LIM Sing Sen tampak lega. Presiden Direktur PT Alam Raya Machine & Electronic Industries Ltd. itu malah memuji tindakan aparat perpajakan, yang pekan lalu melelang 9 mesin bor tua, milik perusahaannya. Semuanya dihargai Rp 13,5 juta. Gara-gara pelelangan itu, perusahaannya yang memproduksi mesin jahit Butterfly - merk yang dulu cukup terkenal - dapat tempat di halaman pertama koran-koran Ibu Kota. "Kami mendukung sekali tindakan seperti yang dilakukan terhadap kami itu, terutama jika dijalankan secara merata," kata Lim Sing Sen setengah menyindir. Ia mungkin teringat pada keterangan Dirjen Pajak Drs. Salamun Alfian Tjakradiwirja di depan sebuah seminar di Bandung, pertengahan Maret lalu. Di situ Salamun mengungkapkan, ada 50 perusahaan besar yang terbukti menyelundupkan pajak, bahkan ada yang menunggak sampai Rp 10 milyar. Adapun utang semua wajib pajak di Indonesia jumlahnya menurut Salamun antara 4 dan 6 juta - mencapai Rp 502 milyar. Alam Raya sendiri tak bisa menghindar meskipun, menurut Lim, bertahun-tahun perusahaannya tak alpa membayar pajak. Namun, karena nasib lagi sial, kaki mesin jahit dari perajin asal Batur Ceper, Ja-Teng, bisa membuatnya terkapar. Lim mengira kaki mesin jahit itu tak dibebani Pajak Pertambahan Nilai (PPN), saat dijual sebagai mesin jahit. Alasannya: barang dari perajin itu tak diproses lagi. Ternyata, ia salah. Akibatnya, Alam Raya harus menambah PPN-nya tahun 1984 sebesar Rp 206 juta. Selain itu, ada pemakaian uang oleh direksi yang dimasukkan dalam pos biaya. Tapi petugas pajak menganggap itu mestinya termasuk pendapatan usaha, yang harus dibayarkan Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan. Total pajak terutangnya jadi Rp 65 juta. Alam Raya bermaksud mencicilnya, tapi semua prosedur sudah dilewati hingga akhirnya terbentur pada pelelangan. Menurut Dirjen Pajak Salamun, surat paksa yang telah resmi dikeluarkan hampir mencapai 278 ribu. Perusahaan di kota-kota besar - seperti Jakarta, Surabaya, Medan yang sampai dikirimi surat sita cuma mencapai 40.500. "Tapi kebanyakan tak sampai proses pelelangan, karena segera melunasi pajaknya yang terutang," kata Salamun. Cara menegakkan dlsiplin pembayaran pajak, dimulai sejak 1981, ketika Salamun menjabat sebagai Dirjen Pajak. Dari tahun ke tahun beban instansi ini kian berat saja, terutama sejak migas tak lagi sepenuhnya bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan negara. Sementara itu, di kalangan pengusaha, tampaknya, belum tumbuh kebanggaan sebagai pembayar pajak yang patuh. Malah lebih senang kalau bisa membayar sedikit. Dan, sering pajak menjadi "korban" fasilitas, misalnya untuk menumbuhkan iklim investasi (tax holiday), untuk menumpuk tabungan nasional (bunga deposito bebas pajak), untuk merangsang ekspor (restitusi). Soal tax holiday yang sudah tidak berlaku lagi itu pernah diminta R.J. Kaptin Adisumarta, Direktur Utama PT Detta Marina, yang menandatangani tunggakan PPh plus dendanya Rp 196,6 juta pada akhir 1986. Tunggakan perusahaan pakaian jadi dan tekstil itu terjadi karena Tim Operasi Khusus Sakti Budi Bakti - yang memeriksa pembukuannya - menemukan pendapatan SE (Sertifikat Ekspor) Detta Marina masuk pada pos penerimaan lain-lain. "Saya disalahkan, dan dianggap ada SE yang tidak dilaporkan," tuturnya. Padahal, menurut Kaptin, semua dokumen SE itu juga dilampirkan. Hasil SE yang diperoleh atas ekspor produk Detta Marina, sebesar Rp 278,5 juta, dianggap petugas Opstib mesti masuk pada pos pendapatan badan usaha. Dan, menurut Salamun, perusahaan yang diresmikan Ibu Tien Soeharto itu minta diperhitungkan fasilitas tax holiday-nya. "Tentu saja saya tak bisa membuatnya berlaku surut," katanya. Kalau Dirjen Pajak menerbitkan fasilitas itu, mestinya saat sebelum tax holiday dihapuskan. Akibat tunggakan itu, Detta Marina bernasib buntung seperti Alam Raya. Sebagian produknya (kain jok atau bekleiding) yang, menurut Kaptin, di atas kertas senilai Rp 160 juta, pekan lalu cuma laku dilelang Rp 18,5 juta. Ini menjadi cicilan pajak terutangnya. Kekurangannya, menurut Salamun, tetap menjadi tanggung jawab perusahaan. Tapi, Kaptin merasa pajak itu tak adil, sehingga ia mengalukan problemnya ke Majelis Pertimbangan Pajak. Apalagi, katanya, Detta Marina sejak berdiri belum mencatat keuntungan. Namun, pelelangan sudah menjadi bagian mekanisme pajak. Kalau itu terjadi, kata Salamun, jangan mengira aparat pajak sudah puas. Ia pun prihatin karena adanya lelang itu. "Hal ini sebenarnya tak perlu terjadi apabila wajib pajak memenuhi kewajibannya," ujar Salamun, yang pada tahun anggaran 1988-'89 harus bisa memasukkan Rp 9,1 trilyun. Suhardjo Hs., Max Wangkar, Syafiq Basri, Yopie Hidayat (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini