Nilai tukar rupiah sudah jatuh begitu dalam, tapi mengapa ekspor kita mandek? Pertanyaan sepele itu menggoda kembali setelah Malaysia mengumumkan rapor perekonomiannya, Jumat lalu. Harus diakui, prestasi Malaysia membuat kita ngiler. Bayangkan, sepanjang tahun lalu, pertumbuhan ekonomi negeri jiran itu melesat 5,4 persen. Angka ini jauh di atas perkiraan resmi pemerintah, yang semula mematok "target" cuma 4,3 persen. Tak mengherankan jika Menteri Keuangan Daim Zainuddin, di depan sidang parlemen, dengan amat percaya diri menegaskan, "Bagi Malaysia, krisis keuangan sudah lewat."
Dan, ini yang penting, lonjakan yang membuat krisis tertinggal di landasan itu didorong oleh mesin lama dan konvensional yang bernama ekspor. Tahun lalu, Malaysia mencatat rekor surplus perdagangan (selisih ekspor dengan impor) tertinggi sepanjang sejarah, yang membuat para pemain keuangan di kawasan Asia Tenggara pada melongo: US$ 19 miliar lebih.
Sukses Malaysia ini tampaknya menggenapi kecemerlangan kinerja ekspor negara-negara yang terkena krisis di Asia Tenggara. Sehari sebelumnya, pemerintah Seoul juga mengumumkan bahwa nilai ekspor Korea Selatan menanjak 8 persen lebih menjadi US$ 144 miliar. Beberapa pekan sebelumnya, kendati tak sedahsyat Malaysia dan Korea Selatan, Thailand juga memamerkan catatan keberhasilan yang sama: ekspornya naik enam persen menjadi US$ 58 miliar.
Indonesia? Itulah soalnya. Kendati rupiah cenderung terus merosot, nilai ekspor kita justru terus melemah. Betul, surplus perdagangan Indonesia memang mengukir catatan yang lumayan, US$ 2 miliar lebih setiap bulan. Tapi lonjakan surplus itu bukan disebabkan peningkatan kinerja ekspor, melainkan oleh penurunan nilai impor. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia sepanjang tahun lalu (data yang ada baru sampai November) turun 2 persen menjadi US$ 44 miliar.
Di atas kertas, peluang Indonesia menggenjot ekspor jauh lebih besar ketimbang Malaysia, Korea, bahkan negara lain mana pun di Asia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turun paling tajam, sampai 67 persen. Padahal, negara lain yang terkena krisis di Asia paling banter 33 persen. Artinya, harga barang kita (diukur dalam dolar) mestinya jadi paling murah. Mestinya, daya saing barang kita di luar negeri juga paling hebat. Menurut Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, yang mengutip hasil sebuah penelitian, nilai ekspor akan meningkat 0,4 sampai 0,6 persen jika nilai tukar rupiah melorot satu persen. Dengan hitungan sederhana saja, penurunan nilai tukar sampai 67 persen mestinya akan meningkatkan ekspor sampai sedikitnya 30 persen.
Tapi mengapa tidak? Mengapa ekspor kita justru menurun, justru ketika nilai tukar rupiah merosot paling tajam?
Jawabannya tidak mudah. Yang ada cuma sejumlah dugaan. Menurut Adrian Panggabean, ekonom yang bekerja untuk Nomura Securities Singapura, ekspor Indonesia melorot karena kandungan impor dari barang-barang kita terlalu besar. Rata-rata di atas 50 persen. Dengan kandungan impor sebesar itu, penurunan nilai tukar rupiah justru meningkatkan beban biaya bahan baku. Itu sebabnya, depresiasi tak memberikan suntikan energi terhadap ekspor.
Kenaikan biaya bahan baku ini kemudian membawa efek berantai yang lebih buruk: impor menjadi seret karena kemampuan membayar bahan baku juga berkurang. Akibat selanjutnya, ekspor makin lemah.
Lebih parah lagi, lonjakan kenaikan harga dolar (yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku) diikuti inflasi. Harga barang-barang begitu mudah terbang karena dolar naik. Sepanjang 1998, inflasi menanjak sampai hampir 80 persen. "Akibatnya, keuntungan akibat depresiasi rupiah tak terasa lagi," kata Rino Agung Effendi, pemimpin Danareksa Research Institute.
Itu yang pertama. Kemungkinan kedua, sistem perbankan lumpuh. Kelumpuhan ini berpotensi besar menghambat ekspor karena pengusaha kita banyak bergantung pada fasilitas pembiayaan bank. Memang betul, sejak sejumlah negara mau memberikan pembiayaan perdagangan semacam trade financing, soal letter of credit atau L/C bukan masalah serius. Cuma, masalahnya, perusahaan kita tak hanya bergantung pada L/C. Beberapa di antaranya juga menggantungkan modal kerjanya pada kredit perbankan. Dan karena fasilitas itu belum tersedia, modal kerja tak cukup besar untuk memutar seluruh kemampuan mesin pabrik. Yang kemudian terjadi, kapasitas produksi anjlok, begitu juga kemampuan ekspor.
Celakanya, restrukturisasi perbankan masih jalan di tempat. Berbagai skema kredit tak kunjung mengucur. Memang ada beberapa perusahaan besar yang masih mampu menarik utang dari luar negeri, "Tapi itu cuma beberapa gelintir," kata Rino.
Kemungkinan yang lain—mudah-mudahan saja ini yang terjadi—pencatatan nilai ekspor kita meleset. Kemungkinan ini tampak jelas jika kita membandingkan aktivitas Tanjungpriok dengan statistik ekspor. Menurut pengamatan TEMPO, aktivitas pelabuhan ekspor itu belakangan ini meningkat pesat. Terminal peti kemas Koja, misalnya, melayani 537 kapal peti kemas ekspor ke berbagai negara selama tahun lalu atau naik 50 persen ketimbang tahun sebelumnya.
Sejumlah asosiasi eksportir, seperti sepatu dan tekstil, juga mengaku mampu meningkatkan kapasitas produksi pabriknya sampai maksimal. Menurut data Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), ekspor sepatu tahun lalu tercatat US$ 1,7 miliar, naik 40 persen ketimbang tahun sebelumnya. Pada industri tekstil peningkatan produksi juga terlihat dari penuhnya shift (gilir kerja) pegawai, yang dulu sempat dikurangi jadi dua kali per hari, kini sudah penuh tiga kali sehari. Khusus teksil, "Pesanan sampai tahun 2001 malah sudah penuh," kata Irwandy Muslim, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Lalu mengapa semua ini seperti tak tercatat statistik? Rino tak menutup satu kemungkinan lain: kesalahan pencatatan bukan cuma terletak pada BPS tapi disengaja. Hampir semua pengusaha, juga eksportir, terjerat utang macet, baik di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) maupun kreditur luar negeri. Rino punya teori, mereka ini, para pengusaha yang terjerat macet itu, berusaha menyembunyikan ekspor riil untuk menghindari kejaran tagihan para kreditur, "Agar tetap punya alasan tidak bayar utang."
Caranya, kata Rino, transaksi dilakukan sejumlah anak perusahaan, semacam sister company, yang ada di luar negeri. Perusahaan induk di Indonesia cuma memindahkan barang dari Tanjungpriok ke negara tempat anak perusahaan itu berada. Alhasil, data ekspor yang terekam BPS atau Bank Indonesia jauh lebih kecil ketimbang angka sebenarnya. Inilah mungkin benang merah antara maraknya Tanjungpriok dan turunnya nilai ekspor.
Tapi, apa pun sebabnya, kinerja ekspor kita memang tak menggembirakan—terutama jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara yang lain. Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa dilakukan. Apakah nilai tukar perlu diturunkan untuk menggenjot ekspor?
Sebenarnya, pelemahan nilai tukar inilah yang dilakukan sejumlah negara tetangga. Malaysia, misalnya, tetap memasang nilai tukar tetap (fixed exchange rate) begitu rendah (3,8 ringgit per dolar), meskipun harga ringgit bisa melejit tinggi jika dilepas ke pasar bebas. Pemerintah Malaysia agaknya cukup nyaman dengan nilai tukar yang rendah agar bisa menjaga mesin pertumbuhan ekonominya.
Korea dan Thailand juga sama. Sejak Januari lalu, bank sentral kedua negara ini rajin mencuci pasar mereka dari dolar. Caranya, dengan menjual won dan baht untuk menyerap dolar. Intervensi ini dilakukan agar pasokan mata uang lokal melimpah, sehingga tak punya kesempatan menguat. Kenaikan nilai tukar mata uang won dan baht sepanjang semester pertama 1999 dan kuartal keempat tahun lalu telah membuat bank sentral khawatir barang-barang Thailand dan Korea Selatan tak akan laku di luar negeri.
Apakah Indonesia akan ikut memperlemah rupiah? Tidak perlu, setidaknya menurut Adrian. Pertama, karena nilai tukar rupiah sebenarnya sudah lebih rendah 20-25 persen dari nilai wajarnya. Yang kedua, penurunan ini toh tak akan mendongkrak ekspor, sepanjang kandungan bahan baku impornya masih tinggi. Dan yang ketiga, kalaulah ada dampaknya untuk ekspor, nilai tukar yang terlalu lemah akan menaikkan daya kompetisi perusahaan yang tak efisien. Akibatnya, perekonomian akan boros dan semu. Ini bisa menjadi pemicu bagi krisis ekonomi berikutnya.
Jadi, apa yang mesti dilakukan? Ya, pasrah saja, kecuali kalau bisa mendongkrak efisiensi.
Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini