SEMAKIN hari, dunia semakin sempit saja. Tentu bukan karena lahannya mengkerut, melainkan lantaran sarana penghubungnya kian canggih jua. Contoh paling menonjol, ya jalan tol. Dan dua pekan lalu, sebuah jalan bebas hambatan yang baru, Tol Jakarta-Cikampek (TJC), telah menambah sumber rezeki dari PT Jasa Marga (PTJM). Sumber yang paling baru ini jelas paling menguntungkan. Jika dibandingkan dengan jalan-jalan tol yang sudah ada di sekitar Jakarta, tarif TJC merupakan yang termahal. Untuk kendaraan beroda empat yang termasuk golongan I misalnya, dengan bobot maksimal 2,5 ton, dikenakan tarif RP5.000. Sedangkan untuk golongan II, seperti bis dan truk, ongkos tolnya RP 8.000 (dalam tahap uji coba, tarif golongan I dan II masing-masing RP 3.500 dan RP 5.500). Adapun Jagorawi yang populer itu, tarif tolnya hanya RP3.000 dan RP4.000 (untuk golongan I dan II). Bagaimana Jagorawi bisa lebih murah? Ternyata, panjang jalan tol Jagorawi hanya 45,6 kilometer, sedangkan TJC mencapai 72,1 km. Berarti, investasi untuk membangun TJC jauh lebih besar. Menurut Wiyoto Wiyono, Dirut PTJM, pembangunan TJC menelan sekitar RP176 milyar -- RP62 milyar di antaranya untuk pembebasan tanah. Dan, seperti biasanya, tidak semua modal diperoleh dari obligasi PTJM. TJC juga memakai pinjaman luar dari KFAED (Kuwait Fund for Arab Economic Development), plus komponen rupiah lainnya (untuk pembebasan tanah) dari dana APBN. "Dengan rampungnya TJC, maka jarak Jakarta-Cikampek kini semakin pendek" ujar Wiyoto. Biasanya rute sepanjang 95 kilo ini, kalau ditempuh melalui jalan arteri, memakan waktu dua jam lebih. Kini melalui TJC cukup satu jam, atau malah kurang dari satu jam. Menurut Wiyoto, pentingnya TJC tak perlu dipertanyakan lagi. Selain untuk memperlancar arus barang dari dan ke Jakarta, tidak sedikit orang yang bekerja di Jakarta berdomisili di sekitar daerah Bekasi dan Karawang. Kalau dilihat dari sudut itu, TJC tak ubahnya Jagorawi dan jalur Tol Tomang -- Tangerang. Berdasarkan sebuah survei, rute Jakarta-Bekasi setiap harinya dilalui oleh 40 ribu kendaraan beroda empat. Sedangkan ruas Bekasi - Karawang - Cikampek ratarata per hari dilalui oleh 45 ribu kendaraan. Sehingga, kalau ditotal, tiap hari sedikitnya ada sekitar 85 ribu kendaraan roda empat yang hilir-mudik antara Jakarta dan Cikampek. Untuk sementara Wiyoto memperkirakan, setiap harinya TJC akan dilalui oleh sekitar 6.000 kendaraan. Sehingga, kalau dikalikan dengan tarif tol untuk golongan I saja, PTJM akan memperoleh pendapatan dari TJC Rp 30 juta/hari. Dan jumlah ini akan terus bertambah, kalau mengingat jumlah kendaraan bermotor naik 5% dalam setiap tahun. "Sehingga, dalam tiga tahun mendatang, kendaraan yang melalui TJC akan naik menjadi sekitar 10 ribu unit," kata Wiyoto. Itulah sebabnya mengapa dia yakin, Tol Jakarta-Cikampek akan bisa mencapai titik impas dalam waktu 12 tahun. Atau paling lambat,sudah bisa kembali modal dalam waktu 15 tahun. Mungkin perhitungan Wiyoto tidak akan terlampau meleset. Sayangnya, PTJM tidak, atau mungkin belum, memperhitungkan tingkat keselamatan pemakai TJC. Bayangkan, di samping kiri dan kanan TJC terbentang area persawahan yang cukup luas, hingga, kalau akhir masa panen tiba, banyak petani yang membakar jerami di sana. Kalau sudah begitu, munculnya kepulan asap yang tiba-tiba, sulit untuk dihindarkan. Jadi, bukan mustahil kalau tabrakan beruntun seperti di jalan tol Tomang-Tangerang beberapa waktu lalu, bisa terulang di jalur TJC Apalagi di jalan tol ini tak ada jalur pemisah -- hanya dibatasi dengan garis puth berlampu mata kucing. Padahal, di jalan seperti inilah para pengemudi cenderung untuk melampiaskan emosinya, dengan menginjak pedal gas sedalam mungkin. Bagaimana, Pak Wiyoto ? Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini