Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Empat Naga Penguasa Kedelai

Harga kedelai naik secara bersamaan dalam tiga bulan terakhir. KPPU menduga ada pengaturan pasar oleh para pemain besar.

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan Ato ke sebuah gudang distribusi kedelai di Tangerang, Banten, Selasa pekan lalu, berakhir sia-sia. Hari itu dia belum bisa mendapat pasokan bahan baku buat pabrik tahunya yang memerlukan 30 ton kedelai per pekan. Padahal stok yang tersimpan di gudangnya hanya cukup untuk produksi tahu putih selama dua hari. "Distributor bilang importir belum buka harga, belum mengeluarkan DO (delivery order)," katanya.

Pengusaha yang sudah membuat tahu sejak 1979 ini curiga, dirinya sedang dikerjai para importir kedelai. Pada Mei lalu, pabriknya masih memproduksi tahu dengan kedelai kualitas terbaik merek Tiga Roda, yang diimpor PT Cargill Indonesia, seharga Rp 6.700 per kilogram. Satu kuintal kedelai bisa untuk produksi 650 potong tahu.

Sebulan berselang, kedelai Tiga Roda sudah dijual Rp 7.800 per kilogram. Dia tidak beralih ke kedelai berkualitas sedang. "Sebab, dua-tiga hari kemudian, harga kedelai kelas dua, seperti Cap Gunung dan Cap Bola, juga naik," ujarnya.

Ketika harga kedelai Tiga Roda menembus Rp 8.000 per kilogram, kedelai Cap Bola dijual Rp 7.800 per kilogram. Ato lalu mengganti semua bahan baku dengan kedelai berkualitas paling jelek, bermerek SB, yang harganya sudah mencapai Rp 7.300 per kilogram. Dia pun terpaksa menurunkan produksi, dan sebaliknya menaikkan harga.

Harga tahu yang tadinya hanya Rp 500 per potong harus didongkrak hingga Rp 1.600 per potong. Padahal, kalau harganya terus naik dan dianggap mahal, tahu tak mungkin bersaing dengan daging ayam dan sapi di pasar.

Kecurigaan Ato mungkin beralasan. Sejak tak lagi dipegang Bulog, saat ini hanya ada beberapa importir kedelai yang praktis menguasai pasar komoditas kacang-kacangan itu. Para pemain utama yang kerap disebut "empat naga" itu adalah PT Cargill Indonesia, PT Gerbang Cahaya Utama, PT Alam Agri Adi Perkasa, dan PT Cita Bhakti Mulia.

Sejak 2008, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah menduga adanya praktek kartel di pasar kedelai. "Ada gejala yang unik. Dari mekanisme monopoli negara, kemudian diserahkan ke pasar. Lalu terbentuklah perusahaan-perusahaan yang menguasai pasar sampai 70 persen," kata Ketua KPPU Tadjuddin Noer Said. Pasar seperti itu tentu cenderung bersifat oligopolistik.

Di antara empat naga, Gerbang Cahaya merupakan pemain terbesar, yang menguasai 46 persen impor kedelai. Perusahaan yang berkantor di lantai tiga gedung Sampoerna Strategic ini mampu mendatangkan kedelai hingga 830 ribu ton dalam setahun. Adapun Cargill kebagian 28 persen impor kedelai.

KPPU mencatat, Cargill pernah mendatangkan 503 ribu ton kedelai pada 2008. Tapi, menurut Direktur Hubungan Masyarakat Cargill Rachmat Hidayat, tahun ini mereka hanya akan mengimpor 240 ribu ton.

Cargill membantah dugaan terlibat oligopoli. Rachmat mengatakan mereka tidak pernah mendiskusikan perihal harga, penjualan, ataupun wilayah distribusi kedelai dengan pihak lain. "Kami juga tidak menimbun. Stok kedelai yang ada di gudang kami hanya cukup untuk kebutuhan dua bulan."

Naga lainnya adalah Alam Agri Adi Perkasa. Dua tahun setelah berdiri pada 2006, Alam Agri sudah menguasai 10 persen pangsa pasar dengan mengimpor 178 ribu ton kedelai. Dan yang terkecil ialah Cita Bhakti, dengan penguasaan 4 persen pangsa pasar.

KPPU memang belum punya bukti kuat tentang pengaturan harga. Tapi mereka menilai kedelai tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar begitu saja. "Harus ada sistem penyangga untuk menangani komoditas strategis ini," kata Tadjuddin.

Perum Bulog sudah siap jika diberi tugas menjadi penyangga harga kedelai. Namun Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoe­so meminta dukungan penuh dari pemerintah berupa tanggungan selisih harga jika Bulog harus membeli kedelai dengan harga tinggi. "Kalau disuruh terjun bebas, kami sudah tertinggal dari pemain besar yang ada selama ini."

Eka Utami Aprilia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus