KELUARGA-keluarga yang berekreasi di taman hiburan Ancol, mulai Oktober ini bisa bersantai ria. Sejumlah tarif di Gelanggang Renang, Gelanggang Samudera, dan Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), diturunkan 8%-20%. Kok bisa? Penurunan itu berpangkal dari kebijaksanaan Wiyogo. Pertengahan September lalu, tarif pajak tontonan (PTo) untuk tempat-tempat rekreasi di Ancol memang resmi diturunkan dari 25% menjadi rata-rata 5%. Kebijaksanaan itu bagaikan hadiah dari Wiyogo Atmodarminto, yang pekan ini genap setahun menjadi Gubernur DKI. Menurut juru bicara Pemda DKI Sudarsin, tujuannya satu: agar lebih banyak masyarakat bisa menikmati hiburan di Ancol. Dalam SK Gubernur dijelaskan, salah satu pertimbangan penurunan PTo tadi, karena tempat rekreasi sudah merupakan kebutuhan pokok setiap lapisan masyarakat di wilayah DKI. Memang tarif hiburan di Ancol sudah sering dikeluhkan terlalu mahal. Menurut Sudarsin, selama ini Pemda DKI membolehkan pengelola Ancol memasang tarif tinggi, karena mereka berinvestasi besar untuk taman rekreasi itu. "Sekarang, ada swasta lain yang juga mampu dan mau," katanya menambahkan. Ir. Ciputra, Presiden Direktur PT Pembangunan Jaya yang mengelola taman rekreasi Ancol, menyambut baik penurunan tarif PTo itu sebagai langkah deregulasi. Dikatakannya, semula Pemda DKI memang tidak mengenakan pajak tontonan di TIJA. Regulasi timbul pada 1978, ketika Pemda mengenakan pajak tontonan 10%. Lima tahun silam, PTo dinaikkan lagi menjadi 25%. Syukurlah, kini PTo diturunkan menjadi 5%, sama seperti yang berlaku di Dunia Fantasi (Dufan). Ciputra menganggap tarif pajak itu wajar, kendati ia mengharapkan PTo dihapuskan sama sekali, seperti sebelum tahun 1978. Sekadar bandingan, TIJA pernah menyetor pajak tontonan Rp 1,8 milyar, belum termasuk pajak bumi dan bangunan dan retribusi lainnya. "Taman-taman rekreasi di AS biasanya tidak dipungut pajak tontonan. Atau seperti di Jepang, PTo baru dikenakan untuk karcis berharga di atas 11.000 yen (sekitar Rp 130.000)," kata Ciputra, yang juga menjabat Presiden Federasi Pengusaha Real Estate Internasional (FIABCI) itu. Menurut Ciputra, kebijaksanaan ini sebaiknya diterapkan di seluruh Indonesia. Jika pemerintah menginginkan swasta membangun tempat hiburan, haruslah dibantu. Ia mengharapkan pemerintah menyediakan tanah, dan memberikan pembebasan PTo untuk sepuluh tahun. Dengan demikian, bisa diharapkan akan lebih banyak tempat rekreasi keluarga yang dibangun swasta. Ciputra melihat, setiap pemerintah daerah menerapkan kebijaksanaan sendiri-sendiri. Kebun Binatang Surabaya misalnya, yang merupakan taman hiburan keluarga terbesar setelah Ancol, mengenakan PTo 33,3%. Dengan pajak setinggi itu, tempat rekreasi di Indonesia umumnya sulit untuk hidup dan berkembang. Pajak tontonan yang berlaku di bioskop-bioskop kurang lebih sama tingginya. Dan tidak tampak tanda-tanda PTo-nya akan diturunkan. Pajak tontonan yang berlaku di bioskop ternyata sudah dibedakan menurut kelas-kelas, mulai dari 20% untuk kelas bawah sampai 30% untuk bioskop kelas tertinggi. Menurut M. Johan Tjasmadi, Sekjen GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), tarif bioskop tak perlu diturunkan, karena penonton dianggap mampu. Hanya yang perlu dirangsang ialah agar pengusaha mau memutar film-film nasional. Untuk itu diusulkannya agar bioskop yang memutar film pribumi, PTo-nya diturunkan 50%. Dengan demikian, diharapkan banyak pengusaha bioskop lebih tertarik untuk memutar film Indonesia hingga secara bertahap, kelak, bisa menjadi tuan di rumahnya sendiri. Laporan Linda Djalil, Tri Budianto Soekarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini