DUA gajah bertarung, dua gajah tertawa, dan dua pelanduk mengumbar senyum. Agaknya, itulah ungkapan yang paling cocok untuk menggambarkan akhir tender ulang Sentral Telepon Digital Indonesia (STDI) II, yang diumumkan Sabtu pekan lalu. Hasilnya mirip tender pertama, yakni antiklimaks. Bedanya, tender pertama ditunda, tanpa pemenang. Kini lelang dituntaskan, tapi muncullah dua pemenang. Tender dengan dua pemenang, barangkali, hanya ada di Indonesia. Itulah hasil penundaan selama delapan bulan, sejak tender pertama batal, awal Maret 1990. Waktu itu proyek STDI II diperebutkan dengan ketat oleh empat peminat, dua di antaranya adalah AT&T (American Telephone & Telegraph Company) dari Amerika Serikat dan NEC (Nippon Electric Corporation) dari Jepang. Kedua perusahaan itu memang "gajah" ukurannya. Kebesaran keduanya tampak semakin menyilaukan, karena yang satu (AT&T) terang-terangan didukung oleh Presiden AS, George Bush, sementara NEC jelas perusahaan telekomunikasi nomor satu di Negeri Sakura. Pembaca belum lupa barangkali, ketika proses tender pertama berlangsung, George Bush menyempatkan diri untuk menulis surat kepada Presiden Soeharto. Waktu itu Bush berpesan, supaya tender dilaksanakan seadil mungkin. Kini, pesan Bush sepenuhnya terlaksana. Sesuai dengan keputusan pemerintah RI, AT&T bersama NEC muncul sebagai pemenang tender STDI II. Bagaimana bisa seunik itu? Mudah, ternyata. Kapasitas STDI II, yang semula direncanakan hanya 350 ribu SST, kini dilipatduakan menjadi 700 ribu SST. AT&T memperoleh 350.000 SST, NEC mendapat jumlah yang sama banyaknya. Dua pelanduk yang tersenyum, tak pelak lagi, adalah perlambang untuk dua perusahaan lokal yang akan menjadi mitra AT&T dan NEC. Satu yang sudah pasti adalah PT Elektrindo Nusantara, anak perusahaan dari Grup Bimantara. Sedang mitra lokal yang satu lagi sampai saat ini masih dalam proses dipilih-pilih, alias belum ditetapkan. Menurut sebuah sumber TEMPO, pemilihan mitra lokal yang kedua tidak akan main tunjuk seperti yang dilakukan pada Elektrindo Nusantara, tiga tahun lalu. Prosesnya akan melalui tender yang berlaku bagi perusahaan-perusahaan nasional baik BUMN maupun swasta. Terlepas dari soal siapa yang akan menjadi mitra lokal kedua, STDI II sudah telanjur merupakan proyek gengsi. Padahal, kalau dilihat dari nilainya, tidaklah terlalu mencengangkan. Ketika tender pertama berlangsung, tawaran tertinggi yang diajukan Alcatel, hanya 382,2 juta dolar AS. Sementara itu, NEC dan AT&T masing-masing mengajukan 265,4 juta dan 297,6 juta dolar. Pokoknya, tidak lebih tinggi dari 300 juta dolar. Bandingkan dengan proyek pabrik olefin di Cilacap, yang diduga akan menelan investasi sekitar 1,7 milyar dolar. Tak dapat tidak, hasil tender ulang ini pasti lebih rendah dari tender pertama. Soalnya, semua peserta tentu akan menurunkan penawaran jika ingin keluar sebagai pemenang. Namun, Dirut Perumtel, Cacuk Sudarijanto, tidak bersedia mengungkapkan angka penawaran yang diajukan oleh dua pemenang tersebut. "Semuanya masih dihitung hingga saat penandatanganan kerja sama, Januari 1991, tiba," katanya. Namun, menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, tawaran AT&T pada tender ulang itu senilai 298 juta dolar. Rinciannya, 103 juta dolar berupa pinjaman komersial berbunga 11%, yang akan digunakan untuk mengimpor barang dan jasa. Sisanya, yang 195 juta dolar, berupa pinjaman lunak berbunga 3,5%. Pinjaman ringan sebesar itu, konon, tidak semuanya diserap proyek STDI II. Sebab, 90 juta dolar di antaranya merupakan dana yang dapat digunakan pemerintah Indonesia untuk keperluan di luar STDI II. Jadi, dari rincian itu bisa dihitung bahwa proyek STDI II bagian AT&T hanya bernilai sekitar 208 juta dolar saja. Akan halnya penawaran NEC, menurut sumber ini, jatuhnya 252 juta dolar. Berbeda dengan AT&T, perusahaan Jepang ini tidak menyediakan dana menganggur di luar STDI II. Tapi pinjaman lunak yang diberikannya cukup besar juga, sekitar 175 juta dolar. Tidak bisa dipastikan, apakah keterangan sumber itu benar atau tidak. Kalaupun kelak terbukti itu salah, tak bisa tidak akan muncul pertanyaan tentang kriteria apa yang digunakan pemerintah untuk memenangkan NEC dan AT&T. Menurut Cacuk, di samping harga penawaran, teknologi pun merupakan pertimbangan yang utama. Syaratnya, selain teknologi yang digunakan, kedua perusahaan itu harus bisa bekerja sama, STDI II juga harus bisa dihubungkan dengan STDI I -- buatan Siemens. Kriteria lain, yang tak kalah pentingnya, adalah soal pendanaan. Pemerintah telah mensyaratkan bahwa pemenang harus bersedia menyediakan pinjaman lunak berbunga 3,5%, dengan masa cicilan 18%, plus tenggang waktu tujuh tahun. "Semua negara peserta tender sudah menyanggupi akan memberikan dana lunak, jika perusahaannya keluar sebagai pemenang," kata Cacuk kepada Dwiyanto Rudi dari TEMPO. Namun, karena yang memenuhi syarat teknologi hanya dua, AT&T dan NEC-lah yang menjadi pemenang. Hal lain yang juga terasa mengganjal adalah alasan Pemerintah dalam menaikkan kapasitas STDI II dari 350 ribu SST menjadi 700 ribu SST. Banyak pengamat menduga, itu semata-mata dilakukan karena alasan politis. Maklum, dua negara asal NEC dan AT&T merupakan sahabat Indonesia dalam soal utang-piutang. Kendati tergolong kecil, AS tahun lalu memberikan pinjaman 90 juta dolar. Jepang, melalui IGGI, meminjamkan 1.460 juta dolar. Namun, alasan politis semacam itu dibantah habis-habisan oleh Menparpostel Soesilo Soedarman. Menurut Menteri, peningkatan kapasitas STDI II dilakukan untuk mempercepat penambahan SST di Indonesia. Seharusnya, saat ini Indonesia sudah memiliki 7 juta SST, sementara pada Pelita V ini, Pemerintah baru mencanangkan 1,4 juta SST. "Jadi, itulah alasannya," kata Menteri kepada Iwan Qodar Himawan dari TEMPO. Nah, dengan munculnya dua pemenang tender sekaligus, Pemerintah mengharapkan kebutuhan telepon di tahun 2000 yang sebanyak 10 juta SST bisa terpenuhi. "Kita tidak ingin menjadi yang paling buncit," ujarnya. Sebagai perbandingan, Singapura kini telah memiliki telepon sebanyak 35% dibanding jumlah penduduknya. Sedang Malaysia sudah mencapai angka rasio 15%. Akan halnya Indonesia, 5% pun belum. Lalu, apakah kebutuhan itu sudah sangat mendesak hingga penambahan kapasitas STDI II dilakukan begitu mendadak? "Ah, saya kira tidak mendadak. Keputusan ini tidak bedanya dengan impor semen atau impor truk. Jadi, sesuai dengan hasil evaluasilah," bantahnya. Menurut rencana, setelah kontrak diteken pada Januari nanti, AT&T, NEC, serta dua perusahaan lokal akan memasang jaringan STDI II selama tiga tahun. Untuk memperlancar kerja besar itu, dua raksasa tersebut akan mengimpor 400 ribu SST. Sisanya, yang 300 ribu, akan dipasok oleh mitra lokal. Semua itu akan dipasang pada lebih dari 110 lokasi di Tanah Air. Pokoknya, ke-700 ribu SST ini akan dipasang di tempat-tempat yang benar-benar membutuhkan. "Artinya, pemerataan dan prioritas akan merupakan bahan pertimbangan pemasangan SST yang baru," kata Arnold Ph. Djiwatampu, Kepala Direktorat Telekomunikasi. Sebuah pekerjaan yang tidak gampang, memang, kendati hanya sekadar memilih lokasi. Dengan usainya tender ulang ini pemerintah Indonesia bolehlah bernapas lega. Untuk sampai pada keputusan terakhir, Pemerintah menghabiskan waktu hampir empat tahun lamanya -- termasuk studi kelayakan yang dilakukan April 1987. Semula, tim kelayakan yang dipimpin oleh Menristek B.J. Habibie harus memeriksa lamaran dari 45 perusahaan telekomunikasi dunia. Tim yang beranggotakan 16 pakar telekomunikasi, pejabat pemerintah, dan tiga konsultan internasional itu akhirnya berhasil menciutkan peserta tender menjadi 11 perusahaan. Dan baru pada Oktober 1989, peserta tender dapat diperkecil menjadi lima perusahaan. Setelah itu, barulah terjadi perang diplomasi. Tidak hanya George Bush yang harus dihadapi dengan hati-hati, tapi juga para pengambil keputusan di Jepang dan Menlu Garreth Evans yang menyuarakan kepentingan Ericsson cabang Australia. Presiden Soeharto berhasil mengarahkan Indonesia keluar dari saat-saat kritis tender pertama, tatkala AT&T dan NEC bersaing ketat. Waktu itu Presiden menjanjikan bahwa tender dilaksanakan seadil mungkin. Hasilnya seperti yang terlihat kini. Ada dua pemenang mencapai garis akhir, setelah berpacu dalam proses tender yang panjang dan melelahkan. Budi Kusumah, Moebanoe Moera, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini