Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Agar Batik Batam Bertahan di Tengah Pandemi

Hampir satu tahun pandemi Covid-19 berlangsung para UMKM pengrajin batik di Batam mulai bangkit dan berevolusi dengan penjualan online.

5 Februari 2021 | 08.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengrajin batik di Batam Indra disela pekerjaannya menerima orderan online. Pria ini terus berupaya bertahan di tengah pandemi dan membatik di halaman rumah. TEMPO/Yogi Eka Sahputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Siang itu pada pertengahan Januari 2021, tak hanya terik matahari yang menyengat, tapi juga aroma aroma lilin di gang Komplek Perumahan Taman Raya Batam Center, Batam, Kepulauan Riau. Bebauan itu berasal dari dua helai batik kain yang sedang dijemur di pekarangan salah satu rumah. 

Selain yang sedang dijemur, terlihat sejumlah lipatan kain batin tersusun rapi di teras yang luasnya tak lebih dari 50 meter persegi.  Di sudut kanan terlihat tungku api. Sedangkan di sudut kiri terlihat cetakan batik di atas lilin yang siap dipanaskan. Aroma keras lilin berasal dari tungku itu. Di bagian sama beberapa cetakan cap berbagai motif batik terpajang di sebuah rak besi. 

Seorang pria berkaos motif batik dan celana training keluar dari dalam rumah. Dengan ramah ia menyapa tim Tempo yang berkunjung ke rumah produksinya. “Halo mas, seperti ini lah, kita produksi di rumah saya,” katanya sambil menyodorkan bangku dan mempersilahkan kami duduk.

Sore itu, Indra – sapaan pria tersebut - bercerita panjang lebar awal mula ia terjun sebagai pengusaha batik dan jerih payahnya bertahan di tengah pandemi.

Dari Pekalongan, Batik Menembus Batas Negara
Indra Sogiyono namanya. Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, ini sudah 10 tahun terakhir mengembangkan batik di Batam. Niat mengadu nasib ke Batam berawal menjadi seorang cleaning service di salah satu perusahaan hanya beberapa waktu ia jalani. Sebab, kontraknya tidak diperpanjang.

Sekarang Indra menjadi seorang asesor batik yang sudah menyebarkan ilmunya antar negara. Selain memasarkan produk batiknya, Indra mengajar untuk para pembatik pemula. Kami ikut menyaksikan proses Indra memproduksi batik di teras rumahnya. Semua ia lakukan perlahan tapi pasti.

Tangan Indra lincah melukis motif awal batik di kain berukuran sehelai baju. Jari-jarinya terampil membentuk pola garis melengkung, dengan dasar cap gambar “Ikan Marlin”. Cap ini sebagai pertanda batik yang akan dihasilkan adalah khas punya pengrajin di Kota Batam. Selain motif “Ikan Marlin”, Batam memiliki motif “gonggong”, dan motif merica (sahang). “Motif marlin sekarang lagi trend di Batam,” kata Indra sambil terus mengejar pesanan konsumennya. 

Pria kelahiran 1978 ini bercerita sudah membatik sejak di bangku sekolah dasar (SD). Bahkan ketika SMP di Pekalongan, membatik sudah menjadi penghasilan untuk menambah uang belanja sekolah Indra. Pekerjaan membatik digelutinya hingga tamat sekolah. 

Namun, pada saat Indonesia dilanda krisis moneter, pengrajin batik bangkrut. Beberapa rumah produksi dan galeri batik tutup. Setelah itu, Indra terpaksa mencari peruntungan lain di Kota Batam.

Pertama datang ke Batam, Indra mencoba menjadi karyawan di galangan kapal. Setelah itu ia bekerja di sebuah perusahaan. Namun tidak lama. Pada sebuah kesempatan ia bertemu dengan seorang pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Batam. Dari situ perlahan ia mulai mengetahui Batam memiliki batik. Indra tertarik untuk kembali mengasah kemampuan lamanya.

Sebagai pengrajin batik berpengalaman, menurut Indra, industri batik lambat berkembang akibat metodenya yang kurang tepat. Kebanyakan pengrajin belajar membatik dengan sistem canting atau lukis. Padahal sistem itu digunakan di Jawa bagi profesional.

Dalam kondisi itu, Indra mencoba memberi masukan agar metodenya diubah dari metode canting menjadi kontemporer abstrak yang dianggapnya lebih mudah untuk dipelajari. 

“Kalau kita meniru orang Jawa (menggunakan canting) membatik, itu sulit, karena mereka sudah melakukan itu sejak kecil,” kata Indra. 

Akhirnya metode membatik diubah menggunakan cat. Batik di Batam mulai tumbuh sejak 10 tahun yang lalu. Apalagi sampai saat ini pola kontemporer abstrak atau yang menggunakan cat lebih diminati daripada pola baku dengan canting. “Sebenarnya apapun yang kita buat berlaku untuk pasar. Batik bisa berkembang, kalau tidak laku pembatik akan hilang,” kata Indra.  

Selain menggunakan canting lebih sulit, waktu mengerjakannya lebih lama. Akibatnya, harga kain batik mahal. “Kalau harga kain batik ini tergantung berapa lama pengerjaan juga. Kalau canting memakan waktu berhari-hari, pembeli harus bayar berapa, apalagi Batam belum ada nama soal batik ketika itu,” katanya. 

Setelah perubahan pola itu, Batik di Batam mulai berkembang. Saat ini dua meter kain batik dengan motif kontemporer abstrak bisa dijual Indra Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per helai. “Sepuluh tahun lalu tidak dilirik kain batik Batam ini. Sekarang sudah membudaya,” kata dia. 

Setelah itu pada 2019 kondisi batik di Batam sudah mulai terkenal. Salah satunya akibat dukungan pemerintah yaitu istri Wali Kota Batam, Marlin Agustina. Saat itu Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) mulai hadir di tengah pengrajin, termasuk mendukung dan mendorong Indra menjadi pelatih bersertifikat atau yang disebut asesor.

“Pelatihan Dekranasda ini saya mendapat lisensi asesor dari Kementerian Industri dan Perdagangan, sertifikat ini hanya didapat 100 lebih orang se Indonesia, di antaranya toga orang di Sumatera, satu orang di Provinsi Kepri,” kata dia. 

Indra mengatakan, pengrajin batik harus sepenuhnya didorong pemerintah daerah, seperti di Batam melalui Dekranasda beberapa pegawai pemerintah dianjurkan menggunakan batik buatan pengrajin di Batam. “Bahkan melalui Bu Marlin, dicanangkan perwako mewajibkan seluruh pegawai di Batam menggunakan batik buatan pengrajin di Kota Batam,” katanya. 

Indra mengatakan, sampai saat ini sudah terdapat sekitar 25 Kelompok Usaha Daerah (KUD) Batik Kota Batam. Selain itu, setelah batik tumbuh di Batam, beberapa komunitas dan pengrajin bertambah. 

Bertahan di Tengah Pandemi
Indra sangat merasakan merosotnya omzet penjualan batiknya setelah dihantam pandemi. Bahkan sampai 80 persen. 

Penjualan batik karyanya dijual biasanya di beberapa mall di Kota Batam, tetapi pengunjung mall turun drastis setelah pandemi. Apalagi pengunjung tersebut berasal dari wisatawan lokal maupun mancanegara. “Bahkan barang yang sudah kita titip di beberapa toko saat pandemi kita tarik lagi,” kata Indra. 

Ia melanjutkan, sebelum pandemi dalam satu minggu dia bisa mendapatkan omzet hingga Rp 10 juta. Tetapi saat pandemi mencari omzet Rp 5 juta bisa dalam waktu dua bulan. 

Menghadapi kondisi itu, kata Indra, dia lantas lebih fokus kepada promo penjualan batiknya secara online, seperti di beberapa media sosial seperti Instagram, Facebook dan lainnya. Selain itu, untuk kembali mendapat pembeli, Indra menerapkan diskon besar-besaran. Seperti diskon beli satu dapat 2. “Biasanya kita jual Rp 500 ribu sekarang hanya Rp 350 ribu  untuk setiap helai kain,” katanya. 

Bahkan sebelum pandemi, proyek pembuatan batik dari konsumen Indra harus dilakukan secara berkelompok. Selain akibat banyaknya pesanan, hal itu dilakukannya juga supaya pengrajin yang lain di Kota Batam ikut tumbuh. 

Rumah produksi Indra memang hanya di teras rumah, tetapi tempat ini dijadikan lokasi rutin kunjungan wisatawan mancanegara dari Singapura dan Malaysia sebelum pandemi. Selain membeli batik biasanya wisatawan juga ikut belajar membatik. Tetapi saat pandemi kondisi itu tidak ada lagi. Indra hanya berharap kepada orderan melalui media sosial yang ia dapatkan setiap bulan.

YOGI EKA SAHPUTRA

Baca juga: Pesisir Selatan Buat Batik Motif Covid-19 untuk Buah Tangan Wisatawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus