekarang ini masih sangat lemah, karena tinggi-nya tingkat bunga dan lesunya pasar. DAWAM RAHARDJO, direktur LP3ES, Jakarta. Seharusnya setiap usaha yang memanfaatkan sumber daya alam, dan untuk kepentingan masyarakat luas tidak dipegang swasta. Semen termasuk di dalamnya. Konsekuensinya memang, jika pemerintah harus memegangnya sebagai proyek rintisan, maka dana yang diperlukan banyak. Padahal sekarang pemerintah sedang kesulitan dana. Sektor jasa seperti transpor-tasi yang harus menangani adalah koperasi, Damri tak perlu lagi, kecuali kereta api yang memiliki kekhususan. Pada dasarnya semua usaha itu seharusnya ditangani swasta. Jadi perusahaan seperti PN Sandang itu kasih saja pada swasta. Sebab tekstil itu membutuhkan kreativitas yang sangat layak dilakukan swasta. Untuk menunjang koperasi, saya kira, bank koperasi perlu dihidupkan lagi. Jika pemerintah menguasai seluruh kegiatan usaha, itu bertentangan dengan UUD 1945 sendiri. Jadi, menurut saya, ada batas-batas tertentu mana yang bisa dikelola pemerintah, dan mana bagian swasta. Industri pupuk, misalnya, bisa juga ditangani koperasi seperti di Kanada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini