Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cerita di Balik Macetnya Pensiun Dini PLTU Cirebon

Rencana pensiun dini PLTU Cirebon 1 mandek. PLN meminta skema penugasan karena takut dianggap merugikan negara. 

15 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pensiun dini PLTU Cirebon 1 didanai Bank Pembangunan Asia.

  • PLN menghitung kebutuhan dana US$ 1,3 miliar untuk pensiun dini PLTU Cirebon 1.

  • Pensiun dini PLTU batu bara akan berdampak pada keuangan PLN dan anggaran negara.

PENYUSUNAN dokumen peta jalan program pensiun dini PLTU atau pembangkit listrik tenaga uap batu bara terus mundur dari rencana. Dalam acara EV Conversion Forum 2024 pada Agustus lalu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi mengatakan dokumen itu akan selesai disusun pada September 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi, ketika bertemu dengan Eniya pada awal November 2024, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mendapat kabar bahwa penyusunan dokumen ini belum rampung. Fabby menanyakan kemajuan dokumen tersebut ketika Eniya hadir dalam diskusi Indonesia Clean Energy Forum yang digelar IESR. "Bu Eniya katanya mau bicara lagi dengan Kementerian Keuangan,” ujar Fabby pada Kamis, 12 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mandeknya penyusunan dokumen peta jalan pensiun dini PLTU batu bara mengunci rencana transisi energi yang sedang dijalankan pemerintah. Untuk memangkas umur operasi sejumlah PLTU batu bara yang menjadi salah satu sumber emisi karbon terbesar, diperlukan dokumen peta jalan yang menentukan pembangkit mana saja yang akan dihentikan operasinya sebelum atau setelah 2030 berikut strateginya. 

Pada Agustus 2024, Eniya, yang mewakili pemerintah dalam diskusi EV Conversion Forum, mengatakan upaya pensiun dini PLTU batu bara membutuhkan fatwa hukum dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung. Fatwa ini diperlukan agar penghentian operasi PLTU yang akan menelan dana besar tidak dianggap sebagai kerugian negara. Namun kemajuan penyusunan dokumen ini belum jelas.

Walhasil, rencana pensiun dini sejumlah pembangkit listrik yang sudah direncanakan pun tertunda, termasuk PLTU Cirebon Unit 1 yang berkapasitas 660 megawatt di Jawa Barat. Tiga pemilik PLTU Cirebon 1, yaitu PT Indika Energy Tbk, Korean Midland Power, dan Samtan Corporation, sebetulnya sudah sepakat melepas aset tersebut kepada investor baru. Salah satunya Indonesia Investment Authority (INA).

INA akan mengakuisisi PLTU Cirebon 1 dengan ditopang pendanaan murah dari Bank Pembangunan Asia (ADB) lewat skema Energy Mechanism Transition. INA juga menggandeng sejumlah investor dalam proyek pensiun dini PLTU serta pemangkasan kontrak jual-beli listriknya dengan PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero). Nilai proyek ini mencapai US$ 244 juta atau sekitar Rp 3,9 triliun.  

Setelah mendapatkan pendanaan murah dari ADB, investor baru tersebut memangkas usia operasi PLTU Cirebon 1 dari semula sampai 2042 menjadi hingga 2035. PLN sebagai pembeli listrik dari pembangkit tersebut juga sudah menyetujui transaksi itu. Namun, karena peta jalan pensiun dini yang seharusnya diterbitkan pemerintah tak tersedia, proses transaksi yang sudah di atas meja macet. 

Peta jalan pensiun dini PLTU batu bara adalah amanat Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dokumen ini paling sedikit memuat rencana pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU, strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, dan keselarasan berbagai kebijakan. Ketika menyusun dokumen ini, Menteri Energi berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara.

Dalam rancangan dokumen itu disebutkan transaksi pensiun dini PLTU Cirebon 1 menjadi proyek percontohan untuk program lain. Ada pula penjelasan tentang masalah yang menghambat proses transaksi, antara lain PLN sebagai pembeli listrik meminta sejumlah perubahan regulasi. Perubahan regulasi itu antara lain revisi aturan Kementerian Keuangan yang membolehkan percepatan depresiasi aset dan aturan Menteri Energi yang mengakomodasi perubahan perjanjian jual-beli listrik atau power purchase agreement (PPA), termasuk nasib aset saat PPA berakhir.

Dalam perjanjian awal, ketika PPA berakhir, para pemilik PLTU Cirebon 1 wajib menyerahkan aset tersebut kepada PLN lewat skema build-own-operate-transfer (BOOT). Ketika program pensiun dini berjalan, skemanya berubah menjadi build-own-operate-demolish (BOOD). Aset tidak akan ditransfer ke PLN saat perjanjian berakhir, tapi harus dihancurkan atau ditutup, entah oleh PLN entah investor lain. 

Empat pejabat yang mengetahui penyusunan dokumen ini mengatakan hal yang paling mengganjal adalah kekhawatiran manajemen PLN jika skema ini dianggap merugikan negara. Karena itu, PLN menginginkan proyek ini menjadi "penugasan" dari negara. Sebab, tanpa status itu, bisa jadi kelak transaksi BOOD dianggap merugikan negara. PLN juga meminta revisi harga listrik dalam PPA setelah pergantian investor dengan alasan ada bantuan pendanaan murah dari ADB. Permintaan ini ditolak karena dana dari ADB digunakan sebagai kompensasi untuk memangkas umur operasi pembangkit. 

Ihwal kekhawatiran soal kerugian negara pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ketika berbicara dalam Indonesia International Sustainability Forum 2024 di Jakarta pada September lalu. Ketika itu Sri mengatakan, jika PLTU Cirebon 1 pensiun dini, akan ada biaya tambahan US$ 1,3 miliar untuk mengganti pasokan listrik yang hilang pada 2035-2042. 

Nilai US$ 1,3 miliar berasal dari biaya pengadaan listrik energi baru dan terbarukan, pembelian listrik sepanjang tujuh tahun yang hilang akibat pensiun dini PLTU Cirebon 1, serta pembaruan sistem kelistrikan. “Konsekuensinya terhadap PLN, terhadap anggaran negara dan private sector, bagaimana ini being seeing (bisa dilihat) sebagai transaksi yang baik dan akuntabel dari sisi hukum sehingga tidak dianggap merugikan negara.” 

Pada September 2024, Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar mengatakan PLTU Cirebon 1 harus digantikan oleh pembangkit energi baru-terbarukan dengan kapasitas 2.400 megawatt. Sebab, PLTU Cirebon 1 merupakan pembangkit baseload yang harus beroperasi terus-menerus. Pasokan listrik dari pembangkit pengganti bertenaga surya atau angin harus tiga kali lipat karena pembangkit tidak bisa sepanjang hari menghasilkan listrik. "Harus hati-hati agar tidak mengganggu stabilitas dan keberlanjutan sistem ketenagalistrikan," tutur Suroso.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Eniya Listiani Dewi mengatakan pilihan pengganti PLTU Cirebon 1 adalah pembangkit energi baru-terbarukan di Jawa atau membangun jaringan transmisi dari Sumatera yang punya pasokan energi baru melimpah, seperti dari panas bumi dan tenaga air. “PLN harus melakukan investasi transmisi,” ujarnya.

Kebutuhan dana ini akan menjadi beban baru PLN atau bahkan anggaran negara. Sebab, pilihannya adalah pemerintah harus menambal subsidi karena ada kenaikan harga listrik yang dibeli PLN atau PLN meneruskan beban itu kepada pelanggan dengan menaikkan tarif.

Seorang pejabat mengatakan masalah ini sudah disampaikan kepada ADB. Lembaga multilateral itu disebut terbuka menyediakan hibah dan pinjaman murah guna mendanai pembangkit energi baru-terbarukan pengganti PLTU Cirebon 1 agar biaya setrum yang timbul kelak tidak terlalu mahal. Ketika dimintai tanggapan tentang penghitungan potensi kerugian negara dan status penugasan negara dalam program pensiun dini PLTU Cirebon 1, juru bicara PLN, Gregorius Adi Trianto, tak menjawab. 

Untuk membuktikan tak ada potensi kerugian negara dalam program pensiun dini PLTU, Direktur IESR Fabby Tumiwa mengatakan Kementerian Keuangan mesti punya hitungan sendiri mengenai analisis biaya sebagai pembanding atas hitungan PLN. Dia memberi contoh, Kementerian Keuangan bisa menghitung tambahan royalti batu bara jika PLTU ditutup sehingga sumber energi yang tadinya dijual dengan harga khusus bisa dilego ke pasar internasional dengan harga komersial. Dengan begitu, pemerintah bisa beroleh pendapatan royalti yang lebih besar. 

Cara kedua, Fabby melanjutkan, adalah menghitung pengurangan biaya kesehatan berupa subsidi pemerintah untuk mengongkosi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Pemerintah bisa memangkas ongkos tersebut karena program pensiun dini PLTU batu bara dapat menurunkan emisi karbon yang selama ini dianggap menjadi salah satu sumber penyakit. “Kalau yang menghitung Kementerian Keuangan, ceritanya bisa beda."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Takut Merugi Lantaran Pensiun Dini"

Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus