Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Hariyadi Sukamdani mengingatkan bahwa pengaruh resesi global 2023 sangat nyata. Salah satunya pada penurunan agregat permintaan ekspor produk hasil industri padat karya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Diikuti dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran di penghujung tahun 2022 yang diproyeksikan akan terus berlanjut di tahun 2023,” ujar dia dalam konferensi pers di kantor Apindo, Jakarta Selatan, pada Rabu, 21 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hariyadi, hal itu bisa terjadi jika angka ekspor turun meskipun masih belum bisa diprediksikan. Dia berharap ekspor bisa pulih di kuartal kedua 2023, karena kemungkinan pada kuartal pertama ekspor kemungkinan masih belum mengalami pemulihan.
“Tapi kuartal kedua kita harapkan ada rebound ini juga masih tanda tanya untuk masalah PHK. Mudah-mudahan permintaan terhadap komoditas ekspor kita akan bertambah sehingga memberikan dampak positif untuk kita,” tutur Hariyadi.
Sejak awal semester dua 2022, Apindo mencatat industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki dihadapkan pada penurunan permintaan pasar global, khususnya dari negara-negara maju. Di industri TPT dan alas kaki terjadi penurunan pesanan antara 30-50 persen untuk pengiriman akhir tahun 2022 sampai kuartal pertama 2023.
“Kondisi tersebut memaksa perusahaan-perusahaan di sektor itu untuk mengurangi produksi secara signifikan dan berujung pada pengurangan jam kerja hingga PHK,” ucap dia.
Selanjutnya: Laporan PHK dari Industri Garmen, Tekstil dan Alas Kaki
Hariyadi menggambarkan berdasarkan laporan dari industri garmen, tekstil dan alas kaki telah terjadi PHK atas 87.236 pekerjanya hanya dari 163 perusahaan. Data tersebut berbeda dengan yang dicatat oleh BPJS ketenagakerjaan yang mencatat 919.071 yang mengalami PHK, karena mencairkan dana Jaminan Hari Tua selama periode Januari-1 November 2022.
Data tersebut, Hariyadi menuturkan, merupakan data yang paling memadai sebagai sumber informasi yang valid. Karena, setiap Pekerja BPJS Ketenagakerjaan yang terkena PHK berkepentingan menarik dana JHT-nya, dibandingkan data PHK di kementerian dan lembaga lainnya yang bersumber dari laporan perusahaan yang kebanyakan tidak melaporkannya.
Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya tercatat PHK sejumlah 376.456 pada tahun 2019, 679.678 (2020) dan 922.756 (2021). “Proyeksi PHK yang tersisa dua bulan sampai akhir tahun 2022 sangat mungkin melebihi PHK tahun 2021 karena krisis ekonomi global yang sudah terjadi di penghujung tahun 2022,” ucap Hariyadi.
Di sisi lain, dia melanjutkan, penciptaan lapangan kerja terus berkurang akibat investasi padat modal dan pemanfaatan teknologi yang kemungkinan akan berlanjut di tahun depan. Jadi Apindo memperkirakan bahwa segmen padat modal ini akan terus membesar dan padat karyanya akan semakin berkurang.
“Ini juga menjadi catatan untuk kita semua bahwa apa yang selalu kami sampaikan dari sisi tumbuhnya investasi itu memang akan terus berlajut. Tapi dari segi kualitas penyerapan tenaga kerjanya yang nanti akan masih menjadi masalah bagi kita semua,” kata Haryadi.
Apindo juga mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), bahwa dalam tujuh tahun terakhir daya serap pekerja terus mengalami penurunan. Hingga tidak sampai sepertiganya, dari 4.594 tenaga kerja yang terserap per Rp 1 Triliun Investasi (2013) menjadi 1.340 tenaga kerja (2021).
Dengan angkatan kerja 143,72 juta orang dimana 135,30 juta orang bekerja, jumlah pengangguran masih tinggi sebanyak 8,42 juta orang berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS periode Agustus 2022. “Tentu sangat diperlukan penciptaan lapangan kerja yang masif,” tutur dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.