Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ali wardhana masih di banteng

Profil bekas Menko Ekuin dan pengawasan pembangun an prof.dr. Ali Wardhana. Ia menyambut ajakan Presiden Soeharto, yang menilai perlunya suatu kerja sama, suatu teamwork dalam kabinet pembangunan v.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU "revolusi" telah terjadi di ruang kerja Prof. Dr. Ali Wardhana: meja kerjanya tampak licin. Tak lagi bermegal-megol dengan tumpukan map, koran, majalah, dan buku, yang biasanya menggunung di atas meja kerjanya, bahkan ada yang tercecer di lantai - sehingga menutupi yang empunya ruangan itu dari pandangan mata tamunya. Sejumlah berkas dan buku ada yang ditaruh di lantai, diikat rapi dengan tali rafia oleh sekretaris pribadinya yang setia, Nani Gandabrata. Tapi bingkai berkaca dengan tulisan, A Clean Desk is a Sign of a Sick Mind - meja yang bersih adalah ciri jiwa yang sakit masih tetap tergantung di dinding kamar kerja bekas Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan RI itu. Mulai sakitkah Anda? "Oh, saya merasa sehat dan gembira," kata Ali Wardhana ketika ditemui TEMPO akhir pekan lalu. Mengenakan safari menteri berwarna hijau lumut, dengan cerutu Davidoff di tangan kanannya, Ali Wardhana tampak santai duduk di sofanya. Hanya lencana menteri tak lagi tersemat di dada kirinya tentu. "Kedudukan saya sekarang memang tidak lagi membutuhkan berkasberkas itu," katanya. Suaranya lapang. "Tapi siapa tahu Menko Ekuin yang baru memerlukannya." Tak begitu jelas apakah Menko Ekuin Radius Prawiro akan senang menerima warisan limbah bahan dari rekannya itu. Tetapi yang pasti, tidak akan sulit memindahkan bahan-bahan itu. Radius Prawiro kabarnya akan tetap menggunakan ruang kerjanya yang lama, yang letaknya bersebelahan dengan ruang kerja Ali Wardhana. Sedang Menteri Keuangan J.B. Sumarlin yang masih mondar-mandir dari Jalan Lapangan Banteng Timur 4 ke kantornya yang lama di Jalan Taman Suropati 2, Jakarta Pusat, kabarnya akan menempati kamar kerja Sekjen Departemen Keuangan. Sementara itu, wakil Sumarlin, Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura, yang sudah lama berkantor di lantai enam Departemen Keuangan, mungkin akan pindah tak jauh dengan kamar atasannya. Jadi, Anda masih akan terus berkantor di sini? "Ya, begitulah kira-kira, kalau para beliau tak keberatan," kata Ali Wardhana setengah berseloroh. Semula, ada dugaan bahwa Ali Wardhana akan diminta menjadi salah seorang wakil presiden Bank Dunia konon untuk urusan Timur Jauh. Ada pula yang bilang, doktor ekonomi lulusan Berkeley itu akan masuk ke Dana Moneter Internasional di Washington DC. Suatu spekulasi yang pernah juga beredar lima tahun silam. "Saya masih ingin dekat dengan teman-teman," katanya. Kabarnya kedua menteri senior yang berkantor di Lapangan Banteng juga ingin melihat Ali Wardhana berada di tengah mereka. Bisa dimengerti. Setelah 15 tahun.menjabat Menteri Keuangan RI, lalu salah seorang pencetuc gagacan deregulasi sewaktu menjabat Menko Ekuin, tidaklah mudah bagi AliWardhana untuk meninggalkan pentas pembangunan ekonomi Indonesia begitu saja. Lebih-lebih karena efek deregulasi itu mulai terasa dengan makin meningkatnya ekspor nonminyak. "Momentum yang baik ini harus kita jaga, agar tidak memukul balik," katanya. Ia sendiri merasa gembira melihat kedua pos yang pernah dijabatnya kini diteruskan oleh Radius Prawiro dan Sumarlin. Kedua menteri itu memang dikenal sebagai trouble shoorer sejak aman pecahnya krisis utang besar yang dibuat Pertamina sekitar 12 tahun silam. Sedang Ali Wardhana, yang selalu tampil dengan gaya yang tak tergopohgopoh, dikenal sebagai pemimpin yang tidak mudah meluluskan permintaan untuk membuat proyek yang menelan biaya besar. "Yang membuat saya cemas bukan keadaan ekonomi yang sulit, tapi masih kurangnya pengertian dari sementara orang yang menuding saya pelit, tak suka membela kepentingan dalam negeri," ujarnya. Sebentar ia menarik napas. "Orang suka lupa setelah harga minyak jatuh di tahun 1983, keadaan keuangan kita sebenarnya sudah payah." Indonesia memang masih bisa meraup harga ekspor minyak setinggi 35 dolar sebarel pada awal 1981. Tapi sejak Maret 1983, harga sudah jatuh menjadi 29,53 dolar per barel. Sekarang pihak pembeli Jepang malah menuntut harga yang lebih rendah dari 17 dolar sebarel. Ia lalu mengingatkan bahwa utang luar negeri pemerintah RI, yang seluruhnya mencapai sekitar 40 milyar dolar, sungguh bukan jumlah yang main-main. Besarnya utang itu, seperti sudah sering diberitakan, sebagian disebabkan naiknya gengsi mata uang yen terhadap dolar AS. Adalah Ali Wardhana dan Widjojo Nitisastro yang tengah berunding dengan pihak Jepang agar, paling tidak, meringankan beban utang akibat pukulan yendaka tadi. Hasilnya memang belum kelihatan. Tapi nama Ali Wardhana di mata kalangan pemerintah Jepang kabarnya diandalkan benar sebagai ekonom senior yang gigih ingin mengatasi atau setidaknya meringankan beban utang besar Republik. Ia menyambut ajakan Presiden Soeharto, yang menilai perlunya suatu kerja sama, suatu teamwork dalam kabinet yang baru dibentuk. Khusus dalam bidang Ekuin, Ali Wardhana berpendapat, ada lima instansi yang harus merupakan suatu tim kompak: Departemen Keuangan, Bank Sentral, Perdagangan, Industri, serta Pertambangan dan Energi. Ia melihat banyak kemajuan yang telah ditempuh Departemen Perindustrian di bawah Menteri Hartarto. Ia juga memuji berbagai langkah yang telah ditempuh Rachmat Saleh sewaktu memimpin Departemen Perdagangan. Dan mengharapkan Arifin Siregar, sebagai penerus di departemen itu, bisa melangkah lebih jauh, terutama menyangkut sejumlah barang impor yang belum termasuk paket deregulasi. Ia juga menilai betapa pentingnya Departemen Pertambangan dan Energi yang kini dipimpin Ginandjar Kartasasmita. Selain ekspor migas masih mewakili sekitar separuh dari seluruh penerimaan negara, banyak urusan nonminyak yang akan ditangani departemen itu. Kini soalnya sedikit banyak terpulang pada kepandaian Menko Ekuin Radius Prawiro untuk mengatur kerja sama di antara tim Ekuin. Suatu tugas yang tak mudah. Yang tidak jarang membutuhkan ketegasan - di samping ketekunan - seorang komandan lapangan. Fikri Jufri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus