Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Inflasi : momok di ambang dua digit

Hingga oktober 1990, inflasi mencapai 9,14 %. likuiditas tinggi dan mobilitas dana oleh sektor perbankan meningkat. bi mengurangi kredit likuiditas serta meningkatkan penjualan sbi.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI Oktober 1990, inflasi telah mencapai 9,14%. Angka ini sungguh mengejutkan. Apa yang telah terjadi, hingga laju inflasi berpacu menuju ambang dua digit? Selama ini yang banyak disorot adalah aspek moneter dari inflasi. Misalnya pertumbuhan likuiditas yang tinggi dalam enam bulan pertama 1990 penurunan likuiditas (liquidity requirement) bank sejak Pakto sehingga lebih banyak dana yang dapat dilepas untuk kredit dan peningkatan mobilisasi dana oleh sektor perbankan. Pertumbuhan total kredit sektor perbankan sampai dengan bulan Juni 1990, dibanding dengan Juni 1989, mencapai 60%, sedangkan pertumbuhan bank swasta mencapai 126% (tahun 1989 pertumbuhan kredit adalah 45%). Dengan mobilisasi dana yang tinggi, apakah BI bisa dikatakan terlambat mengantisipasi dampaknya? Harus diakui, pertumbuhan likuiditas sudah tinggi ketika pengetatan dimulai. Ini bisa terjadi karena salah perkiraan mengenai respons sektor perbankan terhadap Pakjan. Jadi, walaupun Pakjan secara jelas menyatakan bahwa kredit likuiditas akan diturunkan, sektor perbankan tidak segera menekan jumlah kredit yang mereka salurkan. Sebaliknya dengan dalih "tak ada pilihan lain", bank-bank berjuang untuk ekspansi dan pangsa pasar. Di luar keterlambatan antisipasi, juga ada yang mempertanyakan kemampuan BI untuk mengurangi likuiditas. Perlu diperjelas bahwa yang dikritik bukan kemampuan BI sebagai badan pelaksana, tapi kenyataan bahwa adanya sistem devisa bebas yang mempersulit kontrol likuiditas. Memang, BI mempunyai dua instrumen untuk melakukan kontrol tersebut. Pertama, mengurangi kredit likuiditas. Kedua, meningkatkan penjualan SBI dengan meningkatkan tingkat bunga SBI. Kenyataan menunjukkan, kredit likuiditas sudah bisa ditarik kembali sekitar Rp 3 trilyun pada akhir September lampau. Namun, secara netto masih ada peningkatan likuiditas karena ternyata permintaan akan SBI justru turun -- biarpun bunganya sudah naik dari 14% menjadi 18% -- dibanding permintaan pada awal tahun ini. Lebih penting lagi adalah meningkatnya pemasukan devisa karena bertambahnya pinjaman luar negeri baik dari sektor bank maupun nonbank. Yang juga perlu diingat adalah bahwa karena adanya sistem devisa bebas, pengendalian inflasi menjadi mutlak. Walaupun pengetatan likuiditas kelihatannya belum berhasil menekan laju inflasi, diperkirakan dalam jangka waktu tertentu pengetatan itu akan "menggigit" juga. Alasannya, berbagai kredit yang menggunakan fasilitas kredit likuiditas akan jatuh tempo dalam bulan-bulan ini dan tidak akan diperbarui lagi. Namun, andaikan pengetatan likuiditas tidak sepenuhnya berhasil menurunkan inflasi dalam sisa tahun ini, bagaimana upaya penurunan inflasi dari sisi lain? Kita tahu, peningkatan permintaan dapat diatasi dengan cepat jika keran impor dibuka. Hal itu sudah dilakukan Pemerintah dengan impor semen dan truk. Namun, impor komoditi tertentu rupanya tidak mudah dilaksanakan, padahal ketentuan bebas impor sudah dicanangkan Mei lalu. Penyebabnya belum jelas. Mungkin karena importir tidak sungguh-sungguh berusaha, mungkin barangnya langka, atau komoditi yang dipesan tidak bisa cepat disediakan. Maka, kondisi seller's market dengan permintaan yang lebih besar dari penyediaan, mungkin masih akan berlangsung agak lama. Faktor-faktor cost push -- misalnya kenaikan harga BBM dan tarif jasa -- diperkirakan tidak lagi terlalu banyak mempengaruhi inflasi. Namun, biaya tingkat bunga harus juga dipertimbangkan sebagai satu aspek peningkatan biaya produksi. Dengan dua bulan yang tersisa dalam 1990, inflasi hanya dapat ditekan di bawah dua digit kalau terjadi penurunan (yakni peningkatan inflasi yang negatif) atau tidak terjadi peningkatan harga lagi (rata-rata hanya dapat meningkat sebesar 0,4% per bulan). Jangan lupa, masih ada Natal dan liburan sekolah hingga sulit memastikan bahwa pengendalian inflasi akan sukses. Pertanyaan yang timbul adalah, jika pada akhirnya inflasi menjadi 10-12% untuk tahun 1990, apakah hal tersebut akan mempunyai dampak negatif. Dampak makro yang dirisaukan adalah jika inflasi naik, diperkirakan depresiasi rupiah juga akan meningkat dan antisipasi tersebut dapat menyebabkan capital flight. Sampai November 199-0, depresiasi rupiah terhadap dolar adalah 4,2% dibandingkan dengan 4,7% pada tahun 1988 dan 4% pada tahun 1989. Apa perkiraan untuk 1990? Ada dua perubahan yang berlawanan dalam penyesuaian kurs rupiah. Selisih inflasi yang akan lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya adalah pertanda depresiasi harus lebih tinggi. Walaupun inflasi negara-negara maju diperkirakan akan lebih tinggi -- yaitu mencapai sekitar 5-6% dibanding dengan 4,4% pada tahun 1989 -- selisih inflasi masih akan mencapai sekitar 5-6%. Namun, karena nilai ekspor migas naik, penyesuaian yang diperlukan adalah apresiasi rupiah. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, depresiasi diperkirakan 5,5-6% untuk 1990. Angka ini masih dalam batas-batas yang dapat "diterima" dan tidak perlu membuat orang berpikir tentang devaluasi. Tapi kebijaksanaan tersebut akan mengurangi daya saing ekspor nonmigas karena selisih inflasi tidak diimbangi sepenuhnya dengan depresiasi. Jika kebijaksanaan yang dipilih adalah mempertahankan ekspor nonmigas, depresiasi yang terjadi akan lebih tinggi dengan risiko: ketidakstabilan makro. Untuk saat ini pilihan pertama lebih tepat asalkan disadari bahwa windfall minyak sifatnya sementara dan penggalakan ekspor nonmigas harus terus dijalankan. Hanya masih ada pertanyaan lain, yakni bagaimana prospek untuk mengendalikan inflasi di bawah dua digit tahun depan. Berbagai faktor penyebab inflasi pada tahun 1990 diperkirakan tidak akan ada atau akan berkurang pada tahun 1991 sehingga dengan sendirinya inflasi akan mereda. Penurunan likuiditas akan mulai tampak tahun depan walaupun proses penyesuaian akan memakan waktu cukup lama, mungkin sampai akhir tahun. Untuk menekan inflasi di bawah dua digit, kebijaksanaan fiskal juga perlu menunjang. Maka, dampak inflasi dari kebijaksanaan fiskal yang menyangkut penerimaan minyak harus dipertimbangkan. Terakhir dan yang penting ialah agar peningkatan kredit diharapkan bisa diimbangi dengan peningkatan supply barang. Namun, supaya dana langka yang tersedia dari sektor perbankan dan pasar modal dapat digunakan untuk investasi yang produktif, deregulasi di sektor riil tak mungkin dihindari, begitu pula penyediaan infrastruktur dan membenahi berbagai hal yang selama ini mempersulit investasi, perlu terus dilaksanakan. Dan kesemua itu mutlak untuk kesinambungan ekspor nonmigas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus