Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Unilever memisahkan bisnis es krim demi efisiensi.
Tingkat penjualan es krim Wall's dan Campina terus merosot.
Gerai es krim seperti Mixue dan Häagen-Dazs kian diminati konsumen.
SUDAH tiga bulan Anita memensiunkan chest freezer dari etalase toko kelontongnya. Tadinya lemari pendingin dengan pintu di bagian atas itu selalu terpacak di muka toko yang berlokasi di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, tersebut. Dulu kulkas itu berisi berbagai varian rasa es krim Wall's, merek di bawah naungan PT Unilever Indonesia Tbk. Tapi kini Anita tak lagi menjualnya. "Omzetnya terus menurun, sudah jarang yang beli,” kata perempuan 47 tahun itu pada Rabu, 11 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika menjadi distributor atau reseller Wall's pada 2016, Anita bisa meraup omzet Rp 6 juta per bulan. Setahun belakangan, penjualan es krim itu seret lantaran Unilever terseret pemboikotan buntut sentimen anti-Israel. “Untuk mendapat Rp 1 juta saja sulit sekali," ujarnya. Padahal mesin pendingin itu menyedot biaya listrik cukup besar karena harus menyala 24 jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisnis es krim Unilever yang dulu moncer kini meleleh bak tersengat sinar matahari. Tingkat penjualan produk itu terus menurun dalam lima tahun terakhir. Dalam laporan keuangan Unilever, tercatat margin laba bersih produk es krim menurun dari 11,1 persen pada 2019 menjadi 7,2 persen pada 2023. Unilever pun beberapa kali menyatakan rencana memisahkan lini bisnis es krim serta berfokus pada produk perawatan rumah dan perawatan pribadi.
Pada akhir November 2024, Unilever Indonesia mewujudkan rencana itu melalui spin-off atau pemisahan usaha dengan melepas bisnis es krim kepada PT The Magnum Ice Cream Indonesia. Transaksi ini bernilai Rp 7 triliun yang mencakup aset tetap senilai Rp 2,5 triliun, nilai buku bersih Rp 1,9 triliun, dan nilai persediaan Rp 172 miliar.
Sekretaris Korporat Unilever Indonesia Padwestiana Kristanti mengatakan kesepakatan itu diteken pada 22 November 2024. “Nilai transaksi setara dengan 204 persen nilai ekuitas perseroan per 30 September 2024, sebesar Rp 3,4 triliun. Karena itu, transaksi ini merupakan transaksi material,” ucapnya.
Magnum Ice Cream Indonesia rupanya masih punya hubungan afiliasi dengan Unilever Indonesia. Namun, pada saat penyelesaian transaksi, perusahaan itu tidak lagi berhubungan dengan Unilever. Transaksi ini mengesahkan peralihan kepemilikan semua merek es krim yang diproduksi atau dipasarkan Unilever di Indonesia. Persetujuan pelepasan aset bisnis es krim ini masuk agenda rapat umum pemegang saham Unilever Indonesia yang akan digelar pada 20 Desember 2024.
Manajemen Unilever sebelumnya menyatakan bisnis es krim memiliki karakter berbeda dengan lini usaha mereka yang lain. Jika menjalankannya dalam struktur entitas yang berbeda, manajemen Unilever yakin akan ada efisiensi operasional dan bisnis es krim bertumbuh lebih cepat.
Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan produk makanan dan minuman seperti es krim membutuhkan penanganan khusus dari rantai pasokan sampai titik penjualan, juga memerlukan modal serta biaya operasional lebih besar dibanding bisnis makanan atau minuman lain. Konsumsi produk ini juga bersifat musiman sehingga penjualannya kurang stabil. “Kalau terus dipertahankan, berpotensi meningkatkan biaya operasi.”
***
SELAMA beberapa dekade, sejumlah perusahaan besar menguasai pasar es krim Indonesia. Selain Unilever dengan merek Wall's, ada PT Campina Ice Cream Industry Tbk. Kini hegemoni mereka digoyang oleh beberapa pemain baru dengan segmen produk yang menyasar konsumen kelas menengah ke bawah.
Nasib Campina tak jauh berbeda dengan Unilever. Angka penjualan es krimnya juga terus melorot. Dalam laporan keuangan emiten berkode CAMP itu, nilai penjualannya turun dari Rp 585,05 miliar pada semester I 2023 menjadi Rp 554,97 miliar pada semester I 2024. Laba bersih perseroan pun menyusut menjadi Rp 39,69 miliar dari sebelumnya Rp 65,27 miliar.
Agar bisnisnya terus bertumbuh, manajemen Campina menyatakan akan meluncurkan produk baru untuk konsumen anak-anak, remaja, dan generasi Z atau mereka yang lahir pada rentang waktu 1997-2012. Inovasi terbarunya meluncur pada September 2024, yaitu Happy Cow High Calcium yang digadang-gadang sebagai es krim dengan kandungan kalsium tinggi pertama di Indonesia.
Berbeda dengan Unilever dan Campina, Aice Group selaku pemain yang muncul belakangan malah bertumbuh menjadi penguasa pasar. Jenama asal Singapura yang memasuki pasar Indonesia pada 2014 itu dinobatkan sebagai No.1 Indonesia’s Ice Cream Brand dalam laporan “Snacks 2025 Edition” yang diterbitkan lembaga riset Euromonitor International. Status itu merujuk pada survei penjualan nilai retailnya yang sebesar 23,9 persen dengan total nilai pasar Rp 16,1 triliun.
Senior Brand Manager Aice Group Sylvana mengatakan perusahaannya akan terus berinovasi dan berekspansi. “Kami berkomitmen menghadirkan es krim berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan konsumen di Indonesia,” katanya. Menurut Sylvana, produk unggulan Aice antara lain Crispy Balls dan Family Pack Mochi. Dengan strategi harga yang kompetitif, dia menjelaskan, inovasi produk dan distribusi yang luas menjadikan Aice pemimpin pasar es krim take home atau produk bawa pulang di tengah tren konsumsi es krim impulsif yang mendominasi pasar.
Tren bisnis es krim impulsif yang banyak dikembangkan gerai waralaba asing memang sedang berkembang pesat. Salah satu contohnya waralaba asal Cina, Mixue, yang masuk ke Indonesia pada masa pandemi Covid-19. Mengutip situs resminya, di Indonesia, Mixue telah memiliki lebih dari 2.400 cabang dan 1.400 mitra waralaba.
Pengamat jenama yang juga Managing Partner Inventure, Yuswohady, mengatakan kehadiran pemain baru bisnis es krim dalam bentuk gerai dan kafe mendorong pertumbuhan segmen baru, khususnya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. “Ini seperti menyetel ulang industri lama yang perkembangannya lambat dengan inovasi produk murah tapi kualitasnya tidak kalah dengan merek lama,” ucapnya.
Menurut Yuswohady, strategi distribusi Mixue dan Aice membuat konsumen es krim kembali bertumbuh. Dia menyebut segmen konsumen tersebut sebagai kalangan yang sebelumnya "tidak terlayani". “Merek-merek itu membuktikan kedai es krim yang identik dengan hidangan mewah dan mahal bisa juga merakyat," katanya.
Sementara itu, gerai es krim kelas menengah-atas seperti Häagen-Dazs dan Coldstone masih memiliki performa bisnis yang relatif stabil. Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia Budihardjo Iduansjah mengatakan pemain bisnis ini memiliki konsumen loyal karena produknya memiliki nilai tambah besar. “Masih banyak pemain di kelas itu yang mencari gerai baru di mal,” ujarnya.
Nilai tambah yang dimaksud Budihardjo adalah gerai yang tak hanya menjual es krim, tapi juga menyediakan area duduk yang nyaman untuk berkumpul. “Kami memperkirakan, jika dikelola dengan baik, gerai semacam ini bisa bertumbuh seperti tren kedai kopi.” ●
Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Agar Bisnis Es Krim Tak Meleleh"