MENGHARAPKAN kenaikan gaji pegawai negeri dalam waktu dekat barangkali hanya akan menggantang asap. Kendati Pemerintah akan mendapatkan tambahan penghasilan dari kenaikan harga minyak dan gas, tipis harapan bahwa Presiden Soeharto akan mengumumkan kenaikan gaji pegawai negeri, pada pidato awal Januari 1991 nanti. Dewasa ini, perhatian Pemerintah bulat-bulat tertuju pada inflasi yang tampaknya belum bisa dijinakkan. Lebih dari itu, laju inflasi bergerak ke arah double digit alias 10% ke atas. Ini berbahaya. Tak heran bila dalam sidang kabinet pekan lalu Presiden sampai menginstruksikan agar inflasi dikendalikan dan diturunkan. Mengapa instruksi itu sampai dua rupa -- kendalikan dan turunkan? Untuk tahun 1990 ini, Pemerintah agaknya tak melihat kemungkinan untuk menurunkan inflasi. Sampai bulan Oktober inflasi saja sudah mencapai 9,14-%. Kalender 1990 tinggal lembaran November dan Desember, dan inflasi dalam periode itu tampaknya tak mungkin lagi dibikin negatif. Soeparno, M.Sc., Kepala Bagian Statistik Harga Konsumen Harga Perdagangan Besar dari BPS (Biro Pusat Statistik), tak melihat peluang bahwa inflasi bisa diturunkan tahun ini juga. Ia justru melihat beberapa faktor yang masih akan membakar inflasi. Pertama, pada pertengahan Oktober ada kenaikan minyak pelumas dan tarif telepon. Kedua, beberapa daerah penghasil beras sedang mengalami paceklik. Ketiga, sejumlah kota belum mengalami kenaikan harga semen, sepeda motor, beras, dan terutama obat-obatan. Maka, menurut perkiraan Soeparno, inflasi pada bulan November kemungkinan besar bisa dikendalikan sampai sekitar 0,5%. Hanya pada bulan Desember, mungkin laju inflasi agak kecil karena sayur dan buah-buahan sudah musim. Truk-truk impor sudah mulai masuk sehingga ada kemungkinan tarif angkutan bisa dikendalikan. Malah tidak tertutup kemungkinan harga jatuh sehingga terjadi deflasi. "Tapi, jangan mengharapkan akan terjadi deflasi sampai 0,5%," tambah Soeparno. Pejabat BPS itu optimistis bahwa inflasi tahun ini bisa dikendalikan pada satu angka, tapi tidak akan lebih kecil dari 9%. Iwan Jaya Azis, pengamat ekonomi dari UI, memperkirakan, inflasi tahun 1990 ini bisa menembus double digit. "Coba amati perkembangan berikut ini," katanya. "Januari-Agustus tercatat 3 angka inflasi di atas 1%: April (1,42%), Juni (1,29%), bahkan Juli (2,21%). Dari tiga bulan itu saja rata-rata inflasi sudah 1,64%. Secara total selama delapan bulan, angka inflasi rata-rata sudah 7,6%. Kalau kita memakai patokan ini, inflasi setahun akan menjadi 12/8x7,6% = 11,4%," demikian Iwan. Angka-angka itu tercantum dalam catatannya yang dikirim ke TEMPO. Adakah peluang inflasi turun sebelum tahun fiskal (April 1990-Maret 1991) berakhir? Soeparno, yang mengaku bukan pakar ekonomi, tak berani meramalkan. Tapi para pakar dan pelaku ekonomi masih yakin, inflasi akan bisa dikendalikan pada satu angka (single digit). Alasannya, beberapa kebijaksanaan Pemerintah waktu itu diperkirakan sudah akan terlihat dampaknya. Misalnya, pembukaan keran impor truk. PT Krama Yudha Tiga Berlian Motor (KTBM), pekan lalu telah mendatangkan 60 unit truk tipe FP 418 yang berbobot 16,8 ton. Ini merupakan tahap pertama dari 1.600 unit truk yang dijatahkan Pemerintah untuk perusahaan milik Sjarnubi Said itu. Menurut Ir. Mazwir, Direktur Pemasaran KTBM, perusahaan mendapat jatah impor 1.300 unit truk kategori III (bobot di atas 5 ton), sedangkan yang 300 unit lagi masuk kategori II (di bawah 5 ton). Direksi PT KTBM menjanjikan, pada akhir Desember, setidaknya 1.152 unit sudah akan masuk. Truk FP 418 impor itu akan dijual Rp 77,5 juta per unit -- lebih mahal dibandingkan truk buatan lokal KTBM yang harga resminya Rp 70 juta. Tapi, harga truk lokal di pasaran sebenarnya sudah mencapai Rp 10 juta di atas harga resmi. "Kedatangan truk-truk ini setidaknya akan memukul para spekulan di pasar truk," ujar Wakil Presdir PT KTBM, Herman Z. Latief, kepada Indrawan dari TEMPO. Jika rencana impor 3.000 truk tahun ini dilaksanakan, setidaknya ada harapan bahwa harga truk tidak akan naik gila-gilaan dan tarif angkutan tidak akan melonjak lagi. Faktor lain yang mungkin bisa meredam inflasi adalah tight money policy yang sudah dilancarkan Bank Sentral sejak Agustus lalu. Yang pertama, tentunya adalah pemberangusan KLBI (kredit likuiditas Bank Indonesia) yang sudah jatuh tempo. Kedua, penjualan SBI (sertifikat BI) kepada masyarakat dengan bunga 18%. Namun, seorang pakar ekonomi yang bekas Direktur BI meragukan efektivitas kebijaksanaan moneter ini. Ia memperkirakan, jumlah KLBI yang akan disedot dari April hingga Desember 1990 tak kurang dari Rp 3,8 trilyun. Pada triwulan pertama 1991, KLBI sebesar Rp 1,3 trilyun masih akan masuk kerangkeng BI. Total keseluruhan akan mencapai Rp 5,1 trilyun. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin rupanya tak akan meninjau kembali kebijaksanaan penarikan ini karena KLBI ternyata ikut berperan menyulut inflasi. Namun, bekas direktur BI tersebut meragukan efektivitas penarikan KLBI yang dilakukan secara drastis. Ia setuju bila pengetatan KLBI diteruskan. "Tapi, masa penyedotan sebaiknya diperpanjang dan penyedotan sedikit saja. KLBI kan telah berjasa membesarkan bank-bank pemerintah. KLBI juga telah membesarkan pabrik-pabrik yang tadinya tersendat-sendat," katanya. Sementara itu, kebijaksanaan BI, yang menaikkan suku bunga SBI sampai 18%, telah mendorong kenaikan suku bunga secara gila-gilaan. Ini bisa berbahaya untuk sistem perbankan. "SBI yang terbeli baru mencapai Rp 2,5 trilyun. Angka itu tak ada artinya dibandingkan jumlah uang beredar dalam M2 yang kini berjumlah sekitar Rp 65 trilyun," kata mantan direktur BI tadi. M2 adalah M1 (uang kartal dan giral) ditambah uang kuasi (seperti deposito dan tabungan). SBI ternyata juga telah mendorong bank-bank ke arah persaingan yang tidak wajar lagi, bahkan bisa saling menggorok leher mereka sendiri. Lihat saja bagaimana bank-bank berlomba menarik dana masyarakat. Mereka menawarkan suku bunga tabungan dan deposito antara 19% dan 25%, itu pun sudah dengan embel-embel hadiah. Bisa dibayangkan kredit yang mereka lepaskan tentu diganduli bunga yang lebih tinggi. Apakah angka inflasi sebesar 9,14% masih wajar? Menurut pengamat ekonomi dari CSIS, Dr. Hadi Soesasto, jika dibandingkan inflasi di AS yang kini sudah mencapai 6,2% (Januari-Oktober), inflasi Indonesia yang sekarang mencapai 9,14% sebetulnya belum berbahaya. "Sebagai negara berkembang, inflasi rupiah kita masih aman, jika bisa dikendurkan sampai 6% di atas inflasi dolar," kata Hadi. Maksudnya, jika nilai rupiah terhadap dolar diperlemah sampai 6% setahun, pemilik modal masih akan percaya pada rupiah. Sikap teknokrat rupanya lain. "Jika inflasi dikendurkan sampai 12%, itu kan berarti biaya produksi di dalam negeri akan terdorong naik," kata Prof. Dr. Irzan Tandjung, yang menjabat Asisten Menko Ekuin untuk bidang Moneter, Neraca Pembayaran, dan Keuangan Negara. Dikemukakannya bahwa inflasi perlu dikendalikan, pertama-tama untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya mereka yang berpenghasilan tetap. Dr. Irzan mengakui bahwa, dengan inflasi sebesar 9%, perekonomian jadi lebih hidup, tapi itu hanya sementara. "Jangan memikirkan investasi saja. Apakah setelah itu barangnya masih akan laku dijual?" katanya. Satu hal yang juga tidak bisa dilupakan juga ialah bahwa kini Indonesia sedang menggalakkan ekspor nonmigas. Jika inflasi dibiarkan menyala sampai 12%, itu berarti biaya produksi akan naik sekitar 12%. Untuk mempertahankan daya saing ekspor, berarti Pemerintah harus melepaskan kendali kurs rupiah terhadap dolar. Hal ini tentu akan menimpakan kerja berat bagi Menteri Keuangan dan Gubernur BI. Artinya, Pak Sumarlin dan Pak Mooy harus mencegah agar orang tidak melarikan modal dengan menabrak dolar. Namun, kekhawatiran seperti itu mungkin sudah tidak pada tempatnya lagi. "Selama ini, kalau kurs rupiah bergoyang keras, yang biasa menabrak dolar sebenarnya adalah bank-bank yang kelebihan rupiah," kata seorang bankir swasta. Dalam situasi seperti sekarang, kata bankir tadi, bank-bank tak mempunyai banyak peluang lagi untuk membeli dolar. "Dulu, kita depositokan di luar negeri, tapi sekarang ini semua bank kekurangan dolar," ujarnya lagi. "Dan semua ramai-ramai pinjam dolar dari luar negeri untuk menutup kekurangan rupiah. Kami justru sekarang meminjam dolar dari luar negeri untuk membayar KLBI, dan memenuhi kredit yang sudah disetujui," bankir ini bicara terus terang. Melihat inflasi yang tinggi, bank-bank rupanya takut, jangan-jangan kurs rupiah terhadap dolar akan digelincirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan inflasi 7%, depresiasi rupiah terhadap dolar diulurkan BI sampai 5%. Jika inflasi mencapai 10% per tahun, ada dugaan depresiasi rupiah akan diambangkan sekitar 7%-8%. Itu sebabnya, pinjaman dari luar negeri oleh bank-bank umumnya dimintakan jaminan kurs tetap (swap) di BI kendati untuk itu mereka harus membayar premi berkisar 10%-11% per tahun. Dari swap, BI masih bisa memetik keuntungan 3%-4%. Hal ini tentu merupakan sumber penghasilan yang tidak kecil bagi BI. Berapa besar jumlah pinjaman swasta ini, sampai sekarang ini dirahasiakan BI secara ketat, tapi diduga telah berkisar US$ 1,5 milyar-US$ 2 milyar. Jika inflasi bisa dikendalikan, tentu depresiasi rupiah terhadap dolar juga akan lebih kecil. Akibatnya, persentase keuntungan BI dari premi swap akan bertambah. Tapi, tentu bukan itu yang dituju BI. Lebih penting lagi, jika inflasi terkendali, daya beli masyarakat tak akan banyak berkurang, sementara ekspor nonmigas terus berkembang. Dan mungkin waktu itu gaji pegawai negeri bisa dinaikkan. Kapan? Gubernur BI, Prof. Dr. Adrianus Mooy pekan lalu mengatakan bahwa inflasi yang wajar adalah jika rata-rata tidak melampaui 0,5% per bulan. Dan angka serendah ini bukan saja layak ditunggu, tapi sangat layak diperjuangkan. Max Wangkar dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini