Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Skema Penyelamatan atau Pemborosan?

Skema restrukturisasi utang Texmaco melahirkan sejumlah pertanyaan. Layakkah diteruskan?

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEXMACO Group dan kontroversi sepertinya sudah menjadi kawan seiring. Skema penyelesaian utang macet kelompok usaha tekstil dan rekayasa (engineering) senilai Rp 19 triliun ini, yang dinilai sejumlah ekonom dan analis hanya menguntungkan pemiliknya dan merugikan negara, ternyata malah akan dijadikan skema baku untuk penyelesaian kredit macet oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Menurut BPPN, pola penyelesaian tersebut jauh lebih baik ketimbang skema yang lain.

Dalam skema penyelesaian yang kontroversial itu, Texmaco akan menyerahkan aset kepada Newco, perusahaan baru yang dibentuk untuk menampung utang Texmaco, dalam tempo enam bulan. Di perusahaan baru itu, pemerintah memegang 70 persen, sedangkan sisanya tetap dikuasai Sinivasan. Berbarengan dengan itu, utang Texmaco direstrukturisasi dengan grace periods (masa tenggang) delapan tahun.

Di samping itu, pemerintah dan Texmaco bersama-sama menerbitkan exchangeable bond yang akan dipakai sebagai mekanisme pembayaran utang. Texmaco akan membayar utang melalui pengaturan arus dana (cash flow) 16 anak perusahaannya. Seluruh hasil penjualan akan masuk ke escrow account dan akan dibagi berdasarkan kepemilikan saham tadi. Selain itu, kontrol perusahaan dilakukan oleh pemerintah, yang juga akan menempatkan orangnya di manajemen. Dalam skenario ini, BPPN berharap Texmaco pelan-pelan akan pulih, menjadi sehat, dan mampu membayar seluruh utangnya.

Mungkinkah skenario ini menjadi kenyataan? Banyak pengamat meragukannya. Menurut Direktur Riset SocGen, Lin Che Wei, banyak kelemahan dalam tata cara penyelesaian utang Texmaco, yang pada akhirnya justru berpotensi besar merugikan negara. Sebab, skema ini sebenarnya adalah jurus pengalihan utang dengan saham (debt to equity conversion) yang disamarkan, yang di dalamnya mengandung unsur bailout. "Dengan memegang saham 70 persen, pemerintah ikut menanggung seluruh utang perusahaan, termasuk kepada kreditor asing," katanya. Padahal, menurut catatan TEMPO, kewajiban Grup Texmaco terhadap kreditor asing mencapai US$ 1,8 miliar dan sampai saat ini belum direstrukturisasi.

Lebih penting lagi, kata Kepala Riset Nomura, Goei Siauw Hong, tidak ada satu pun alasan yang membuat pemerintah layak menyelamatkan Texmaco. Menurut dia, prospek usaha Texmaco, terutama divisi rekayasa, bisa dibilang sangat meragukan. Dia mencontohkan penjualan truk Perkasa. Meskipun menurut Direktur Komunikasi Texmaco, Nina Kairupan, perusahaannya sudah mampu memproduksi sekitar 3.000 truk setiap tahun dan telah berhasil memasarkan produknya ke luar negeri, semua itu diragukan Hong. "Kita semua tahulah pasar truk. Pasarnya juga terbatas," katanya.

Apalagi, jumlah utang divisi rekayasa ini lebih besar dibandingkan dengan utang divisi tekstil, yakni Rp 7,8 triliun berbanding Rp 5 triliun. Padahal, pendapatan tekstil selama ini jauh lebih besar ketimbang divisi rekayasa. Alhasil, keuntungan tesktil akhirnya habis untuk menutup kerugian di divisi rekayasa. Ditambah lagi, utang perusahaan induk (holding) Multikarsa Investama juga cukup besar, yakni Rp 6,2 triliun. Utang holding ini pasti juga akan membuat cash flow Grup Texmaco secara keseluruhan tersendat-sendat.

Akibat beban utang dalam mata uang asing, krisis moneter (krismon) membuat kondisi keuangan Texmaco terpukul berat. Bahkan, perusahaan tekstil dan garmennya, seperti Polysindo Eka Perkasa dan Texmaco Jaya, yang sebelum krismon menjadi andalan peraih laba, jatuh merugi. Pada 1998, kedua perusahaan ini tekor Rp 1,77 triliun, dan tahun berikutnya malah menjadi Rp 2,14 triliun. Kondisi tahun ini pun masih belum membaik. Terbukti, kedua perusahaan itu masih merugi Rp 2,77 triliun pada pertengahan 2000. Maka, timbul pertanyaan: apakah layak pemerintah menyelamatkan Texmaco? "Tidak layak. Kalau memang tidak bayar utang, sebaiknya dijual atau dilikuidasi saja," kata Hong.

Kegagalan Texmaco melunasi utangnya itu memang tak bisa dilepaskan dari akibat begitu besarnya utang dibandingkan dengan pendapatan. Itu sebabnya BPPN sedang melakukan uji tuntas (due diligence) untuk mengetahui seberapa besar sebenarnya kemampuan Texmaco menanggung utang (sustainable debt). Namun, kalaupun hasilnya nanti menunjukkan keadaan masih dalam batas ambang keselamatan, itu bukan berarti harapan sukses sudah di tangan. Faktor kerja sama kreditor asing bisa menjadi ganjalan. Berdasarkan pengalaman selama ini, debt to equity swap bukan pilihan yang disukai mereka.

Dukungan terhadap skema ini, menurut para pengamat, hanya akan terjadi jika visi kreditor asing dan BPPN serupa. Untuk itu, kedua pihak memang harus berunding dan mencari kesepakatan. Bila pemerintah mampu meyakinkan mereka bahwa skema inilah yang paling menguntungkan, sokongan pasti didapat. Namun, bila yang terjadi sebaliknya, BPPN harus berani membatalkan skema ini demi meringankan risiko kerugian bagi negara. Jika cuma menambah kerugian, untuk apa dijalankan?

M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Gita W. Laksmini, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus