Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Antara Texmaco, Atambua, dan Tokyo

Beban politik membayangi pertemuan CGI di Tokyo. Bila pinjaman berkurang, tantangan yang dihadapi tim ekonomi semakin berat.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua minggu sebelum sidang Consultative Group on Indonesia (CGI)—berlangsung 17-18 Oktober 2000—Menko Perekonomian Rizal Ramli sudah sibuk sekali. Selepas tragedi Atambua dan sejumlah kebijakan ekonomi yang mengundang silang pendapat, Rizal pun bekerja bak mesin pemadam kebakaran. Ia harus meredam hawa panas yang muncul akibat perang pernyataan dan surat-menyurat antara Indonesia dan sejumlah negara dan lembaga donor.

Di Tokyo, Rizal menabuh genderang permintaan dukungan dari Jepang, yang merupakan pemain utama sekaligus tuan rumah sidang CGI. Maklum, pemerintah memerlukan dana besar—sekitar US$ 4,8 miliar atau Rp 42 triliun—untuk menambal anggaran yang defisit hingga Rp 52 triliun.

Berhasilkah Rizal? Pemerintah Jepang secara resmi menyatakan akan memberi sokongan sesuai dengan permintaan Indonesia. Tapi Menteri Keuangan Kiichi Miyazawa belum menyebut berapa jumlah dana yang akan dikucurkan. Tahun lalu Jepang menyetor US$ 1,5 miliar, berarti sekitar 32 persen dari total pinjaman lunak yang US$ 4,7 miliar.

Berbeda dengan Miyazawa, Menteri Luar Negeri Yohei Kono bersikap lebih terbuka. "Permintaan bantuan akan dipenuhi," kata Kono, "tapi pemerintah Indonesia agar membalasnya dengan mengendalikan milisi prointegrasi di perbatasan Timor Barat." Ternyata, Jepang berada satu kubu dengan Inggris dan Amerika Serikat, sejauh menyangkut tragedi Atambua yang menewaskan tiga pekerja kemanusiaan PBB itu.

Dalam upaya mewaspadai isu Atambua—agar tak "merusak sidang CGI—pemerintah Indonesia pun bermanuver. Eurico Guterres, salah seorang pemimpin milisi yang juga wakil panglima pejuang prointegrasi, ditahan. Padahal, penahanan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan tragedi tersebut. Selain itu, Presiden Abdurrahman Wahid telah pula menjelaskan keruwetan di Timor Barat—tak berkait dengan masalah pengungsi Tim-Tim—kepada Wakil Presiden Bank Dunia di Jakarta, Jamaludin Kassum.

Tapi seriuskah ancaman politik semacam itu di forum CGI? Menurut ekonom Nomura Securities Singapura, Adrian Panggabean, ancaman lembaga donor yang berkaitan dengan masalah politik sebetulnya hanya gertak sambal. Berdasarkan mandat yang diberikan kepada kedua lembaga internasional ini, IMF dan Bank Dunia tidak diizinkan mengaitkan bantuan yang diberikan dengan masalah politik. "Kalau mereka mengaitkannya, IMF dan Bank Dunia sudah menyalahi mandat," ujar Adrian.

Kalau benar begitu, ancaman politik semestinya bisa diabaikan. Kini yang lebih penting adalah menjelaskan kebijakan ekonomi kontroversial yang diputuskan pemerintah, misalnya soal penundaan divestasi BCA dan Bank Niaga. Sebab, penundaan itu, menurut Wakil IMF di Jakarta, John Dodsworth, merupakan penyimpangan dari komitmen pemerintah dalam LoI. "Padahal, perjanjian itu dulu diakui tim ekonomi sebagai milik mereka sendiri," kata Dodsworth jengkel.

Yang juga disesalkan Dodsworth ialah penundaan divestasi bisa merusak sentimen pasar. Padahal, kalau divestasi tetap dilakukan, sentimen pasar diramalkan akan naik. Namun, Rizal tak sependapat. Menurut dia, penundaan itu semata-mata disebabkan masalah teknis yang sepele—seperti pembuatan prospektus. Soal setoran dana Rp 1,5 triliun yang tadinya diharapkan terhimpun dari divestasi tersebut, menurut Rizal, bisa ditutup dengan hasil penjualan utang swasta yang ada di bawah pengelolaan BPPN. Nilai utang itu mencapai Rp 1,9 triliun.

Bagaimana dengan skema pembenahan utang yang dinilai terlalu menguntungkan konglomerat? Kendati dianggap melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas, Rizal bersikeras mempertahankan skema tersebut. Menurut dia, pola pengalihan saham pemerintah menjadi penyertaan modal ala Texmaco, Tirtamas, Kiani Kertas, dan Banten Java Persada akan menjadi model bagi para obligor lainnya. Dengan cara itu ia berusaha membuktikan bahwa tak ada diskriminasi seperti dikhawatirkan lembaga donor.

Pokoknya, Rizal optimistis, bantuan baru dari CGI akan tetap dikucurkan. Apalagi diperkirakan, masyarakat internasional tak akan membiarkan negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia ini tenggelam ke dasar kemiskinan. Memang, pinjaman lunak CGI tidak akan menolong Indonesia keluar dari krisis. Tapi, jika jumlah pinjaman CGI berkurang—misalnya di bawah US$ 4,5 miliar—tentu hal itu langsung berdampak buruk bagi rakyat kecil. Seperti kata Anggito Abimanyu, "Anggaran akan disesuaikan, pengeluaran dikurangi, penerimaan digenjot melalui peningkatan pajak, restrukturisasi dipercepat, anggaran untuk subsidi BBM dikurang." Selain itu, nilai rupiah akan lagi-lagi melemah—pekan lalu hampir menyentuh Rp 9.000 per dolar AS—sedangkan indeks harga saham ikut terkoreksi. Mungkin tantangan yang berat inilah yang membuat Menteri Rizal tetap bersemangat tinggi.

Nugroho Dewanto, I G.G. Maha Adi, Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus